Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Jenny menjatuhkan tubuhnya ke sofa dengan kasar. Suara detik jam di dinding memenuhi ruang tamu pengap itu.
“Jadi… kapan kalian bisa kasih aku uangnya?” tanyanya tajam, memandang kedua orang tuanya yang tampak kebingungan.
Budiman menelan ludah, wajahnya lesu. “Jenny, Kamu kan tahu kalau papa lagi kesulitan sekarang. Bank sudah ngejar papa buat nagih hutang. Papa juga butuh waktu buat dapat uangnya”
“Waktu?” Jenny tertawa miris, suaranya terdengar seperti paku yang digesek di kaca. “Berapa lama? Papa juga ngomong hal yang sama bulan kemarin. Aku nggak butuh janji pa, yang butuhin itu uang. U-A-N-G. Kalian ngerti nggak sih?"
Retno mencoba menenangkan, duduk di samping Jenny dan menggenggam tangannya. “Nak, jangan ngomong kayak gitu dong. Papa kamu sekarang lagi stres. Kita juga pasti usahain kok. Kamu sabar dulu ya, sayang.”
Jenny langsung menepis tangan ibunya. “Mama jangan ngomong doang deh. Aku tuh capek tiap bulan harus ditagih sama pemilik apartemen. Masa selebgram tenar kayak aku bisa nunggak sewa. Bisa-bisa aku jadi bahan omongan akun gosip diluar sana. Nama aku bisa hancur!!"
"Kalau aku sampai diusir dari apartemen, gimana ma? Masa aku harus tinggal di rumah rusak begini, bikin aku malu aja” jawab Jenny
Budiman akhirnya meledak, tangannya menghantam meja hingga tagihan-tagihan jatuh berserak ke lantai. “Kamu pikir Papa nggak pusing mikirin ini semua?! Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu dalam waktu singkat?!”
Jenny berdiri, membalas tatapannya dengan penuh keberanian. “Ya makanya usaha dong, jual rumah kek, jual apa kek, yang bisa hasilin duit”
Retno tersinggung, wajahnya memerah. “Jenny!!! Jangan kurang ajar ya kamu sama orang tua. Kamu juga sama aja, selalu saja minta uang,uang, dan uang. Belanja, sewa apartemen mewah, gaya hidup mewah yang kamu pamerin ke sosial media itu, siapa yang biayain? Kalau bukan papa sama mama yang jungkir balik!”
Jenny menyeringai sinis. “Ya kan emang itu tugas mama jadi orang tua. Masa harus aku yang repot-repot cari uang? Kalian pikir aku kayak mbak Audy yang pasrah aja gitu, ngasih duit gitu aja.”
Nama Audy meluncur seperti peluru. Budiman langsung memukul sandaran sofa dengan keras, seolah ingin menepis rasa malu yang ditelanjangi di depan anaknya sendiri. “Nggak usah sebut nama dia lagi" teriaknya. “Audy itu anak durhaka! Orang tuanya lagi kesulitan dia sama sekali nggak ada niat buat bantuin. Malah ngusir orang tuanya sendiri!”
Jenny terkejut, tak percaya, dia lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. “Hah? Serius pa, ma? Mbak Audy?.”
"Iya, tadi papa sama mama, ke kantornya mau pinjam uang. Tapi kami malah diusir gitu aja" kata Retno.
"Mentang-mentang dia udah jadi manager di kantornya dia bisa seenaknya aja sama orang tuanya sendiri. Bener-bener durhaka" tambah Retno.
Retno tersengal, matanya mulai berkaca-kaca, sementara Budiman gemetar menahan amarah yang tak terbendung. Jenny berdiri, menatap keduanya dengan dingin, lalu mengambil tasnya.
“Duh, nggak tahu deh. Pokoknya, aku mau dalam dua hari uangnya udah ada. Kalau nggak ada uang buat apartemen, aku nggak akan mau anggap papa sama mama orang tua aku lagi. Dan jangan harap aku bakal peduli kalau rumah ini beneran disita bank.”
Pintu depan dibanting keras, meninggalkan gema panjang yang memantul di dinding kusam rumah itu. Retno terisak pelan, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Budiman duduk terkulai, merasa seluruh dunia menertawakan kebodohan dan kegagalannya.
Rumah itu tenggelam dalam hening, hanya diisi suara detak jam tua dan keran bocor yang tak pernah berhenti menetes, seakan mengejek kehancuran mereka.
...***...
Masih terlalu pagi ketika bel rumah Audy berbunyi bertubi-tubi, keras dan tidak sabar. Dia yang baru saja menyalakan mesin kopi menatap pintu dengan heran, firasatnya buruk.
"Bi Ijah, tolong liat itu siapa yang datang" titah Audy yang segera dituruti oleh Bi Ijah.
Tak lama kemudian, Bi Ijah, kembali, "Bu, itu katanya orang tuanya Bu Audy yang datang mau ketemu. Saya suruh tunggu di ruang tamu" kata Bi Ijah.
