JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21. MENCARI JALAN
Jeritan Sadewa menggema memenuhi seluruh ruangan. Suara itu menusuk hati, memecahkan kesunyian malam, membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Tubuhnya gemetar, lututnya lemas, hingga ia jatuh berlutut di lantai. Air mata bercucuran tanpa henti, jatuh membasahi papan kayu yang retak.
"Ibu ... Ibu jangan tinggalkan aku," tangisnya lirih, serak, seakan kehilangan separuh jiwanya.
Di hadapannya, tubuh sang ibu terkulai, matanya kosong menatap langit-langit, seolah hanya cangkang tanpa kehidupan. Wajahnya pucat, bibirnya membiru, namun masih ada napas tipis yang keluar, napas dari tubuh tanpa sukma.
Arsel menatap pemandangan itu dengan rahang mengeras. "Makhluk itu berhasil membawa pergi jiwanya."
Tama menggeleng cepat, suaranya pecah. "Belum sepenuhnya. Raga masih hidup, artinya ada peluang. Sukma ibunya dibawa ke perbatasan, jika kita bisa mengejarnya, kita bisa mengembalikannya."
Sadewa mengangkat wajah, matanya merah membengkak. "Benarkah? Katakan padaku itu mungkin, Bang Tama! Katakan padaku ibuku belum hilang!"
Tama menunduk, napasnya berat. "Sulit ... sangat sulit. Jika makhluk itu sudah menyeret sukma terlalu jauh, nyaris mustahil. Tapi selama tubuhnya belum mati, selalu ada kesempatan."
Harapan itu, sekecil apa pun, tetap diraih Sadewa dengan kedua tangannya yang gemetar. Ia meraih tubuh ibunya, memeluknya erat, meratap di dada yang dingin. "Aku nggak peduli seberapa sulitnya ... tolong, bawa Ibu kembali!"
Namun, sebelum mereka bisa menenangkan diri, ruangan itu kembali bergetar. Angin kencang bertiup dari arah dinding yang retak, membuat kain tirai berkelebat liar. Suara tawa parau menggema dari kegelapan, bukan dari tubuh ibunya, melainkan dari udara di sekeliling mereka.
Suara wanita dengan gema mengerikan dalam suara yang hanya didapat didengar oleh Tama, Arsel, dan Sadewa.
"Kalian bodoh ... sukma ini sudah jadi milik kami. Tak ada jalan kembali. Nikmati tubuh kosong ini, karena jiwanya akan terpenjara selamanya dalam kegelapan. Aku akan mengambil yang selanjutnya sampai Sadewa ikut denganku."
Sadewa mendongak, wajahnya basah air mata namun matanya menyala dengan amarah. "Aku nggak akan membiarkanmu! Kau dengar?! Aku akan mengejarmu ke manapun kau pergi! Aku akan merebut kembali Ibu darimu!"
Tawa itu semakin keras, lalu menghilang perlahan, meninggalkan hawa dingin yang membuat setiap sendi terasa kaku.
Tama dan Arsel saling pandang ketika menyadari sesuatu dalam diri Sadewa barusan
"Jiwa Dewa terbangun," bisik Tama pada Arsel yang dibalas anggukan.
Arsel kemudian menatap sekeliling dengan tatapan waspada. "Dia pergi tapi meninggalkan bekas. Ruangan ini masih dipenuhi energi kotor. Kita harus segera membersihkan tempat ini, sebelum dia kembali agar tidak ada korban selanjutnya."
Tama menunduk, menatap tubuh Ibu Sadewa yang lunglai di pelukan anaknya. "Tapi Sadewa ... sekarang yang lebih penting adalah menjaga raganya tetap hidup. Jika tubuhnya berhenti bernapas, maka sukma yang terperangkap tak akan bisa kembali."
Sadewa mengusap wajah ibunya, tangannya gemetar. "Aku akan menjaganya ... aku nggak akan membiarkan Ibu pergi. Apa pun caranya."
Dian yang sejak tadi bersembunyi di balik pintu kini merangkak keluar. Wajahnya masih penuh air mata, tubuhnya gemetar. Ia mendekati Sadewa dengan langkah tertatih, lalu jatuh berlutut di sampingnya. "Dewa, apa yang terjadi pada Ibu? Ibu baik-baik aja, 'kan?"
Sadewa tak sanggup menjawab. Ia hanya menggenggam tangan kakaknya, berusaha memberi kekuatan padahal dirinya sendiri sudah hampir hancur.
