Dua orang sahabat dekat. Letnan satu Raden Erlangga Sabda Langit terpaksa harus menjadi presiden dalam usia muda karena sang ayah yang merupakan presiden sebelumnya, tutup usia. Rakyat mulai resah sebab presiden belum memiliki pasangan hidup.
Disisi lain presiden muda tetap ingin mengabdi pada bangsa dan negara. Sebab desakan para pejabat negara, ia harus mencari pendamping. Sahabat dekatnya pun sampai harus terkena imbas permasalahan hingga menjadi ajudan resmi utama kepresidenan.
Nasib seorang ajudan pun tak kalah miris. Letnan dua Ningrat Lugas Musadiq pun di tuntut memiliki pendamping disaat dirinya dan sang presiden masih ingin menikmati masa muda, apalagi kedua perwira muda memang begitu terkenal akan banyak hitam dan putih nya.
Harap perhatian, sebagian besar cerita keluar dari kenyataan. Harap bijaksana dalam membaca. SKIP bagi yang tidak tahan konflik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Tak terduga.
"Saya tidak tau, Pak. Yang penting saya tidak mau dinikahkan dengan orang tua itu." jawab Denayu dengan nada putus asa.
Bang Lugas menghela napas panjang. Ia bisa merasakan betapa berat beban yang dipikul oleh gadis muda ini. Dipaksa menikah dengan orang yang tidak dicintai, tentu bukan hal yang mudah untuk diterima begitu saja.
"Kamu tidak bisa terus menerus lari seperti ini, Denayu. Kamu harus punya tujuan yang jelas. Apa yang ingin kamu lakukan dengan hidupmu?" tanya Bang Lugas dengan lembut.
Denayu terdiam sejenak, tampak berpikir keras. "Saya... saya ingin kerja, apa saja asal halal." jawabnya lirih.
Bang Lugas tersenyum. "Itu lebih baik. Kamu punya impian yang jelas untuk hidupmu. Kamu tidak bisa lari dari kenyataan. Tapi setelah ini, kamu mau kerja dimana?"
"Nggak tau, mungkin di kebun tembakau milik Bapak tua itu." kata Denayu, air mata mulai membasahi pipinya.
Bang Lugas ternganga mendengarnya. "Kamu ini bagaimana sih?? Kalau ujung-ujungnya kembali kesana lagi, lantas kenapa kamu lari????" Sungguh Bang Lugas tidak habis pikir dengan pemikiran Denayu yang luar biasa. "Bagaimana kalau saya bantu kamu. Saya akan antar kamu ke tempat yang aman. Kamu bisa tinggal di sana untuk sementara waktu, sambil memikirkan apa yang ingin kamu lakukan."
"Tapi, Pak. Saya butuh pekerjaan untuk melanjutkan hidup saya." Jawab Denayu.
"Saya paham. Kalau kamu bersedia, itulah tawaran yang saya berikan." Kata Bang Lugas.
Denayu terdiam sejenak, ia terus berpikir dan menimbang tawaran dari pria yang duduk di sampingnya, pria itu tidak nampak jahat. Tak lama angin berhembus mengaburkan pikirnya. Dingin mulai menusuk tulang, tubuh Denayu gemetar hebat.
"Kenapa?? Dingin lagi?" Tanya Bang Lugas.
Denayu mengangguk pelan. Ia mencengkeram erat jemari Bang Lugas. Angin sungguh tak bersahabat, udara dingin semakin terasa membekukan persendian.
Sigap Bang Lugas kembali memeluk dan menenangkan Denayu. Tubuh gadis itu kembali dingin, sedingin es.
"Lain kali perhatikan dirimu juga, kalau tidak kuat.. Jangan sembarangan..!!" Kata Bang Lugas mengingatkan. "Kalau kamu masih ada rasa percaya, kamu bisa ikut dengan saya..!!"
