NovelToon NovelToon
MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

MAHKOTA SAMUDRA Darah Dan Janji

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Istana/Kuno
Popularitas:754
Nilai: 5
Nama Author: penulis_hariku

“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15. Bayangan di balik abu dupa

Menjelang senja, langit Samudra Jaya seolah ikut berduka. Awan kelabu menggantung rendah, menutupi sinar matahari yang perlahan meredup di balik menara istana. Gong duka telah berhenti berdentang, namun isak tangis masih terdengar di setiap sudut. Di halaman tengah, api suci sudah dinyalakan untuk menyambut upacara perabuan Permaisuri Dyah Kusumawati. Wangi dupa gaharu dan bunga kenanga memenuhi udara, menembus hingga ke ruang dalam.

Putri Dyah berdiri di sisi pembaringan ibundanya untuk terakhir kalinya. Rambutnya terurai, matanya sembab, tapi kini lebih tenang. Di tangannya tergenggam bunga cempaka putih yang akan ia letakkan di atas tubuh sang permaisuri.

“Selamat beristirahat, Ibunda…,” bisiknya dengan suara parau, “semoga Sang Hyang Agung menuntun langkahmu di alam sunya.”

Sementara itu, Raden Arya berdiri tidak jauh darinya. Tatapannya tertuju pada tubuh Permaisuri, tapi pikirannya melayang pada sosok ayahandanya yang belum juga muncul. Ia masih yakin firasatnya benar—bahwa Prabu Harjaya akan datang hari ini. Namun waktu terus berjalan. Bayangan senja mulai menyelimuti halaman, dan angin mulai bertiup lebih dingin. Aruna yang berdiri di dekat pintu melangkah mendekat pelan. Para selir yang berdiri tak jauh dari Raden Arya menundukkan kepalanya. Mereka turut berduka, Permaisuri Dyah Kusumawati dikenal Permaisuri yang arif, sabar dan bijaksana, tentu ini menjadi kesedihan yang mendalam bagi mereka juga. Tapi dari keempat selir itu Ken Suryawati menatap jenazah Dyah Kusumawati dengan raut wajah datar.

“Gusti Raden,” ucapnya lirih, “Ki Wirasena sudah menunggu tanda dari Paduka. Bila kita menunda lebih lama, api suci akan padam sebelum upacara dimulai.” Raden Arya terdiam sejenak, lalu menatap langit. “Ayahanda… bila engkau mendengar, datanglah. Hanya sekali ini aku memohon padamu,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar. Tapi langit tetap diam. Hanya suara dedaunan yang bergetar diterpa angin sore.

Putri Dyah menatap adik tirinya dengan tatapan iba. Ia melangkah pelan, menggenggam tangan Raden Arya.

“Sudahlah, Adimas. Biarkan Ibunda beristirahat. Kalau memang Ayahanda diizinkan oleh Sang Hyang untuk kembali, beliau pasti akan datang meski tanpa tubuhnya.” Raden Arya menunduk, bibirnya menegang. Ia tahu, mungkin saat ini hanya harapan yang membuatnya tetap tegar. Tapi sebelum ia menjawab, tiba-tiba dari arah gerbang terdengar suara tiupan terompet panjang — tanda kedatangan tamu agung.

Semua mata menoleh. Aruna dan para prajurit segera berlari ke arah pintu utama. Tak lama kemudian, kabar itu sampai ke pelataran perabuan.

“Paduka Prabu Harjaya telah tiba!” seru salah satu abdi dengan napas tersengal. Putri Dyah menutup mulutnya, air matanya jatuh seketika. Raden Arya langsung berlari menuju pelataran, dan benar—di antara kabut senja, terlihat rombongan kecil turun dari kuda. Di depan mereka, berdiri tegap seorang pria tua berjubah putih, dengan wajah teduh namun penuh kelelahan. Rambutnya sebagian telah memutih, namun sorot matanya masih menyala dengan wibawa seorang raja.

