NovelToon NovelToon
Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Bercerai Setelah Lima Tahun Pernikahan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Nagita Putri

Nathan memilih untuk menceraikan Elara, istrinya karena menyadari saat malam pertama mereka Elara tidak lagi suci.

Perempuan yang sangat ia cintai itu ternyata tidak menjaga kehormatannya, dan berakhir membuat Nathan menceraikan perempuan cantik itu. Namun bagi Elara ia tidak pernah tidur dengan siapapun, sampai akhirnya sebuah fakta terungkap.

Elara lupa dengan kejadian masa lalu yang membuatnya ditiduri oleh seorang pria, pertemuan itu terjadi ketika Elara sudah resmi bercerai dari Nathan. Pria terkenal kejam namun tampan itu mulai mengejar Elara dan terus menginginkan Elara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nagita Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

****

Hari itu tampak Elara yang kini duduk di meja kecil di luar ruang kerja Marvin menatap tumpukan agenda yang baru saja diserahkan padanya.

“Agenda rapat pukul sembilan, lalu konferensi via daring pukul sebelas, makan siang dengan investor pukul satu, ini… ini bahkan belum termasuk menyiapkan dokumen yang beliau minta.” decak Elara dengan banyak pekerjaannya itu.

Belum sempat ia menarik napas panjang, pintu ruangan Marvin terbuka. Sosok pria itu keluar dengan wajah serius, membawa berkas di tangannya.

“Elara.” ucapnya.

Elara berdiri cepat.

“Ya, Tuan?” balas Elara.

“Catat. Tunda rapat internal sore ini menjadi besok pagi. Kirim pemberitahuan kepada seluruh kepala divisi, jangan sampai ada yang tertinggal. Mengerti?” ucap Marvin.

“Baik, Tuan. Segera saya lakukan.” ucap Elara membalas.

Marvin berjalan pergi dengan langkah panjang. Elara buru-buru duduk kembali dan mulai mengetik e-mail, namun jemarinya sempat bergetar karena terburu-buru.

Menjelang siang.

Elara berlari kecil menyusul Marvin ke ruang rapat. Ia membawa map berisi dokumen yang diminta. Namun begitu masuk, ia sadar bahwa para eksekutif senior sudah duduk di dalam, menatapnya dengan tatapan penuh heran.

'Ya Tuhan, semua mata tertuju padaku.' ucap Elara membatin.

Marvin mengulurkan tangannya tanpa menoleh.

“Dokumen itu.” ucap Marvin.

Elara menyerahkan dengan cepat.

“Ini, Tuan.” ucap Elara.

Marvin membolak-balik cepat, lalu mendongak dengan tatapan tajam.

“Lain kali, jangan menumpuk kertas secara acak. Pisahkan berdasarkan urutan agenda. Aku tidak punya waktu mencari sendiri.” ucap Marvin terdengar kesal.

Elara menunduk, menghadapi emosi Marvin apalagi tatapan tajamnya itu.

“Saya mohon maaf, Tuan. Akan saya perbaiki kedepannya.” ucap Elara.

Rapat berjalan tegang, dan Elara berdiri di sudut ruangan sambil mencatat poin-poin penting.

Sesekali matanya bertemu dengan pandangan Marvin yang tampak tajam, namun sesekali ia juga menemukan tatapan itu melembut sekilas, seolah Marvin ingin memastikan kalau Elara paham dengan isi rapat.

Begitu rapat selesai, Marvin berjalan cepat keluar ruangan. Elara bergegas mengejarnya.

Marvin tanpa menoleh langsung bicara.

“Elara, pastikan semua hasil rapat segera dituliskan dalam buku dan dikirim sebelum sore.” ucap Marvin.

Elara terengah mengikuti langkah Marvin.

“Baik, Tuan.” balas Elara.

Sesampainya di ruangannya, Elara langsung sibuk mengetik. Jam makan siang sudah lewat, namun ia belum sempat menyentuh makanan.

