Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Galuh dan Bagja saling melirik. Pandangan itu seolah menyimpan banyak pertanyaan yang belum pernah mereka bicarakan sebelumnya. Topik soal anak, jujur saja, tidak pernah benar-benar mereka singgung. Semuanya terlalu cepat, mulai dari lamaran, akad, pindah rumah. Kini, pertanyaan sederhana dari Bu Kania mendadak membuat udara di ruang tengah jadi lebih berat.
“E… itu sedikasihnya sama Allah,” jawab Bagja tenang, seolah sudah menyiapkan kalimat itu jauh-jauh hari.
“Iya, Bu. Jika Allah sudah berkehendak, tidak akan ada yang bisa menolaknya,” sambung Galuh, mencoba menutupi kegugupannya dengan senyum manis.
Bu Kania mengangguk, wajahnya penuh keseriusan seorang ibu. “Benar. Tapi, kita sebagai manusia harus berdoa dan berikhtiar juga, kan? Kalau memang ingin segera punya anak, berarti jangan pakai KB. Tapi kalau ingin menunda, ya harus jelas pakai KB. Jangan sampai kebobolan. Niatnya menunda, tapi buang benih di dalam, ya, kemungkinan besar malah jadi calon bayi.”
“Apa?!” suara Galuh meninggi tanpa sadar. Seketika ia melirik ke arah Bagja dengan tatapan kaget.
Ucapan itu seperti petir yang menyambar telinganya. Ia langsung teringat pada kebiasaan suaminya. Hampir setiap kali mereka melakukan hubungan, Bagja tidak pernah menahan diri. Semua selalu dititipkan di dalam. Refleks, Galuh menempelkan kedua telapak tangannya ke perut sendiri, matanya melebar.
“Apa di dalam sini sudah ada calon bayi aku dan Bagja?” batinnya gemetar.
Pipi Galuh panas, seolah terbakar. Ingatannya berlari ke malam-malam sebelumnya, bagaimana Bagja bisa dengan mudah meminta jatah, tanpa peduli pagi, sore, atau malam. Bahkan tadi ketika Bagja pulang dari puskesmas dan ia masih sibuk membereskan rumah, suaminya dengan santai bisa menarik pergelangan tangan dan mengajaknya masuk kamar.
“Ish, dasar Bagja. Dia itu, ya, enggak pernah berhenti. Kalau sampai aku langsung hamil gimana?!”
Bayangan itu membuat wajahnya makin merah. Kedua tangannya kini menangkup pipinya, berusaha menutup rasa malu yang memuncak. Semua orang jelas bisa melihat perubahan warna di wajahnya.
“Khem!” Bagja berdeham pelan, mencoba membuyarkan lamunan Galuh. Tatapannya penuh arti, "tenang, jangan dipikirkan terlalu berlebihan."
Bagi Bagja, tidak ada masalah apakah Galuh langsung hamil atau tidak. Sejak awal melamar, ia sudah menyiapkan diri. Baginya, menikahi Galuh berarti juga siap menjadi seorang ayah kapan pun waktunya tiba.
Pak Wira yang duduk di samping istrinya, pelan-pelan mencolek lengan Bu Kania. Wajahnya memberi isyarat, “jangan bikin menantu malu terlalu jauh.”
Bu Kania hanya menghela napas kecil, meski dalam hati ia tetap menyimpan harapan agar Galuh tidak menunda kehamilan. Sebenarnya, pikiran itu datang karena ia sempat mendengar obrolan di dapur kemarin.
Mih Ella—neneknya Bagja—bertanya pada Nini Ika kenapa jarang ikut kumpul para manula. Dengan nada lelah, Nini Ika menjawab bahwa ia semalam kurang tidur. Katanya, malam-malam di rumah terasa berisik sama suara Galuh dan Bagja saat melakukan malam pertama mereka. Tentu saja dua nenek-nenek itu langsung tertawa geli, sambil bergumam senang karena sebentar lagi mungkin mereka akan menjadi nenek buyut.
Waktu bergulir. Setelah salat Isya, suasana rumah lebih hening. Bagja menggandeng tangan istrinya menuju kamar. Bagi Galuh, ini bukan ruangan asing. Saat masih kecil, ia sering berlarian di sini, bahkan kadang sembunyi dari Nini Ika ketika disuruh mandi.
Begitu masuk, Galuh menatap sekeliling. “Kamar kamu tidak banyak berubah, ya? Paling cuma ranjang sama lemari baju.” Ia mengedarkan pandangannya, penuh rasa ingin tahu, seakan bernostalgia.
“Ya, begitulah,” jawab Bagja santai, tangannya menyibak gorden jendela agar angin malam bisa masuk.
Galuh kemudian menunjuk ke sudut ruangan, tepat di mana meja belajar berdiri menghadap jendela. “Oh iya, kenapa meja belajar kamu dihadapkan ke kaca jendela? Apa enggak panas kena sorot matahari saat kamu sedang belajar?”
Bagja hanya menyeringai, bibirnya terangkat sebelah. Ia tidak menjawab, hanya menatap Galuh dengan tatapan penuh rahasia. Ada alasan tersendiri yang ia simpan, sesuatu yang membuatnya memilih posisi itu. Namun, untuk saat ini, ia lebih suka membiarkan Galuh penasaran.
❤❤❤❤😍😙😗
teeharu...
❤❤❤😍😙😙😭😭😘
semoga yg baca semakin banyak....