“Paduka Ayahanda…” Raden Arya menunduk, menahan isak yang nyaris pecah. Prabu Harjaya mengangkat tangannya pelan. “Arya… Anindya…” suaranya dalam dan berat, “aku sudah tahu. Sang Hyang Agung telah berbisik dalam tapaku. Ibumu… telah kembali ke pangkuan-Nya dengan damai.” Suasana hening. Bahkan angin pun seolah berhenti berhembus. Prabu Harjaya berjalan perlahan ke arah pembaringan permaisuri, dan setiap langkahnya terasa begitu berat. Ia berlutut, mengusap lembut wajah perempuan yang telah menemaninya setengah hidupnya itu.

“Dyah… telah lama kau menanggung beban istana ini sendirian,” bisiknya, lirih tapi jelas. “Kini, biarlah aku yang menanggung sisanya.” Tangis Putri Dyah pecah. Raden Arya menunduk dalam, menggigit bibir menahan perih di dadanya. Ki Wirasena yang berdiri di sisi api suci menunduk hormat, lalu bersiap memberi aba-aba.

“Paduka Prabu… sudah saatnya.” Prabu Harjaya mengangguk pelan. Dengan tangannya sendiri, ia mengambil obor suci dan menyalakan api perabuan. Nyala api perlahan menjilat kayu gaharu, lalu menjalar lembut, mengelilingi tubuh sang permaisuri. Asap putih membumbung tinggi ke langit, berbaur dengan warna senja yang memerah. Semua orang menunduk. Doa-doa lirih terdengar bersahutan. Namun di balik barisan pelayat, Selir Ken Suryawati menatap nyala api itu dengan tatapan lain. Senyum tipisnya nyaris tak terlihat di balik kerudung hitam.

“Selamat jalan, Permaisuri…,” bisiknya nyaris tanpa suara, “akhirnya satu penghalang telah tiada.”

Di sudut matanya, kilatan api memantul, membuat wajahnya tampak semakin dingin. Sementara itu, Raden Raksa berdiri di sisi ayahandanya dengan wajah datar. Tak ada air mata, hanya pandangan kosong menatap api yang kian besar. Namun bila diperhatikan lebih saksama, ada sesuatu di balik ketenangannya seringai licik muncul secara perlahan, dia tahu ini semua bukan akhir tapi awal dari semuanya. Saat api mulai meredup, Prabu Harjaya menatap ke arah anak-anaknya. “Mulai malam ini, aku akan mengakhiri tapa brataku,” ujarnya tegas. “Terlalu lama aku berdiam diri sementara istana ini dirundung racun. Aku akan mencari siapa yang berani menodai ketenangan Samudra Jaya.”

Raden Arya menunduk hormat. “Perintah Paduka adalah titah bagi hamba.” Namun dalam diamnya, Ken Suryawati hanya tersenyum samar. Ia tahu badai baru saja dimulai. Permaisuri boleh saja telah menjadi abu, tapi permainan belum selesai. Justru kini, dengan kembalinya sang raja, medan permainan menjadi lebih menarik — dan lebih berbahaya.

***

Malam itu, hujan turun di Samudra Jaya. Air menetes pelan dari atap-atap istana, menyapu abu upacara yang belum sempat tersapu angin. Di paviliun timur, Raden Arya duduk di depan jendela, memandangi sisa dupa yang masih mengepul. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai — sebuah kebenaran yang masih bersembunyi di balik bayangan.

“Siapa pun engkau,” bisiknya lirih, “aku bersumpah atas nama darah Samudra Jaya… aku akan menemukannya.”

Dan di luar sana, di balik tirai hujan yang jatuh perlahan, sesosok bayangan hitam melintas cepat di halaman istana—bayangan yang membawa pesan dari kegelapan, pertanda bahwa kedamaian Samudra Jaya baru saja berakhir.

