Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Keesokan paginya, alarm ponsel Aruna berbunyi nyaring berulang kali. Ia terbangun dengan mata setengah terbuka, kepala berat seolah dipenuhi batu. Malam tadi ia sama sekali tidak tidur nyenyak, bahkan hampir tidak tidur sama sekali. Pikiran tentang pernikahan empat hari lagi terus berputar-putar tanpa henti, membuatnya gelisah sepanjang malam.
Aruna mengucek matanya pelan, tapi yang ia lihat di cermin meja rias justru membuatnya semakin terpuruk. Lingkaran hitam pekat menghiasi bawah matanya, jelas sekali seperti panda. Rambutnya kusut, wajahnya pucat.
“Astaga…” gumamnya lirih sambil menyentuh kantung matanya. “Kalau begini terus… aku bisa kelihatan sepuluh tahun lebih tua.”
Namun waktu tidak berpihak padanya. Ia buru-buru beranjak ke kamar mandi, membasuh wajah dengan air dingin, berharap bisa sedikit menyamarkan kantung mata yang parah itu. Ia mandi secepat kilat, lalu bersiap dengan pakaian kerjanya yang rapi. Rasa lelah masih terasa jelas, tapi ia tak punya pilihan selain memaksakan diri.
Begitu keluar rumah, Aruna langsung menghentikan taksi seperti biasanya. Ia duduk di kursi belakang, bersandar sambil memejamkan mata sebentar, berharap perjalanan bisa memberinya kesempatan untuk mengistirahatkan kepala yang pening. Namun setiap kali menutup mata, bayangan gaun pengantin, janji pernikahan, dan tatapan dingin ibunya semalam kembali muncul, membuat dadanya sesak.
Tak lama, taksi berhenti di depan kantornya. Aruna membayar cepat, lalu berjalan masuk dengan langkah agak gontai. Begitu ia melewati pintu lobi, seorang rekan kerjanya langsung menatap heran.
“Na…” panggil seorang teman sekantornya, Dina, dengan alis terangkat. “Kamu kenapa? Mata kamu… Astaga, itu parah banget. Semalaman begadang, ya? Kok kayak panda gitu?”
Aruna berhenti sejenak, tersenyum tipis tapi tidak menjawab. Bibirnya bergerak, seolah ingin menjelaskan, namun suara tercekat di tenggorokannya. Bagaimana ia bisa mengatakan kalau semalam ia menangis karena terpaksa menikah hanya dalam empat hari? Bagaimana ia bisa menjelaskan kalau dirinya tengah terjebak di pusaran besar yang tak bisa ia kendalikan?
“Aku nggak apa-apa,” ucapnya singkat, lalu berjalan melewati Dina.
“Yakin? Kalau sakit mending ijin, Na,” sahut Dina lagi, kali ini dengan nada lebih lembut. Tapi Aruna hanya melambaikan tangan tanpa menoleh, seolah ingin menutup pembicaraan.
Begitu sampai di mejanya, ia langsung menarik napas panjang. Di hadapannya, tumpukan berkas sudah menanti. Pekerjaan yang menumpuk seolah tidak peduli dengan masalah pribadinya. Aruna mencoba menenangkan diri, membuka map satu per satu, lalu mulai menyalin berkas ke komputer. Jemarinya bergerak di atas keyboard, meski matanya berat sekali.
Setiap huruf yang ia ketik terasa seperti beban. Kadang ia salah memasukkan data, lalu buru-buru menghapus dan memperbaiki. Konsentrasinya kacau, pikirannya melayang-layang ke arah yang sama: empat hari lagi.
Sesekali ia berhenti, menatap layar kosong dengan tatapan nanar. Lalu ia menarik napas panjang, mengusap wajahnya, dan kembali memaksa dirinya menyalin dokumen.
Di tengah kelelahan itu, ponselnya bergetar pelan di meja. Aruna menoleh. Sebuah pesan masuk dari Arkan. Sekilas bibirnya melengkung, ada perasaan hangat yang muncul di tengah kegalauan. Namun ia tidak langsung membukanya, memilih menatap layar komputer lebih lama, seakan takut membaca sesuatu yang bisa kembali membuat hatinya berdebar tak karuan.
Tangannya sempat ragu-ragu di atas ponsel. Ia sadar betul, kata-kata Arkan semalam banyak memberinya ketenangan. Tapi di sisi lain, ia juga takut… takut kalau semua itu hanya janji manis yang pada akhirnya tak seindah kenyataan.
Sambil menyalin berkas lagi, Aruna mendesah pelan. Hari baru saja dimulai, tapi hatinya sudah terasa lelah seakan melewati satu minggu penuh.
Waktu istirahat makan siang datang, karyawan lain mulai meninggalkan meja mereka. Ada yang turun ke kantin, ada yang memesan makanan lewat aplikasi. Ruangan kantor terasa lebih lengang. Namun Aruna tetap duduk di kursinya, menatap layar komputer dengan mata sayu. Tangannya masih sibuk menyalin data, meski matanya semakin kabur karena kelelahan.
Ia tahu tubuhnya butuh istirahat, tapi hatinya enggan. Terlalu banyak yang menumpuk, baik di meja kerjanya maupun di dalam kepalanya.
Sampai tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Aruna mengangkat kepalanya pelan, lalu matanya sedikit membesar ketika melihat sosok Arkan berdiri di samping mejanya.
Ia tidak berkata apa pun. Dengan wajah tenang seperti biasanya, Arkan meletakkan sekotak makanan di meja Aruna, lengkap dengan sebotol air mineral. Ia hanya menatap Aruna sebentar, seolah ingin memastikan semuanya baik-baik saja, lalu berbalik pergi tanpa sepatah kata pun.
Aruna terdiam. Tangannya refleks menyentuh kotak makanan itu, merasakan hangatnya yang masih baru diambil. Ada aroma lezat yang samar tercium.
“Arkan…” bisiknya lirih, nyaris tidak terdengar.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Wajahnya terasa panas, padahal tubuhnya tadi begitu lemas. Perhatian kecil itu—meski tanpa kata-kata manis, meski tanpa senyum panjang—cukup untuk membuat hatinya bergemuruh.
Ia membuka kotak makanan itu perlahan. Isinya sederhana, tapi lengkap: nasi, ayam goreng, sayur tumis, dan sedikit buah. Makanan rumahan yang mengingatkannya pada sesuatu yang hangat dan akrab.
Aruna menggenggam botol air mineral, lalu menatap meja kosong di seberang tempat Arkan tadi berdiri. Bibirnya melengkung tipis, senyum yang sulit ia cegah muncul di wajahnya yang pucat.
“Kenapa perhatian kecil begini bisa bikin aku… tenang?” pikirnya.
Namun perasaan hangat itu hanya bertahan sebentar. Hatinya kembali teringat kenyataan: pernikahan hanya empat hari lagi, dan masih ada sosok Rani yang bisa kapan saja datang mengganggu.
Aruna menunduk, menatap makanan itu lama. Ada konflik besar di dadanya—antara takut dan hangat, antara cemas dan sedikit bahagia.
Akhirnya ia menyendok sesuap, meski pelan. Rasanya sederhana, tapi anehnya membuat matanya kembali memanas. Entah kenapa, perhatian diam-diam dari Arkan justru terasa jauh lebih dalam daripada kata-kata indah yang ia tulis semalam.
“Arkan…” ia kembali bergumam, senyumnya tipis, “aku benar-benar nggak tahu harus bagaimana menghadapi semua ini.”