Seharusnya Aluna tahu kalau semesta tak akan sudi membiarkan kebahagiaan singgah bahkan jika kebahagiaan terakhirnya adalah m*ti di bawah derasnya air hujan. la malah diberikan kesempatan untuk hidup kembali sebagai seorang gadis bangsawan yang akan di pe*ggal kep*lanya esok hari.
Sungguh lelucon konyol yang sangat ia benci.
Aluna sudah terbiasa dibenci. Sudah kesehariannya dimaki-maki. la sudah terlanjur m*ti rasa. Tapi, jika dipermainkan seperti ini untuk kesekian kali, memang manusia mana yang akan tahan?!
Lepaskan kemanusiaan dan akal sehat yang tersisa. Ini saatnya kita hancurkan para manusia kurang ajar dan takdir memuakkan yang tertoreh untuknya. Sudikah kamu mengikuti kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandri Ratuloly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Hampir semua orang takut pada hal-hal yang tidak diketahui atau di luar jangkauan kemampuan manusia. Salah satunya adalah perkara soal kema-tian. Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang akan terjadi setelah kema-tian. Reinkarnasi atau berakhir diadili. Yang pasti semua yang ada di dunia akan ditinggalkan seketika. Tentunya, kebanyakan orang tidak mau merelakan semuanya lenyap begitu saja.
Eugene berkali-kali melihat orang yang memohon padanya untuk disembuhkan. Memintanya agar terhindar dari kematian. Namun, seseorang yang membicarakan kema-tiannya sendiri dengan tenang, hanya Aluna yang pernah ia dengar.
Eugene membuang semua pikirannya yang penuh dengan tanda tanya. Berulang kali mendengar tidak membuat dirinya paham pola pikir dari gadis di sampingnya ini. Lengkungan kurva hangat tertoreh di bibirnya. Barangkali bisa menghibur Aluna atau dirinya sendiri dari pikiran tak berguna.
"Berhenti membahas kema-tian dengan santai begitu, Nona Saintess. Rekanmu ini masih enggan ditinggal pergi," kata Eugene dengan godaan terselip di nada bicaranya. Pemuda itu mencoba mencairkan suasana.
Aluna membalas senyum Eugene, tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Gadis itu sibuk dengan pikirannya sendiri. Bagaimana cara membalas Sistem dan menghancurkan alur dunia ini sebelum waktunya habis.
[Manusia, kau sendiri tahu kalau sebentar lagi akan ma-ti. Kenapa bersusah payah untuk membalas dendam? Diam saja di kuil suci. Lama-kelamaan tubuhmu juga tidak akan tahan. ] Sistem mencoba mengubah strateginya. Membujuk gadis itu walau dengan nada kasar. Egonya terlalu tinggi untuk benar-benar mengajukan permohonan.
"Daripada berbicara soal kema-tian, kenapa tidak jalan-jalan sebentar? Sudah lama kau tidak menikmati keramaian ibukota kan, Aluna? Seingat ku, kau dulu terkenal sekali suka membeli barang-barang mahal," ajak Eugene.
"Memangnya boleh kita keluar kuil cukup lama?" Bukankah mereka punya tanggung jawab besar sebagai Saint dan Saintess? Kening Aluna mengerut bingung.
Eugene mengedikkan bahunya acuh. Dia meraih jemari Aluna, menautkannya kemudian. "Beristirahat satu hari tidak masalah. Para pendeta tidak akan terlalu membutuhkan bantuan kita kecuali ada kejadian besar."
Aluna ingin menolak lagi, tapi bukan Eugene namanya kalau dia membiarkan Aluna tidak menuruti keinginannya. Jadi dengan sedikit bujukan (paksaan), Aluna mengikuti langkah pemuda itu untuk menyusuri jalanan ibukota.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Eugene ketika mereka telah melangkah menjauhi Toko Kue kepada Leander. Leander mengangkat sebelah alisnya. "Bukankah kau tadi mengatakan kita akan berjalan-jalan di ibukota?"
Eugene tidak merasa telah mengajak Leander. Bujukan itu hanya untuk Aluna. Bukan temannya yang satu ini. "Aku hanya meminta Aluna untuk berjalan-jalan denganku. Tuan Duke sepertimu pasti sangat sibuk. Jadi, tidak usah ikuti kami."
Leander sangat menyadari senyum Eugene yang kelewat palsu. Senyum serupa ikut terbit di wajahnya. "Sepertinya, aku juga butuh istirahat untuk hari ini. Aku akan mengikuti Lady Aluna untuk bersantai."
Eugene menggertakkan giginya. Apa-apaan Leander ini? "Kalau Tuan Duke ingin bersantai, silahkan jalan-jalan saja sendiri. Sungguh, tidak perlu mengikuti kami."
"Aku hanya ingin bersama Lady Aluna sebentar. Kau bisa ke kuil terlebih dahulu, Eugene. Aku akan memastikan keselamatan Lady Aluna."
Aluna menatap keduanya heran. Melihat interaksi mereka sebelumnya, ia mengira mereka berdua adalah teman dekat. Namun, pertengkaran aneh ini membuatnya ragu.
"Kenapa tidak bertiga saja kalau begitu," celetuk Aluna tidak mau ambil pusing. Ia tidak ingin menyaksikan pertengkaran ini lebih lama lagi.