*****

Sementara itu di luar istana bisik-bisik rakyat tentang kematian Permaisuri menjadi perdebatan, sebagian menduga ini ada sangkut pautnya tentang perebutan tahta Permaisuri dan sebagian lagi tetap menyebut ini takdir sang dewata.

“Aku yakin lho ini pasti yang gantiin Gusti Permaisuri Dyah Kusumawati, dialah pembunuhnya,”

“Huuussst... Kamu itu Tarjo kalau ngomong itu jangan asal sembarangan to... Kalau yang naik selir baik hati kayak Gusti Dyah Ratnadewi hayoo...gak mungkin to dia yang bunuh Gusti Permaisuri,”

Laki-laki yang bernama Tarjo itu tetap pada pendiriannya, tapi seorang laki-laki yang baru pulang dari ladang mempunyai pendapat lain.

“Jo...kamu itu kalau ngomong ya jangan sembarangan jangan berburuk sangka dulu, meninggalnya Gusti Permaisuri Dyah Kusumawati itu ya sudah kehendak dewata,”

Tarjo melipat tangannya di dada, “Kehendak dewata katamu? Tapi apa kamu gak aneh, Lek? Semalam aku dengar katanya Gusti Permaisuri sehat-sehat saja. Bahkan masih sempat menengok taman peristirahatan. Tiba-tiba paginya sudah mangkat. Hmmm… kayaknya ada yang gak beres.” Perempuan paruh baya yang duduk di dekat tungku, Mbok Sri, menatap tajam. “Heh, Tarjo! Lidahmu itu bisa bawa sial, tahu? Kau pikir gampang bicara soal orang istana? Kalau prajurit dengar, bisa-bisa kau diseret ke alun-alun buat dicambuk!”

Tarjo mendengus. “Aku Cuma bilang apa yang kupikirkan, Mbok. Semua orang juga tahu sekarang suasana istana lagi tegang. Selir kedua makin sering dipanggil ke balairung, katanya Prabu juga belum sadar dari tapanya. Siapa tahu ada yang ingin merebut kedudukan Gusti Permaisuri, lalu...”

“Cukup, Jo!” sela laki-laki tua yang dari tadi diam di sudut bale. Ia dikenal sebagai Mbah Wiryo, orang tertua di kampung itu. Suaranya berat tapi berwibawa. “Kalau bicara tanpa tahu kebenarannya, itu namanya fitnah. Apa kau mau menanggung dosanya kalau ternyata Gusti Permaisuri memang dipanggil Sang Hyang karena waktunya sudah tiba?”

Suasana di warung bambu itu mendadak hening. Hanya suara ayam yang berkokok dari kejauhan, seolah ikut menegaskan keheningan pagi yang suram itu. Namun seorang pemuda yang baru datang sambil membawa keranjang sayur bergumam pelan, “Tapi aneh juga, Mbah... Katanya Gusti Dyah Ratnadewi sekarang sering mendampingi Gusti Raden Arya. Kalau benar kematian Permaisuri itu alami, kenapa banyak dayang di istana katanya dilarang bicara?”

Tarjo cepat menimpali, “Nah! Itu dia! Sudah jelas kan? Ada yang disembunyikan di balik tirai istana! Aku yakin ini karena racun. Orang dalam sendiri yang melakukannya!”

“Diam, Jo!” bentak Mbok Sri sambil menepuk bahunya. “Kau itu terlalu banyak mendengar gosip pasar! Jangan samakan lidahmu dengan hati para bangsawan! Mereka punya jalan dan takdir sendiri.” Beberapa warga lain mulai ikut nimbrung. Ada yang membenarkan Tarjo, ada pula yang membela pandangan Mbah Wiryo. Dua kubu terbentuk tanpa mereka sadari. Yang satu yakin Permaisuri diracun, sementara yang lain percaya ini memang takdir ilahi.