Pintu tiba-tiba terbuka. Marvin masuk dengan ekspresi dingin, namun matanya melirik meja Elara yang kosong dari bekal.

“Kau belum makan?” tanya Marvin.

Elara terkejut sampai bangkit berdiri.

“Ah, belum, Tuan. Saya sedang menyelesaikan catatan rapat.” ucap Elara.

Marvin menatapnya dengan datar.

“Tidak ada pekerjaanku yang cukup penting sampai harus mengorbankan kesehatanmu. Makanlah, baru lanjutkan.” ucap Marvin.

Elara tertegun. Ia hanya bisa mengangguk kecil.

“Terima kasih, Tuan. Saya akan segera makan.” balas Elara.

Marvin menghela napas singkat lalu masuk ke ruangannya tanpa komentar lebih.

**

Hari berikutnya, ritme kerja semakin berat. Pagi-pagi sekali Elara sudah menerima daftar tugas baru, mengatur perjalanan bisnis, serta menghubungi mitra kerja internasional.

Beberapa kali ia salah menekan nomor telepon, hingga suara Marvin terdengar dari balik meja kaca.

“Fokus, Elara. Sekali lagi salah, aku sendiri yang akan menanganinya.” ucap Marvin.

Elara menjawab sampai terbata.

“Maaf, Tuan, saya akan lebih teliti.” balas Elara dibuat gugup hampir tiap hari oleh Marvin.

Meski terlihat marah, Marvin diam-diam memperhatikan. Ia melihat jemari Elara sedikit gemetar, wajahnya pucat karena lelah. Saat ia menutup telepon, Marvin berjalan keluar.

“Berhenti sebentar. Tarik napas. Kau terlihat terlalu tegang.” ucap Marvin kali ini dengan lembut.

Elara mendongak, tentu ia jadi bingung.

“Tuan?” tanya Elara heran.

“Aku tidak butuh sekretaris yang panik. Aku butuh sekretaris yang tenang. Jika kau merasa sulit, ambil waktu sebentar. Paham?” lanjut Marvin.

Elara mengangguk kecil.

“Ya, Tuan. Saya mengerti.” balas Elara.

Hari itu Elara pulang lebih malam dari biasanya. Ia masih duduk merapikan dokumen ketika mendengar suara langkah dari ruang Marvin.

Pintu terbuka, dan pria itu keluar tanpa jas, hanya kemeja dengan lengan tergulung.

“Kau masih di sini?” tanya Marvin heran.

“Ya, Tuan. Saya ingin memastikan agenda besok sudah rapi.” balas Elara.

Marvin berhenti menatap.

“Sekretaris biasanya tahu kapan harus pulang. Kau pikir aku membayar lembur?” tanya Marvin sedikit kesal.

Elara tersenyum kecil saat mendengar ucapan Marvin.

“Bukan begitu, Tuan. Saya hanya tidak ingin mengecewakan Anda.” ucap Elara memberi tanggapan.

Marvin terdiam beberapa detik, lalu melangkah lebih dekat. Tatapannya tajam namun kali ini ada sesuatu yang berbeda, seolah ia mengamati sisi lain dari Elara.

“Kau, berbeda dari yang lain.” tiba-tiba Marvin berucap hal yang tak dimengerti oleh Elara.

Elara bingung.

“Maksud Tuan?” tanya Elara.

“Biasanya mereka mencari kesempatan, mencoba mendekat untuk keuntungan pribadi. Kau justru tampak takut sekaligus berusaha keras.” jawab Marvin menjelaskan.

Elara menunduk, wajahnya memanas.

“Saya hanya ingin bekerja dengan baik, Tuan. Itu saja.” ucap Elara menahan senyum.

Marvin mengangguk tipis, lalu berbalik menuju pintunya. Namun sebelum masuk, ia sempat menoleh.

“Besok, jangan lupa sarapan. Wajah pucatmu tidak cocok untuk menjamu investor.” ucap Marvin.

Pintu tertutup kembali. Elara terdiam di kursinya, Bossnya kali ini terdengar lebih perhatian.

