Novel ini hasil collab antara Siti H dan Mom Young penulis novel 'Santet Pitung Dino'.
Sumber: Mbah Tainah, Desa Tiga Sari, kecamatan Jatenegara. Tegal-Jawa Tengah.
Diangkat dari sebuah kisah nyata. Kejadian ini terjadi sekitar tahun 1968 silam, dimana seorang pemuda miskin harus terjebak oleh sesosok makhluk ghaib Ratu Ular bernama Nyi Arum Lopa.
Tanpa sengaja, ia bertemu dengan Nyi Arum Lopa dibawah pohon Gintung yang tumbuh tinggi menjulang dan berusia ratusan tahun.
Dibawah pohon Gintung itu juga terdapat sumber mata air yang membentuk sebuah telaga kecil dengan airnya yang sangat jernih.
Karena persekutuannya itu, membuat pemuda bernama Saryat mendapatkan wajah tampan dan tidak pernah tua, serta harta yang melimpah. ia memulai usahanya dengan menyewakan gamelan saat setiap ada hajatan, dan harus dikembalikan sebelum pukul 12 malam..
Ada apa dengan gamelan tersebut, dan bagaimana kisa Saryat dengan sang Ratu Ular Nyi Arum Lopa?
ikuti novel ini selan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teror Kembali-2
"Aaaaaarrgh, Sakit" suara Ayu tercekat ditenggorokannya.
Saryat merasakan tubuhnya gemetar. Ia tak dapat menahan rasa khawatirnya saat melihat adik perempuannya dalam penderitaan yang begitu besar.
Tuuuus tuuuus
Suara letusan daru kulit Ayu melepuh terdengar bagaikan bara yang disiram air. Saat bersamaan, darah dan nanah keluar dari bejas letusan, disertai belatung yang berjentik ria.
Suara sesenggukan keluar dari bibir Ayu, namun untuk berbicara ia tak mampu.
Belatung berlarian ke sana dan kemari menyebar de bagian ranjang, dan gadis itu meronta kesakitan.
Tainah berjalan memasuki kamar. Ia mengambil sapu lidi, lalu membersihkan belatung yang berjentik diatas ranjang, namun seolah tak pernah berhenti, dan terus keluar dari tubuh Ayu.
"Duh, Gusti Allah, iki piye, toh (Ini bagaimana)?" ucapnya dengan nada lirih, dan bulir bening jatuh disudut matanya.
Sedangkan ditelaga sana, daun gintung yang tersisa tiga, kini kembali gugur satu tertiup angin, lalu jatuh kepermukaan telaga.
"Malam ini malam apa, Mbok?" tanya Saryat dengan gemetar. Hatinya sangat berat, dan ia seperti frustasi.
"Jum'at Kliwon, Le. Neptunya empat belas, dan masih tanggal muda juga, perkiraan perputaran bulan, masih bulan sabit," sahut Tainah dengan lirih, tetapi ia tidak begitu terlalu perduli dengan pertanyaan Saryat, disebabkan ia sibuk untuk membersihkan belatung ditubuh Ayu.
Gadis itu bahkan belum makan sejak pagi, dan hanya dapat merintih menahan tangisan.
Tainah mengambil kain basah, lalu mencoba membersihkan luka letusan yang mengelurkan belatung sangat banyak, seolah tak pernah ada habisnya.
Taaap
Saat Tainah menyentuh borok luka lepuhan itu, tiba-tiba saja wanita paruh baya itu mengalami hal yang sama.
Dimana kulit wajahnya yang yang tadinya bersih, kini ikut menular dan kondisi yang sama.
"Duh, Gustu," ucap Tainah sembari melemparkan kain basah ke sembarang arah.
Wajahnya memerah dan rasa panas yang disertai rasa perih menjalar dengan cepat.
Kini tubuhnya dipenuhi lepuhan yang meletus dengan serempak, lalu mengeluarkan nanah dan darah yang disertai belatung yang tak kalah banyaknya.
Tainah meronta kesakitan, dan mengejang diatas ranjang. Ia tak sanggup menahan rasa sakitnya, lalu daun gintung itu kembali gugur satu dan menyisakan satu saja.
Melihat hal itu, Saryat merasakan langitnya runtuh, dunia bagaikan tak berpijak, dan ia merasa linglung.
Saat bersamaan, suara petir menyambar dilangit kelam, halilintar yang berkelip, seolah membelah gelapnya malam, dan petir kembali menggelegar, disertai hujan rintik-rintik yang turun dari langit.
Saryat berjalan mundur. Bagaimana mungkin ia dapat tega melihat sang ibunda yang melahirkannya menderita seperti itu?
Bahkan Tainah menggaruk dengan erangan yang tertahan, dan berhasil mengelupaskan sebagian dagingnya.
Jantung Saryat berdegub sangat kencang. Debaran didadanya memburu dan ia tak memiliki pilihan.
Cahaya lampu pelita yang bergerak tertiup angin, bagaikan seorang penari yang saat ini begitu senang dan bersorak ria saat melihat penderitaan kedua wanita itu.