"Dewa janji ... ibu akan baik-baik saja. Dewa akan bawa ibu kembali, Mbak," janji Dewa.
Arsel kemudian berdiri tegak, mengangkat tangan. Ia mulai melafalkan doa panjang, suaranya tegas, mantap, dan bergema di ruangan. Cahaya biru samar kembali muncul, menyelimuti dinding, lantai, dan atap rumah. Suara itu bagai air yang menenangkan, meski di dalamnya ada kekuatan untuk melawan kegelapan.
Sementara itu, Tama menyiapkan ramuan dari kantong kecilnya, campuran air bunga, garam, dan akar kering. Ia mengoleskan cairan itu ke kening Ibu Sadewa, membentuk simbol pelindung. "Ini akan menjaga raganya tetap hangat, agar roh nggak mudah terlepas sepenuhnya."
Sadewa menatap mereka berdua dengan penuh harap. "Kalian bisa menyelamatkannya, kan? Kalian pasti bisa?"
Arsel berhenti sejenak, menatap lurus ke mata Sadewa. "Aku nggak bisa berjanji. Tapi aku berjanji satu hal: kami nggak akan meninggalkan kamu dalam perjuangan ini. Kami akan bertarung bersamamu sampai akhir."
Kata-kata itu sedikit menenangkan hati Sadewa yang hancur. Ia mengangguk pelan, meski air mata terus mengalir.
Namun ketegangan belum berakhir. Tiba-tiba, dari luar rumah, terdengar suara gaduh. Seperti langkah kaki banyak orang, disertai pekikan aneh yang tak mirip manusia. Dian memekik ketakutan, memeluk Sadewa erat.
Tama menoleh cepat ke arah jendela. "Mereka belum selesai. Sepertinya kawanan makhluk itu mengitari rumah ini."
Arsel mengerutkan dahi. "Mereka ingin memastikan sukma Ibu Sadewa tidak bisa kembali. Mereka menjaga perbatasan."
Sadewa mengusap wajah ibunya dengan tangan bergetar, lalu menatap Arsel dan Tama. "Kalau begitu, buka jalan untukku. Aku akan mengejar mereka ke mana pun!"
Tama terperanjat. "Sadewa, jangan gegabah! Dunia mereka bukan tempat manusia biasa! Kamu bisa hilang selamanya!"
Sadewa menggertakkan gigi, amarah dan putus asa bercampur di wajahnya. "Kalau itu harga yang harus kubayar demi Ibu, aku rela! Aku tidak akan membiarkan Ibu menjadi tawanan mereka!"
Arsel menatap Sadewa lama. Ia tahu amarah itu berbahaya, tapi ia juga tahu cinta seorang anak pada ibunya mampu menjadi kekuatan. Ia menarik napas panjang. "Kamu harus bersabar. Ada jalan menuju perbatasan roh, tapi itu bukan jalur yang bisa ditempuh sembarangan. Kita harus menyiapkan segalanya. Jika kita asal menerobos, kita semua bisa binasa."
Sadewa merunduk, air matanya jatuh lagi. "Berapa lama? Berapa lama aku harus menunggu? Setiap detik yang lewat ... Ibu semakin jauh!"
Arsel menunduk, suara lirihnya penuh kesedihan. "Aku tahu. Tapi percayalah, Sadewa, ada cara. Kita hanya harus cukup kuat untuk menghadapinya."
Suara gaduh di luar rumah semakin keras, seolah makhluk-makhluk itu mengelilingi, menunggu kesempatan menerkam. Dian semakin panik, tubuhnya gemetar hebat.
Tama menggenggam bahunya. "Tenang. Rumah ini udah aku pagari mereka tidak bisa masuk."
Namun bahkan ia sendiri tidak yakin berapa lama perlindungan itu mampu bertahan.
Sadewa menatap wajah ibunya yang kosong. Ia mengelus rambut yang acak-acakan, bibirnya bergetar. "Ibu, tunggulah Dewa. Aku akan menjemput Ibu. Aku bersumpah, Dewa akan membawa Ibu pulang.
Di luar, angin kembali meraung, pohon-pohon bergoyang liar, dan suara-suara asing memanggil namanya.
"Sadewa ... Sadewa ...."
Suasana menjadi semakin mencekam, seakan malam itu tak lagi ramah, melainkan jurang antara dunia manusia dan dunia kegelapan yang siap menelan siapa pun yang goyah.
Sampai dimana keributan kembali terjadi ketika ayah Sadewa pulang. Panik dan murka tergambar jelas di wajah pria paruh baya itu.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???