"Saya percaya, saya ikut Bapak." Entah apa yang terjadi, Denayu bersandar pada dada bidang Bang Lugas.
Bang Lugas tau, semua ini bukanlah hal yang baik tapi tidak ada pilihan untuk sedikit nya menyembuhkan hipotermia selain kata 'hangat' meskipun kini perlakuan nya berbeda.
Malam itu, mereka berdua tidur di dalam tenda yang sempit. Bang Lugas memastikan Denayu merasa nyaman dan aman sebelum memejamkan matanya. Ia berjaga sepanjang malam, memastikan tidak ada bahaya yang mengintai mereka, termasuk bahaya dari batin dan pikiran nya yang tidak mungkin, tidak bergejolak.
***
Pagi harinya, setelah sarapan dengan makanan seadanya, Bang Lugas dan Denayu bersiap untuk turun gunung. Bang Lugas memapah Denayu yang masih lemas dan membantunya menuruni jalan setapak yang curam dan berbatu.
"Terima kasih, Pak. Bapak sudah menyelamatkan saya," kata Denayu dengan tulus. Ia merapatkan jaketnya, jaket milik Bang Lugas yang kini ia gunakan.
"Sama-sama. Saya senang bisa membantu kamu," jawab Bang Lugas sambil tersenyum.
"Bapak tidak dingin?" Tanya Denayu.
"Dingin, rasa sakit, takut, semua hanya ilusi. Jalani saja semua, pasti akan terasa ringan." Jawab Bang Lugas.
Denayu mengangguk berusaha memahami makna kata ringan yang baru saja terlontar.
...
Turun gunung tidak terasa lama karena berdua. Di kaki gunung, Bang Lugas memesan satu gelas teh hangat dan secangkir kopi hitam pahit.
Saat itu Denayu melihat nama di sebuah saku dalam jacket milik Bang Lugas yang sedang ia gunakan. Letda N. L. Musadiq.
"Oohh.. Jadi namanya Letda." Gumam Denayu yang polos.
Tak berapa lama, Bang Lugas pun kembali membawa dua buah nasi rames. Mereka pun menikmati dengan lahap namun di saat itu pula ada beberapa orang yang mengintai Bang Lugas tanpa mereka sadari.
"Letnan Lugas. Saya minta waktu sebentar, bagaimana hubungan anda dengan Mbak Nadine??? Lalu siapa gadis yang sedang bersama anda saat ini?? Apakah ada dugaan skandal lagi yang terjadi???"
"Akan saya jawab di tempat yang berbeda. Saat ini saya meminta ruang privasi dan tidak melibatkan siapapun." Jawab Bang Lugas dengan tegas.
Tak di sangka para pemburu berita menodong Denayu dengan banyak pertanyaan. "Hanya ada satu tas ransel yang kalian bawa. Apakah semalaman kalian berada dalam satu tenda??"
"Iii_ya." Denayu yang polos begitu takut dan refleks menjawab demikian.
Bang Lugas pun berusaha untuk tenang meskipun perasaannya jauh dari kata tenang. Jemarinya mengepal, ia tau dunianya tidak pernah sama sejak ia dekat dengan sang presiden. Jika ia salah langkah, maka korban selanjutnya adalah Denayu.
Tiba-tiba cahaya menyoroti mereka berdua. Mau tidak mau Bang Lugas harus mengambil langkah. "Wanita di samping saya ini, adalah istri saya. Jadi tolong untuk tidak bertanya lagi atau mengkaitkan apapun dengan nama Nadine. Saya dan Nadine tidak pernah ada hubungan apapun, semua yang terjadi adalah kesalah pahaman, saya bertemu dengannya hanya sebatas dari bagian pekerjaan, tidak lebih." Ujar Bang Lugas.
Denayu yang mendengarnya hanya berkedip-kedip sebab ia bingung dengan semua hal yang terjadi begitu cepat tanpa bisa di cegah.
.
.
.
.