“Kalau memang racun,” ujar petani tua bernama Pak Sarta, “kenapa tubuh Permaisuri tidak diperiksa para tabib? Katanya jenazahnya langsung dimandikan dan dibungkus kain putih dari istana tanpa upacara panjang. Aneh, bukan?”

Seorang pemuda lain menimpali, “Itu karena Prabu menghendaki begitu. Beliau dapat wangsit dari Sang Hyang, katanya tidak boleh menunda perjalanannya Permaisuri ke alam baka.”

“Wangsit atau alasan?” cibir Tarjo lirih, “kadang orang besar suka sembunyi di balik nama dewata.” Sekali lagi suasana menegang. Beberapa orang menatap Tarjo dengan gelisah, takut ucapannya terdengar prajurit penjaga yang sesekali berpatroli di sekitar pasar. Namun sebelum perdebatan semakin panas, suara gong dari arah istana terdengar samar—tanda bahwa upacara persiapan kremasi telah dimulai. Semua kepala spontan menoleh ke arah puncak atap istana yang menjulang di kejauhan.

“Lihat... asap dupa sudah mulai naik,” gumam Mbok Sri dengan nada lirih. “Akhirnya Gusti Permaisuri akan kembali ke pangkuan dewata. Sudahlah, Jo. Biarlah para dewa yang menimbang kebenaran. Kita ini Cuma rakyat kecil.” Tarjo terdiam. Ia menunduk, menatap tanah dengan mata yang tak lagi setegas tadi. Angin berhembus lembut, membawa aroma dupa yang samar sampai ke pasar, membuat setiap orang terdiam dalam doa yang tak terucap. Namun di antara hening itu, masih ada tanda tanya di hati mereka—apakah kematian Permaisuri benar karena takdir, ataukah karena tangan manusia yang tak kasat mata?

Dan di tengah kabut pagi yang mulai turun, bisik-bisik itu tetap bergaung pelan... menyebar dari mulut ke mulut, dari warung ke jalan, menunggu waktu untuk menemukan kebenarannya.

****

Malam harinya di istana, Prabu Harjaya mengutarakan isi wangsit yang dia dapat selama bersemedi, Mahapatih Nirmala Wisesa, Prabu Harjaya duduk di singgasananya dengan tenang, wajahnya tampak lebih tirus, namun matanya memancarkan cahaya yang dalam, seolah menyimpan rahasia besar dari alam gaib. Di sisi kirinya berdiri Mahapatih Nirmala Wisesa, sosok bijak dan berwibawa yang selalu menjadi tangan kanan sang raja. Para adipati dan tumenggung duduk bersila dengan penuh hormat di hadapan mereka, menanti suara Sang Prabu yang mulai berbicara dengan nada berat dan tenang.

“Para bangsawan, para pemimpin negeri Samudra Jaya,” ujar Prabu Harjaya perlahan, suaranya menggema di ruangan luas itu. “Selama tiga puluh malam hamba bertapa di puncak Argajaya, memohon petunjuk kepada Sang Hyang Agung tentang masa depan kerajaan kita.” Ruangan menjadi sunyi. Bahkan suara jangkrik di luar seakan lenyap. Semua mata tertuju pada sosok raja yang kini menunduk sejenak, seperti mengingat kembali pengalaman batinnya.

“Dalam semadi itu,” lanjut Prabu Harjaya, “aku mendapat penglihatan… sebuah cahaya besar menyelimuti Samudra Jaya. Tapi cahaya itu perlahan meredup, seolah hendak padam. Dari balik kabut putih itu, muncul sosok tua berjubah putih, dan beliau berkata—‘Jika Samudra Jaya ingin tetap berdiri tegak di bumi Nusantara, maka harus ada ikatan suci antara darah Samudra Jaya dan darah Mandalapura.’” Beberapa bangsawan saling berpandangan. Bisik-bisik kecil mulai terdengar. Mahapatih Nirmala menundukkan kepala, merenungi arti dari wangsit itu. Sementara Prabu Harjaya melanjutkan dengan suara yang lebih mantap.