"Bertahanlah, Mbok, Yu. Aku akan mencari penawarnya." Saryat mengambil keputusan yang fatal malam ini. Ia tak memiliki pilihan, dan hal ini terpaksa ia lakukan, demi menyelamatkan dua wanita yang sangat berharga dalam hidupnya.
Pemuda itu memutar tubuhnya. Lalu berlari keluar tanpa menggunakan alas kaki.
Ditengah malam yang gelap. Ditemani kelipan cahaya halilintar dan juga petir, pemuda berusia dua puluh tahun itu terua berlari dan tak perduli dengan rintik hujan yang jatuh membasahi kepalanya.
"Kau kejam, kau kejam, Iblis!" makinya dalam hati. Ia terus berlari dengan hatinya yang remuk redam dan bulir bening yang terus jatuh dan mengalir deras mengalahkan rintik hujan yang turun dari langit.
Tanpa terasa, Ia tiba didepan telaga. Suasa begitu sangat gelap, dan ia berdiri terpaku menatap kesunyian yang ada.
Tiba-tiba, sebuah cahaya muncul dari dalam telaga, dan membuat Saryat dapat melihat keadaan sekitarnya.
Dari permukaan air telaga memantulkan cahaya keemasan, dan suara gamelan tiba-tiba saja bertabuh dengan sangat lembut dan berasal dari kejauhan.
"Hah!" Saryat tersentak kaget. Ia menoleh ke arah sumber suara, dan ternyata iringan suara gamelan itu berasal dari arah belakangnya, tempat ia berdiri termangu.
Deguban jantungnya masih memburu, dan bulu kuduknya meremang seketika.
Pemuda itu menyingkir dari jalan yang menghalangi iringan suara gamelan tersebut.
Terlihat para pengiring dengan wajah dingin dan ekspresi datar sudah mendekat ketepian telaga.
Saat bersamaan, sesuatu muncul dari dalam telaga.
Sosok cantik Nyi Arum Lopa yang menebarkan kemolekan dan juga keindahan bergerak menaiki tepian telaga.
Namun kali ini, ia tampil dalam wujud manusia seutuhnya.
Sosok itu masih mengenakan mahkota keemasan dikepalanya. Menggunakan kemben yang menyerupai bra, dan memperlihatkan dua buah dadanya yang menonjol sempurna, dan pinggang ramping, disertai pinggulnya yang melebar dengan bokongnya yang semok.
Bagian pinggul, ia menggunakan kain berwana keemasan untuk menutupi area intinya saja, dan kain itu sangat pendek, memperlihatkan dua bagian pangkal paha yang sangat putih dan mulus.
Saryat yang tadi datang dengan amarah, perlahan mulai tersihir oleh keindahan dan kemolekan tubuh yang dipersembahkan khusus untukanya malam ini.
Nyi Arum lopa masih menari dengan gerakan yang begitu lembut, mengikuti irama tabuhan gamelan yang mengalun lembut dah syahdu.
Kaki jenjang bagaikan padi yang sedang buntung tua milik sang Ratu Ular, terlihat sangat mulus dan glowing saat tertimpa cahaya.
Gerakan tariannya semakin lama semakin panas. Malam ini ia begitu sangat bahagia, sehingga tariannya tampak bersemangat.
Ia menyadari kehadiran Saryat yang saat ini berdiri terpaku menatapnya ditepian telaga, dan ia merasa, jika apa yang diperbuatnya telah mendekati titik akhir untuk Saryat menyerah.
Sementara itu, Ayu dan Tainah yang berada didalam rumah gubuk mereka, terlihat saling beradu erangan dengan rintihan kesakitan.
Tulang-tulang mereka terasa ngilu, dan belatung masih terua bertambah dan berjentik ria.
Saat bersamaan, Nyi Arum lopa memutar tubuhnya, lalu menatap pada Saryat yang berdiri tegak tak bergeming.
Tibuh pemuda itu gemetar, dan wajahnya memucat saat sosok Ratu Siluman Ular semakin dekat menghampirinya.
Aroma minyak misik yang begitu kuat menguar di udara, dan hujan rintik-rintik berhenti saat jarak mereka cukup dekat.
Saryat merasakan tenggorokannya tercekat ketika melihat wajah Nyi Arum Lopa dari jarak yang cukup sangat dekat.
Bibir merah muda, wajah jelita yang tak dapat ia gambarkan, menatapnya dengan tak berkedip.
"Akhirnya kau datang juga. Apakah kau kini siap, jika kita mengikat sebuah hubungan?" ucap sang Ratu Siluman Ular dengan senyumnya yang penuh kelicikan.
Ia merasa menang dengan perseteruan ini, dan berhasil membawa satu anak cucu Adam ke jalan kesesatan, dengan bersekutu kepadanya dan menjadi syirik dari Sang Pencipta-Nya.
itu pedati bisa berubah jd ulaarrrr..