Alvan hanyalah seorang anak petani yang baru lulus kuliah.
Hidup sederhana di desa, membantu orang tuanya di sawah sambil mencari arah hidup yang belum pasti.
Satu kalimat dari gurunya dulu selalu terngiang:
“Nak, ibu sarankan kamu lanjut kuliah"
Namun dunia Alvan berubah bukan karena gelar tinggi, melainkan karena satu tindakan kecil, menolong seorang anak yang terjatuh di sawah.
Ding!
[Sistem berhasil terikat]
Sejak hari itu, kehidupannya tak lagi sama.
Setiap kebaikan kecil memberinya “misi,” setiap tindakan membawa “hadiah”
dan setiap bibit yang ia tanam… bisa muncul nyata di hadapannya.
Namun, seiring waktu berjalan, Alvan menyadari sesuatu, bahwa selain hal-hal baik yang ia dapatkan, hal-hal buruk pun perlahan mulai menghampiri dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1 - Kelulusan
KRING... KRING...!
Bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan jam pelajaran terakhir hari ini resmi berakhir.
Lebih tepatnya hari ini dan hari kedepannya bagi kelas XII (12) telah selesai..
Sorak-sorai langsung menggema di seluruh ruangan.
Kursi bergeser, kertas terbang, dan beberapa murid udah teriak duluan,
“MERDEKA!!”
Siti dan teman-teman perempuannya sibuk foto bareng sambil saling coret baju.
Aldo dan Budi malah lomba lempar penghapus ke kipas angin.
Sedangkan Alan... sibuk menggoda semua yang lewat,
“Eh, foto bareng dong, biar ada kenangan terakhir, hehe.” Ucap Alan ke Siti.
Di tengah hiruk pikuk itu, Alvan cuma duduk bersandar di kursinya.
Tangannya memainkan pulpen, matanya kosong menatap papan tulis yang udah penuh coretan tanda tangan dan pesan-pesan lucu:
“Selamat tinggal guru killer”, “Jangan lupa traktiranku”, dan satu tulisan besar:
“KITA SUDAH LULUS!!”
“Wah... akhirnya tamat juga,” gumamnya pelan. “Berarti… bebas. 100% dari Tugas!.”
EHEM… EHEM...
Suara khas itu membuat semua murid refleks diam.
Bu Ratna wali kelas mereka yang terkenal sabar tapi galak kalau udah nyentuh nilai masuk ke kelas dan berdiri sambil menatap mereka satu per satu dengan tatapan tajam.
“Anak-anak, hari ini adalah hari terakhir kalian belajar di sekolah ini."
"Setelah ini, kalian akan menempuh jalan kalian masing-masing. Ada yang kuliah, kerja, atau… mungkin masih bingung mau ngapain.”
Beberapa murid ngakak pelan.
Bu Ratna tersenyum lembut.
“Nah, sebelum kalian bubar, ini raport semester terakhir kalian dan juga tanda lulusnya. Untuk ijazah resmi, tunggu satu bulan lagi ya. Masih proses di dinas.”
Langsung terdengar keluhan kompak.
“Sebulan lagi, Bu? Lama banget!”
“Ya sabar. Ijazah bukan mie instan, nak.”
Semua tertawa.
"Udah, udah, duduk.
"Ibu mulai panggil ya.."
Satu per satu, murid maju ke depan.
“Siti, nilai kamu bagus, konsisten dari semester lalu. Ibu bangga.”
“Makasih Bu~”
“Aldo... hmm, tolong kurangi bolosnya di masa depan, ya.”
“Iya Bu, hehehe.”
“Budi, bagus. Tapi tulisanmu tetap aja kayak cakar ayam.”
“Itu ciri khas, Bu!”
“Alan... kamu bisa berhenti senyum-senyum ke Siti nggak pas Ibu ngomong?”
Seluruh kelas pecah tawa.
Lalu nama yang di tunggu pun terdengar.
“Alvan.”
Alvan itu maju santai, menerima map raport berwarna biru.
Bu Ratna menatapnya dengan senyum lembut.