"Apa tadi dia memperhatikanku?" gumam Elara yang setelahnya acuh.

***

Hari-hari Elara tak pernah benar-benar tenang. Setiap pagi ia datang lebih awal, memastikan meja kerja Marvin sudah rapi, agenda harian teratur, dan semua dokumen siap sebelum pria itu keluar dari lift eksekutif.

Namun Marvin bukan tipe atasan yang mudah puas. Hampir setiap tugas yang dikerjakan Elara selalu diuji dengan komentar yang menusuk.

Pagi itu, Marvin sedang menatap layar laptopnya dengan alis berkerut. Elara berdiri di dekatnya sambil membawa laporan keuangan yang sudah ia susun semalaman.

“Tuan, ini laporan yang Anda minta. Saya sudah menambahkan catatan kecil untuk memudahkan Anda melihat detail per bulan.” ucap Elara.

Tentu saja pekerjaan itu datangnya dari Marvin sendiri.

Marvin menerima, lalu membaca cepat.

“Hmm, menarik.” singkatnya.

Elara sempat tersenyum lega, namun ekspresi Marvin berubah datar.

“Menarik bukan berarti bagus. Kau menambahkan catatan, tapi kau lupa mencantumkan data pembanding sebelumnya. Tanpa itu, laporan ini tidak lebih dari tumpukan angka mati.” ucap Marvin.

Elara menelan ludah.

“Saya minta maaf, Tuan. Akan saya revisi.” balas Elara.

Marvin menutup map, tatapannya tajam.

“Jangan minta maaf terus. Belajar dari kesalahanmu. Kau pikir dunia bisnis akan menunggu sampai kau siap? Tidak, Elara. Mereka akan menginjakmu.” ucap Marvin seakan sedang kesal pada Elara.

Suasana tegang. Elara menunduk, namun ia berusaha tetap tegar.

“Baik, Tuan. Saya akan segera memperbaikinya.” lanjut Elara lagi.

Marvin memperhatikannya beberapa detik lebih lama sebelum kembali menunduk ke laptopnya. Ada sesuatu di matanya, campuran kesal sekaligus kagum pada kegigihan Elara.

***

Hari itu Elara mengatur jadwal Marvin yang sangat padat, hingga ia sendiri hampir tak punya waktu untuk beristirahat.

Saat ia sibuk mengetik, tiba-tiba sebuah cangkir kopi diletakkan di sampingnya.

Elara mendongak kaget. Marvin berdiri di sana dengan wajah datar.

"Oh?" kaget Elara.

“Kau sudah menatap layar terlalu lama. Minum itu.” ucap Marvin.

Elara sempat bingung.

“Saya…, ah terima kasih, Tuan.” balas Elara cepat.

Marvin tidak menjawab, hanya berbalik masuk ke ruangannya. Elara menatap punggung pria itu dengan perasaan campur aduk.

**

Beberapa minggu kemudian, Marvin mengajak Elara menghadiri acara gala dinner perusahaan yang diadakan di sebuah hotel mewah.

Malam itu, Elara mengenakan gaun hitam sederhana namun anggun, rambutnya digelung rapi. Ia tampak gugup karena harus berdiri di sisi Marvin, pria yang menjadi pusat perhatian banyak orang.

Marvin berbisik pelan saat mereka masuk ke aula.

“Ingat, malam ini kau sekretarisku. Tatap mata mereka, jangan pernah menunjukkan kegugupan.” ucap Marvin.

Elara mengangguk paham.

“Baik, Tuan. Saya akan berusaha.” balas Elara.

Aula itu penuh dengan pebisnis ternama dan investor dari berbagai negara. Elara sibuk membantu Marvin memperkenalkan diri, menyiapkan kartu nama, bahkan sesekali membisikkan informasi singkat tentang lawan bicaranya.

Marvin beberapa kali meliriknya, terlihat cukup puas dengan kinerjanya.

Namun tiba-tiba, langkah Elara terhenti. Dari kerumunan tamu, ia melihat sosok yang tak asing, Nathan.