Eugene dan Leander saling memandang. Akhirnya mereka mengalah dari pada mengacaukan rencana mereka jalan-jalan bersama Aluna.
"Aku melihat penjual bunga tidak jauh dari sini. Ayo kita kesana!" Eugene menarik tangan Aluna. Meminta gadis itu mengikutinya. Leander mengikuti mereka dari belakang. Sesekali membalas ucapan Eugene dan membuat pemuda pirang itu kesal.
"Aku tidak tahu seorang Saint bisa mengucapkan kata-kata kasar seperti itu. Orang-orang pasti terkejut kalau tahu."
"Apa peduli, mu?!" Eugene melotot. Sejak kapan temannya ini jadi menyebalkan?
"Galak sekali. Lady, lihat dia memarahiku," adu Leander. Eugene menahan diri untuk tidak menggeplak kepala Leander di hadapan Aluna.
"Tutup mulutmu, Dasar Kakek-kakek!" Leander memberhentikan langkahnya. Dia tidak salah dengar kan? Kakek-kakek katanya?
"Rambut putih itu ciri khas unik dari keluarga Duke Lucarion! Enak saja kau bilang kakek-kakek!"
"Sudah, sudah, bukannya kita ingin ke kios bunga. Itu sudah ada di depan sana," lerai Aluna. Satu tangannya yang masih bebas menggenggam tangan Leander. Mencoba meredam kekesalan pemuda itu.
Leander akhirnya menutup mulutnya. Memalingkan wajahnya dari mereka. Tanpa mereka sadari, telinganya merona. Genggaman tangan Aluna entah kenapa terasa aneh baginya.
"Nona cantik, kemarilah! Aku punya banyak bunga indah untukmu." Ibu penjual bunga tersenyum cerah. Diam-diam merasa kagum dengan kecantikan gadis di hadapannya.
Melihatnya dari dekat membuatnya dapat menyaksikan dengan jelas wajah di balik tudung jubah itu. Dia yakin ketiga orang ini bukanlah orang sembarangan. Tempramen mereka bukanlah sesuatu yang bisa dimiliki oleh rakyat biasa.
"Bunga apa ini? Indah sekali." Aluna menyentuh bunga yang menarik perhatiannya. Bunga ini berwarna kuning keemasan, memiliki bentuk bulat dengan beberapa kelopak saling bertumpukan. Indah. Itulah kata-kata yang muncul di pikiran Aluna mengenai bunga ini.
"Ah ini bunga marigold, Nona. Kelihatannya bunga ini sangat cocok dengan rambut pirang mu yang tak kalah mempesona," puji Ibu Penjual Bunga itu. Netra Aluna mengahasilkan sedikit binar. la mengambil bunga itu dan mengamatinya lamat.
"Aku dengar beberapa bunga memiliki filosofinya sendiri. Marigold ini apa filosofinya?" tanya Leander penasaran. Dia menatap kagum pemandangan di sebelahnya. Aluna tengah mencium bunga itu dengan senyum tipis tertoreh di ranum tipisnya. Dibandingkan bunga itu, pesona Aluna lebih membuatnya kagum. Rivalnya itu memang buta. Seharusnya dia mengetahui ini sejak lama.
"Eh ini..." Penjual bunga itu sedikit ragu. Tapi, akhirnya dia tetap mengatakannya dengan jujur.
"Bunga ini bisa dimaknai sebagai jam kecil yang mengartikan waktu yang terbatas. Warnanya yang cerah bisa mengartikan keindahan dan keceriaan, tapi beberapa orang juga mengartikannya sebaliknya. Bunga ini juga melambangkan kesedihan dan keputusasaan."
"Aku ingin membelinya." Bukannya surut, senyum Aluna justru bertambah lebar.
Eugene cemberut meski akhirnya dia hanya bisa menghela napas panjang lalu membayar bunga itu. Aluna mencoba menghentikannya, tapi dia lupa kalau dirinya tidak punya uang sama sekali. Gadis itu merasa malu setelah sekian lama tidak mempedulikan apapun.
Eugene akhirnya terhibur melihat gadis itu malu. Dia tidak tahan untuk menggoda gadis itu hingga pipinya memerah. Padahal, Aluna dengan susah payah terus berusaha berwajah datar.
"Ayo kita beli makanan! Tenang saja, aku akan membelikannya untukmu." Eugene mengedipkan sebelah matanya. Aluna menepuk bahu pemuda itu kesal.
"Biar aku yang membelikan mu makanan, Lady. Eugene tidak punya banyak uang untuk dibelanjakan," kata Leander dengan senyum mengejek.
"Ah, semua orang juga tahu kalau Duke Lucarion memiliki selisih kekayaan yang besar terutama dengan Duke Blance," cibir Eugene.
"Itu tidak menutup fakta kalau aku lebih kaya darimu," balas Leander tidak mau kalah.
"Hahaha, kalau begitu kalian sama-sama membelikan ku makanan saja." Sinar matahari menyorot lembut sosok gadis dengan senyuman indah itu. Leander dan Eugene sama-sama tahu, tawa itu akan tersimpan dalam memori mereka untuk waktu yang lama atau bahkan selama-lamanya.