Audy menghela nafas panjang, kenapa dia tidak bisa tenang di suasana pagi ini.
Audy berjalan sambil membawa kopi panas di tangannya, menuju ke ruang tamu, dan benar saja—di hadapannya berdiri Budiman dan Retno. Keduanya tampak lusuh, namun wajah mereka masih dipenuhi keberanian yang menjengkelkan.
“Audy, sayang… bisa kita bicara sebentar nak?” suara Retno dibuat selembut mungkin, namun mata liciknya tidak bisa menipu.
Audy menyilangkan tangan di dada. “Ngapain kalian ke sini pagi-pagi?”
Budiman berdeham, berusaha mengendalikan wibawa yang sebenarnya sudah lama hilang. “Papa cuma mau ngobrol baik-baik sama kamu…”
Audy menatap mereka tajam, "Kalau kalian cuma mau bilang pinjam uang atau semacamnya, lebih baik kalian pulang. Aku nggak ada waktu untuk bicara soal omong kosong ini"
Budiman setengah berteriak, "Papa cuma mau bicara soal rumah yang kamu tempati sekarang"
Audy menegang. “Rumah ini?”
Retno segera menimpali, “Iya, rumah kamu ini kan cukup besar. Sementara kamu cuma tinggal berdua sama suami kamu. Kalau dijual, hasilnya bisa dipakai untuk bantu Papa sama Mama melunasi hutang di Bank. Terus kamu bisa pindah tinggal sama kita. Kan enak kalau tinggal bareng keluarga…”
Kata-kata itu membuat darah Audy mendidih. Ia menatap mereka dengan tajam, wajahnya memucat karena marah. “Kalian punya otak nggak sih ngomong begini sama aku? Punya hak apa kalian nyuruh aku jual rumah ini? Ini rumah almarhum mama aku. Nggak ada urusannya sama kalian!!!!"
Budiman mencoba membujuk, “Audy, tolonglah bantu papa. Papa lagi terjepit. Kamu kan sukses, gajimu besa, bisnis sampingan kamu juga papa lihat berkembang pesat. Masa kamu tega biarin Papa sama Mama terlantar?”
Audy berjalan menghampiri Budiman dan Retno, cangkir kopi setengah dingin yang ada ditangannya itu disiramkannya tepat ke wajah Retno.
“Aaakhhh!!” Retno menjerit, terhuyung ke belakang, sementara Budiman terkejut setengah mati. Aroma pahit kopi memenuhi ruangan, bercampur dengan teriakan melengking.
Budiman meraih lengan Audy dengan kasar. “Kamu bener-bener keterlaluan ya Audy. Gini cara kamu memperlakukan orang tua kamu sendiri!”
Namun Audy menepisnya dengan tenaga yang membuat Budiman terhuyung. “Keluar dari rumah aku sekarang juga! Atau aku bakal panggil polisi!”
Tepat saat itu, pintu depan terbuka. Chandra muncul dengan wajah lelah namun mencoba bersikap tenang. Dia baru kembali setelah beberapa hari menghilang bersama Jenny. Nada bicaranya dibuat setenang mungkin, seolah dia ingin menjadi pahlawan dengan menengahi pertikaian diantara mereka berdua “Dy… jangan gitu lah sama Papa sama Mama. Mereka datang baik-baik loh, minta bantuan kamu. Mereka kan masih orang tua kamu juga, jadi sudah sewajarnya kan kalau—”
Audy menoleh, matanya berkilat seperti bara. “CHANDRA! Jangan ikut campur. Kalau kamu mau belain mereka, atau ngomong sepatah kata lagi, aku bersumpah atas nama almarhum ibuku, kalau kamu yang bakal aku usir dari rumah ini!”
Ancaman itu menghantam Chandra telak. Bibirnya yang tadi siap melanjutkan kalimat langsung terkunci. Dia hanya bisa menunduk, merasa posisinya semakin terpuruk di mata Audy.
Budiman yang masih mendidih menatap menantunya, berharap ada dukungan. Tapi yang dia temui hanya pria pengecut. Retno, dengan wajah merah basah karena kopi, tersedu marah sekaligus terhina.
“Keluar!!!” teriak Audy sekali lagi, suaranya menggema memenuhi rumah.
Dengan langkah terseok dan penuh sumpah serapah tertahan, Budiman dan Retno akhirnya menyeret diri mereka keluar. Pintu dibanting keras, menyisakan hening mencekam di ruang tamu.
Chandra menelan ludah, lalu melirik Audy dengan ragu. Namun tatapan tajam istrinya membuatnya memilih diam. Diam, karena dia tahu—sedikit saja dia salah bicara, bukan hanya Budiman dan Retno yang diusir… tapi juga dirinya.
Dan di dalam hatinya, Chandra merasakan sesuatu yang aneh. Dia merasa marah tapi juga takut.
Sosoknya yang dulu merasa berkuasa dirumah ini, sekarang jadi semakin kehilangan kendali di rumah yang seharusnya jadi miliknya juga.
...***...