“Sang Hyang Agung telah memberi titah agar Putri Dyah Anindya, darah dagingku sendiri, bersatu dalam pernikahan dengan putra mahkota dari kerajaan Mandalapura. Hanya dengan begitu keseimbangan negeri ini akan terjaga, dan Samudra Jaya tidak akan jatuh ke dalam kehancuran yang telah diramalkan.” Kata-kata itu membuat ruangan terasa lebih berat. Tumenggung Wiranegara menunduk dalam, sementara Adipati Sura Kertajaya mengerutkan dahi. “Ampun Gusti Prabu,” ucap Adipati Sura perlahan. “Apakah ini benar titah dari Sang Hyang Agung? Sebab, jika benar demikian, maka pernikahan itu bukan sekadar penyatuan dua darah bangsawan, melainkan perjanjian suci dua kerajaan besar di tanah Nusantara.”

Prabu Harjaya mengangguk pelan. “Benar, Adipati. Tapi jangan kalian kira ini hanya tentang persatuan. Aku melihat sesuatu yang lebih dalam… bayangan perang, darah, dan perpecahan. Dua kerajaan sahabat bisa saja menjadi musuh jika tak disatukan dengan ikatan suci.” Mahapatih Nirmala yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara, suaranya dalam namun lembut. “Ampun Gusti Prabu, jika demikian adanya, maka ini adalah kabar besar bagi negeri. Namun, apakah Gusti Putri telah mengetahui wangsit ini?”

Prabu Harjaya menatap mahapatihnya dengan pandangan tajam namun penuh kebimbangan. “Belum, Nirmala. Aku belum sanggup menyampaikannya. Putri Dyah masih dirundung duka atas kepergian ibundanya. Aku takut kabar ini akan menambah beban hatinya. Tapi titah dewata tidak bisa diabaikan.” Mahapatih Nirmala mengangguk dengan penuh hormat. “Kalau begitu, biarlah hamba yang nanti menyampaikan dengan cara yang halus. Bagaimanapun juga, kehendak Sang Hyang Agung harus dijalankan dengan kebijaksanaan, agar tak menimbulkan luka di hati Gusti Putri.”

Tumenggung Wiranegara menimpali, “Namun, Gusti Prabu… apakah pihak Mandalapura telah mengetahui wangsit ini?”

Prabu Harjaya menggeleng pelan. “Belum. Tapi aku telah mengutus Tumenggung Jaya kusuma beserta dua prajurit pilihan untuk membawa surat pribadi kepada Sang Raja Mandalapura. Aku percaya, bila ini kehendak para dewata, maka jalan akan terbuka dengan mudah.” Semua yang hadir menundukkan kepala tanda hormat. Tak seorang pun berani menentang keputusan yang lahir dari wangsit ilahi. Namun, di antara mereka, ada kegelisahan yang tak terucap. Sebab, mereka tahu, pernikahan antar kerajaan tidak selalu berakhir dengan kedamaian — kadang justru membawa badai yang tak bisa ditebak. Prabu Harjaya mengakhiri sabdanya dengan nada yang dalam. “Ingatlah, para bangsawan. Apa yang aku sampaikan malam ini adalah titah Sang Hyang Agung. Jagalah rahasia ini sampai tiba saatnya diumumkan. Bila ada yang menentang, itu sama saja menentang kehendak langit.” Semua membungkuk dalam-dalam, mengucap sembah bakti. Sementara Mahapatih Nirmala memejamkan mata sejenak, hatinya terasa berat. Di dalam pikirannya, ia tahu, malam itu bukan sekadar awal dari perjanjian suci… tapi mungkin awal dari takdir besar yang akan mengguncang Samudra Jaya.

1
Yuuko Ichihara
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
kokichi.oma.panta
Wuihh! Simpel tapi menghibur banget ni novel.
Indah Devi: terima kasih /Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!