“Alvan... nilai kamu nggak jelek-jelek amat, tapi juga nggak bisa dibilang bagus.”
“Ya, Bu...”
“Ibu sarankan kamu lanjut kuliah ya, Nak. Kamu punya potensi, cuma... jangan terlalu banyak main game.”
“Iya, Bu...”
Alvan menjawab Bu Ratna dengan tersenyum kaku.
Namun di kepalanya sendiri ia mendesah panjang.
(“ Ah…“ Kuliah ya...tapi duit dari mana mahal semua, mending kerja kalo bisa di kota biar ngubah hidup orangtuaku..”)
Langit oranye menggantung, burung-burung kembali ke sarang.
Alvan berjalan santai melewati jalan desa, menendang batu - batu kecil sambil menatap langit yang berwarna oranye yang perlahan-lahan menghilang.
“Akhirnya bebas juga… tapi aneh ya. Nggak ada PR, nggak ada ujian, tapi malah ngerasa kosong gini...”
Ia berhenti sebentar di tepi jalan, memandang sawah luas yang berkilau tertimpa cahaya sore.
Bau tanah basah dan suara jangkrik pelan-pelan muncul.
“Orang-orang bilang dunia setelah sekolah itu luas. Tapi luasnya ke mana, ya?”
Senyumnya tipis.
Angin sore menyapu pelan, membawa rasa tenang sekaligus bingung.
“Mungkin… gue harus cari arah dulu. Entah kerja, kuliah, atau… apa aja yang bisa gue lakuin biar hasilin uang." Ucap Alvan.
Setelah beberapa saat, Alvan menyadari ada bocah perempuan sekitar berumur 7 tahun yang cukup lumayan jauh darinya sedang melihat ke arah sawah.
"Hm.. Bocah itu kayaknya belum pernah kulihat main dengan bocah lain? Mungkin aku saja tak menyadari" Gumam Alvan.
BLUK!
Suara cipratan air dan lumpur memecah kesunyian.
“Eh - dia jatoh!” Ucap Alvan dan Refleks berdiri lalu bergegas menuju bocah perempuan itu.
Terlihat Kepala nya nyungsep sepenuhnya ke lumpur dan terlihat kesusahan berdiri.
Alvan langsung melepas sepatunya, menaruh di pinggir pematang.
Kaos kaki ikut dilepas cepat-cepat, lalu ia turun perlahan ke sawah yang lembek dan licin.
Lumpur terasa dingin di sela jari kakinya.
“Aduh, hati-hati, dek. Bisa nyungsep kalau sendirian di sini,” ujarnya sambil meraih badan si bocah dan mengangkat nya keluar dari dalam lumpur.
Anak kecil itu terbatuk-batuk pelan, wajahnya belepotan lumpur, tapi tidak menangis.
Dengan satu tarikan ringan, Alvan berhasil mengangkat tubuhnya ke pinggir sawah dan membersihkan muka nya perlahan.
“Kamu dari mana? Kok main sampai ke sini?” tanya Alvan.
“Aku… nyari katak, kak,” jawabnya pelan, masih menunduk.
Alvan memastikan lagi sejenak. Anak ini tidak pernah ia lihat di sekitaran desa sebelumnya karena rambut nya berwarna agak keemasan jika dilihat dari dekat.
Bajunya pun bagus dan ber warna, bukan seragam, bukan juga baju rumah an warga desa, lebih mirip pakaian luar kota yg trendy di hp.
“Nyari katak jauh amat,” gumamnya, separuh heran.
Anak itu hanya tersenyum kecil, lalu menatap dengan rasa penasaran dan kagum ke arah sawah yang luas seolah sedang mencari sesuatu di antara genangan air.
Senja mulai turun, warna oranye memudar menjadi keunguan.
Suara jangkrik mulai terdengar dari arah pematang.
Krik..Krik..Krik..
“Udah sore, nanti dimarahin orang tuamu. Ayo, kakak antar pulang,” kata Alvan sambil menepuk kepala nya pelan.
Namun, bocah itu malah menatap Alvan lurus-lurus, matanya sedikit aneh tenang, tapi tajam.
