Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.
Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.
Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan siang bersama atasan
Waktu makan siang tiba. Tepat pukul dua belas siang, Arash menatap layar monitor dengan mata lelah dan keringat dingin di pelipisnya. Ia baru saja menyelesaikan pemilahan dan penyusunan ulang jadwal Devan Adhitama—tugas yang terasa seperti menata ulang planet-planet agar selaras dengan kemauan satu orang.
Empat puluh panggilan telepon masuk, empat puluh pihak yang marah karena jadwal mereka “dihapus” oleh Devan. Beberapa bahkan mengancam akan memutuskan kerja sama dengan Adhitama Group. Arash harus memutar otak mencari alasan masuk akal—mulai dari “Bapak sedang ada rapat luar negeri mendadak” sampai “ada penyesuaian analisis data lanjutan.” Suaranya tetap formal, nadanya sopan, walau di dalam hati, ia sudah hampir menangis.
Begitu semuanya selesai, ia menarik napas panjang, merapikan bajunya yang mulai kusut, lalu mengetuk pelan pintu ruang CEO.
“Masuk,” suara datar itu terdengar dari dalam.
Arash melangkah masuk dengan tablet di tangan.
“Pak, ini sudah saya kerjakan semua,” ujarnya pelan, berusaha menjaga suaranya agar tetap stabil meski tangannya masih gemetar halus.
Devan yang sedang berdiri di depan jendela besar berputar, menerima tablet itu tanpa menatap wajah Arash. Ia menelusuri layar dengan jari, cepat dan teliti. Sesekali keningnya berkerut, lalu melonggar lagi.
“Baik,” gumamnya akhirnya. “Tingkat ketelitian mu tinggi juga. Tidak ada celah waktu yang sia-sia. Dan kau berhasil menyingkirkan semua lalat. Saya suka itu.”
Arash menunduk sedikit, tersenyum canggung. “Terima kasih, Pak.”
Tanpa peringatan, Devan menutup tablet itu, merapikan jas hitamnya.
“Ayo, ikut saya.”
Arash sempat tertegun. “Ke mana, Pak?”
Devan hanya melirik sekilas. “Saya tidak suka diulang dua kali.”
“I—iya, Pak!” Arash buru-buru mengambil notebook kecilnya dan mengikuti langkah cepat pria itu keluar ruangan.
Mereka berhenti di depan lift. Devan hendak menekan tombol lift pribadi khusus direksi, tapi tiba-tiba menghentikan gerakannya dan menatap Arash dari ujung mata. “Pakai lift karyawan. Untuk apa ikut saya ke sini?”
Arash langsung kaku. “Maaf, Pak. Saya kira—”
“Jangan kira-kira. Lain kali belajar membaca situasi.”
“Iya, Pak,” ucap Arash cepat sambil menunduk dan berjalan ke arah lift publik.
Ia menunggu beberapa menit di antara kerumunan karyawan lain yang akan makan siang, sementara Devan tentu sudah sampai lebih dulu. Di dalam lift yang berdesakan, Arash hanya bisa menarik napas panjang. Hatinya berbisik, baru juga tiga hari kerja, tapi rasanya sudah tiga tahun.
Begitu tiba di lobi, Devan sudah berdiri di samping mobil hitamnya. Supir membukakan pintu belakang, dan Arash segera bergerak ke sana, karena ia tahu Devan selalu duduk di kursi belakang.
Namun, tangan Devan menahan pintu.
“Mau ke mana kau?”
“Duduk di belakang, Pak. Sesuai protokol,” jawab Arash gugup.
“Siapa bilang? Hari ini saya yang menyetir. Kau duduk di depan.”
Arash sempat ragu, tapi segera patuh. Ia membuka pintu depan dan duduk. Begitu sabuk pengamannya terpasang, Devan menatapnya sekilas melalui kaca spion.
“Oh, baik, Pak.” Arash buru-buru memindahkan posisi, duduk di kursi depan, dan memasang sabuk pengaman. Tapi sebelum mobil melaju, suara Devan kembali memotong.
“Keluar. Pindah ke belakang.”
Arash menatapnya tidak percaya. “Tapi Bapak tadi yang menyuruh saya duduk di depan.”
“Saya berubah pikiran. Cepat. Saya mual.”
Dalam hati, Arash menjerit. Tapi ia tetap menurut, keluar lagi, memutari mobil, dan duduk di belakang.
Udara sejenak hening—lalu lagi-lagi suara Devan terdengar.
“Kenapa kau pindah ke belakang? Saya bilang duduk di depan.”
Arash menatap punggung Devan dengan tatapan hampir putus asa. “Tapi Bapak bilang—”
“Benar. Tapi sekarang saya lebih mual mencium bau parfum murah mu dari belakang.” Suara Devan dingin, tajam, seolah setiap katanya disengaja untuk menusuk. “Saya yakin aroma itu bisa merusak konsentrasi saya untuk rapat makan siang.”
Arash membeku. Ia tidak memakai parfum hari ini. Hanya sabun cuci murah yang masih menempel di kemejanya.
Parfum murah? pikirnya getir. Itu cuma deterjen seribuan di warung dekat kos.
Dadanya terasa sesak, tapi ia menahan diri. Tidak ada gunanya melawan. Pria ini hanya akan mencari alasan baru untuk merendahkannya.
Ia menarik napas panjang dan tanpa sepatah kata keluar dari kursi belakang, lalu duduk kembali di depan.
Mobil melaju pelan di antara padatnya lalu lintas. Devan tidak bicara. Hanya suara mesin dan dengungan AC memenuhi ruang kabin. Suhu udara perlahan turun, dingin menggigit hingga ke tulang. Arash sadar, Devan sengaja menurunkan suhu pendingin.
“Siapkan file untuk rapat makan siang,” ucap Devan akhirnya, tanpa menoleh. “Dan tolong, jangan buat saya menyesal membawa staf magang ke meja negosiasi.”
“Iya, Pak.” Suaranya nyaris berbisik. Ia membuka tablet dan menampilkan berkas-berkas yang relevan.
Sepanjang perjalanan, tidak ada percakapan lain. Devan fokus pada jalan, wajahnya datar tanpa emosi. Arash, di sisi lain, terus berusaha menenangkan diri. Di balik rasa takut dan malu yang menyesakkan, ada sesuatu yang tumbuh perlahan—rasa ingin tahu terhadap pria bernama Devan Adhitama.
Apa yang sebenarnya ia sembunyikan di balik dinginnya sikap itu?
Pertanyaan itu terus berputar di benak Arash, bahkan hingga mobil berhenti di depan gedung tempat mereka akan makan siang dan bertemu klien.
Dan untuk pertama kalinya, Devan menatapnya langsung.
Tatapan yang tenang, tapi tajam seperti pisau.
“Buktikan, Maulidia,” ucapnya pelan. “Kalau kau memang pantas duduk di samping saya hari ini.”
Arash menegakkan punggungnya, menahan napas. Ia tahu—ini bukan sekadar makan siang biasa.
Ini ujian. Dan satu kesalahan kecil saja… bisa mengubah segalanya.