Satu kata, sakit. Hatinya tertikam menatap sosok itu.

Nathan berdiri elegan dengan setelan jas, memegang gelas wine di tangannya.

Tatapannya langsung tertuju pada Elara, dan senyum samar muncul di bibirnya. Ia melangkah mendekat.

“Elara?” ucap Nathan.

Elara membeku sesaat. Ia menegakkan bahunya dan menatap Nathan dengan dingin.

Marvin yang berdiri di samping Elara mengerutkan kening. Ia menoleh ke arah pria asing itu.

“Kau mengenalnya?” tanya Marvin.

Nathan menyodorkan tangan, menatap Marvin dengan penuh percaya diri.

“Nathan. Seorang kenalan lama.” balas Nathan menjawab.

Elara menyela cepat.

“Ya, kenalan lama. Tidak lebih dari itu.” ucap Elara.

Nathan sedikit terkejut dengan nada dingin Elara, tapi ia tetap tersenyum.

“Aku tak menyangka bertemu denganmu di sini. Kau tampak berbeda.” ucap Nathan.

“Saya sedang bekerja. Jadi jika tidak ada urusan penting, sebaiknya kita tidak berbicara terlalu lama.” balas Elara dengan dingin.

Marvin menatap interaksi itu dengan tajam, matanya penuh tanda tanya.

“Jika kau tidak keberatan, sekretarisku harus kembali fokus pada pekerjaannya malam ini.” ucap Marvin.

Nathan menoleh, tersenyum tipis walau terkejut kalau Elara sekarang menjadi sekretaris bagi pria pebisnis yang terkenal kaya raya itu.

“Tentu. Senang bertemu denganmu lagi, Elara.” ucap Nathan menatap Elara yang cantik dan indah ketika dipandang oleh matanya.

Elara hanya mengangguk singkat, lalu segera menarik napas panjang dan kembali mendampingi Marvin.

Saat mereka berjalan menjauh, Marvin melirik Elara dengan tatapan penuh selidik.

“Kenalan lama, hm?” tanya Marvin.

Elara menatap ke depan, tatapannya begitu dingin.

“Ya. Hanya masa lalu, Tuan. Tidak ada yang penting untuk dibicarakan.” balas Elara.

Marvin mengerling heran, nada suaranya tetap datar.

“Baiklah. Selama kau tidak membiarkan masa lalu mengganggumu di masa sekarang.” ucap Marvin.

Elara menunduk pelan, merasa campur aduk. Namun dalam hati, ia lega, ia telah memilih untuk bersikap abai, untuk tidak membuka ruang bagi Nathan lagi.

Marvin, di sisi lain, diam-diam merasakan sesuatu. Ada rasa protektif yang muncul ketika melihat Elara berhadapan dengan pria itu. Ia tak suka bagaimana Nathan menatap Elara, seakan-akan masih memiliki hak atas dirinya.

'Aku tak suka.' gumam Marvin membatin.

Malam itu, acara terus berlanjut. Tapi bagi Elara, pertemuan singkat dengan Nathan menjadi titik kecil yang menegaskan pilihannya, masa lalu tak lagi penting.

Yang ada hanyalah pekerjaannya sekarang, dan sosok pria tegas bernama Marvin Luther yang entah mengapa semakin menarik perhatiannya.

Marvin menoleh.

"Kalung kan tanganmu di lenganku, Elara." ucap Marvin.

Elara terkejut tapi tatapan Marvin terlalu tegas hingga membuatnya mengangguk dan mengalungkan tangannya di lengan Marvin.

Sedangkan Nathan menyaksikan hal itu tepat di depan matanya.

Bersambung...

1
Rasmi Linda
kau bodoh dia naksir kau
Jumiah
jangan kawatir lara kmu akan mendapatkan yg lebih baik dri sebelum x..
Tzuyu Twice: setuju
total 1 replies
Siti Hawa
aku mmpir thoor... dari awal aku baca, aku tertarik dengan ceritanya... semangat berkarya thoor👍💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!