“A- Aku… nggak tahu rumahku di mana, Kak.”
Alvan terdiam.
Angin sore berhenti berhembus sejenak, hanya terdengar suara air menetes dari celana lumpurnya.
“Hah? Maksudmu… tersesat?”
Bocah itu menunduk, lalu mengangguk pelan.
Alvan menggaruk kepala, setengah bingung, setengah cemas. Ia menatap ke arah jalan desa yang sepi, hanya ada suara burung berkicauan.
“Yah, mau nggak mau aku anterin ke pos ronda dulu deh,” gumamnya.
Tapi sebelum mereka sempat berjalan, anak itu tiba-tiba berhenti dan menunjuk sesuatu di permukaan air.
“Kak, lihat… itu apa?”
Alvan menoleh dan melihat sesuatu bergerak dan berkilau samar di antara lumpur sawah.
Alvan menoleh, dan nyaris tersentak.
Seekor ular kecil melata di antara batang padi, sisiknya berkilau terkena sinar senja.
“Wah, itu ular sawah, Dek,” kata Alvan cepat, menahan si bocah yang sudah mundur ketakutan.
“Tenang aja, dia nggak bahaya.” Ucapnya.
Anak itu masih menatap ngeri.
Alvan jongkok dan menunjuk pelan ke arah ular yang perlahan menjauh.
“Ular kayak gitu justru penting. Mereka bantu ngusir tikus. Kalau dibasmi, nanti tikus malah merajalela, nyusahin petani.”
Bocah itu menatap Alvan seolah baru mendengar hal baru.
“Oh… jadi ular itu baik, ya?”
“Ya bisa di bilang gitu. Di sawah, semua makhluk punya perannya masing-masing,” jawab Alvan, nada suaranya lebih lembut.
Hening sejenak. Angin sore bertiup ringan, menggoyangkan batang padi yang mulai menguning.
Alvan berdiri, menepuk lumpur di tangannya.
“Udah, yuk. Ayo ke pos dulu, nanti kamu beneran kedinginan baju basah begitu.” Ucap Alvan.
"Kriuk.." Bunyi suara terdengar cukup keras.
“Haha, adek lapar ya? Bunyi tadi suara perut ya,” kata Alvan sambil menatap bocah itu.
Bocah itu tersenyum malu.
“Hehe, iya nih, Kak.”
Alvan menggaruk kepala, matanya melirik ke arah jalan tanah yang mulai gelap.
“Hm... yaudah, ikut ke rumah Kakak aja deh, ya. Sekalian Kakak juga laper, hehe. Nanti kita makan di rumah, terus coba cari tahu rumah adek di mana. Siapa tahu orang tua Kakak bisa bantu.”
Ucap Alvan karna ke pos ronda dan ke arah rumahnya berlawanan arah.
Bocah itu mengangguk cepat, wajahnya langsung cerah.
“Makasih, Kak!” katanya dengan semangat.
Setelah beberapa saat, mereka akhirnya sampai di depan rumah sederhana beratap seng.
Langkah kaki Alvan terdengar berat di teras karena tersisa lumpur.
Klop… klop… klop…
Ia membuka pintu kayu yang agak seret.
Dret… suara engsel berderit keras, khas rumah lama yang jarang diservis.
“Ayah, Ibu… Kakak pulang!” seru Alvan sambil tersenyum lega.
Dari meja makan terdengar suara ibunya,
“Oke, Kak. Cuci tangan dulu. Mari makan."
Bocah kecil yang ikut Alvan masuk bareng dengan Alvan.
“Selamat sore, Opa dan Oma!”
Alvan spontan menatap bocah itu dengan mata melebar.
“Opa dan Oma? Eh… maksudmu… Ibu dan Ayahku?” Gumam nya.
Ayahnya yang sedang duduk ngupas jagung di meja langsung mendongak, alis menukik dan mata dengan tatapan tajam.
“HEI! JANGAN BILANG INI ANAK KAU DILUAR NIKAH, ALVAN!”
Alvan hampir tersedak kaget.
“HAH?!"