Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23.
“Mbok, kita bilang Nyi Kodasih..” ucap Tiyem dengan suara bergetar tangannya menggenggam erat erat kain kain jemuran.
Tiyem segera menyelinap melangkah masuk ke dalam loji. Meninggalkan Mbok Piyah yang masih berdiri terpaku dengan tubuh gemetar.
“Goedemiddag , Selamat siang Mbok,” ucap Nyonya Wihelmina dalam bahasa Belanda yang kaku, lalu berpindah ke Melayu.
“Cepat buka pintu dan panggil perempuan itu!” Ucapnya lagi sambil terus melangkah menuju pintu utama loji.
“Ba.. baik.. Nyonya.. “ ucap Mbok Piyah terbata bata dengan tubuh masih gemetar. Dia pun segera melangkah untuk membukakan pintu loji, “ Nyi Kodasih ada tamu Nyonya Wihelmina!”
Kodasih keluar dari kamar dengan langkah pelan. Gemetar memang, tapi ada ketegasan yang tak bisa disamarkan dari wajahnya.
“Sekarang kau sudah kembali lagi Nyonya?”
Nyonya Wihelmina yang sudah duduk di kursi jati, tersenyum tipis. “Saya datang sudah tahu berita kegagalan ritual kamu , Nona. Dan saya datang membawa dokumen lengkap. Saya tahu siapa kamu, orang yang licik, penuh ambisi dan tipu daya.”
“Kamu selir yang dibangun dalam kesunyian. Tapi hukum tetap hukum. Loji ini milik keluarga Van Der Vliet , bukan milik perempuan yang ingin menguasai dengan cara tak wajar.” Ucap Nyonya Wihelmina lagi sambil menatap tajam Nyi Kodasih.
Ia lalu menoleh ke asisten prianya, memberi isyarat. “Tunjukkan suratnya.”
Asisten membuka map tebal dari kulit. Mengeluarkan lembaran lembaran stempel dan tulisan dari pemerintah Hindia Belanda. Tapi ketika ia membentangkan kertas itu, angin dingin tiba tiba meluncur dari salah satu ruang loji.
Lembar kertas itu menyala dari tengah, seolah ada bara dalam seratnya.
“Ya Tuhan...!” Andrean yang sedari tadi diam terpekik.
Asisten meraup kertas untuk memadamkan api, tapi kobaran padam sendiri. Yang tersisa hanyalah abu, serbuk halus yang menempel di lantai, membentuk simbol simbol jawa kuno, serpihan huruf seperti mantra pengusiran.
Kodasih masih berdiri diam, bibirnya tersenyum tipis.
“Tempat ini tidak bisa dijual, Nyonya. Tidak bisa diwariskan. Sudah ada yang memilikinya, dan tidak mengenal hukum manusia.”
Nyonya Wihelmina bangkit berdiri . Tapi ia keras kepala. “Saya akan lapor ke Residen. Saya akan kirim pasukan. Loji ini tetap milik Van der Vliet!”
“Kamu masih memakai ilmu sihir untuk menghanguskan dokumen dokumen!”
Tiba-tiba, dari arah loteng terdengar suara nyaring nada piano mulai dimainkan. Padahal piano sudah bertahun tahun rusak.
Melodi yang dimainkan… lagu pengiring dansa yang biasa dimainkan Tuan Menir saat pesta.
Mata Nyonya Wihelmina membeku. Airmata samar muncul di sudut matanya. “Itu… itu lagu… Hendrik…”
Nada berhenti. Keheningan menempel sebentar, lalu sebuah suara. Suara yang sangat Nyonya Wihelmina kenal, bergema, bukan dari mulut siapa pun, tapi di dalam kepala nya.
“Wihelmina … aku sudah mati. Jangan ganggu rumah ini lagi.”
Nyonya Wihelmina gemetar. Matanya membelalak.
Lalu, dari balik jendela, muncul bayangan pucat seorang pria tinggi, gagah berjas kolonial. Wajahnya kabur, tapi semua tahu: itulah Tuan Menir, Hendrik Van Der Vliet.
Asisten Nyonya Wihelmina pingsan di tempat. Nyonya Wihelmina sendiri menggigil dan jatuh terduduk lagi di kursi. Andrean berdiri terpaku, hatinya bergejolak antara takut dan tak percaya.
Kodasih menatap tajam pada Andrean, suaranya dingin. “Pergilah, sebelum kau tak bisa keluar dari sini dalam keadaan utuh.”
Andrean terhuyung mundur, menoleh seolah berharap simpati, lalu melesat keluar. Pintu menutup dengan bunyi kayu dan udara dingin yang seakan mengunci rahasia loji itu kembali.
Andrean terus melangkah keluar menuju mobil, dengan napas berat. Meninggalkan keheningan di dalam loji.
Nyonya Wihelmina masih terduduk lemas di kursi jati. Tangan bergetar memegang ujung gaunnya sendiri, seperti anak kecil yang ketakutan. Tubuhnya gemetar bukan hanya karena dingin, tapi karena sesuatu yang lebih dalam: kebenaran yang ia tolak selama ini telah berdiri di hadapannya dan menatap balik.
Asistennya masih tergeletak di lantai. Nafasnya dangkal. Tubuhnya pucat seperti mayat.
Mbok Piyah berlari tunggang langgang ke belakang..
Wihelmina mencoba berdiri. Satu tangannya menyentuh lengan kursi untuk menopang tubuhnya, tapi kakinya lemas. Matanya menatap Kodasih dengan ketakutan yang berubah menjadi kemarahan, lalu menjadi… kehancuran.
“Kau… kau sihir apa ini? Rumah ini milik keluarga kami. Aku… aku berhak atasnya… aku masih punya salinan dokumen.” Ucap Nyonya Wihelmina sekuat tenaga.
Kodasih menatapnya dengan pandangan kosong, lalu berkata pelan, “Suamimu yang sudah memilih.”
Perempuan paruh baya Belanda itu terisak, bukan karena takut, tapi karena satu hal yang tak bisa ditolak: kesendirian. Ia menyadari bahwa Hendrik Van der Vliet, suaminya, benar-benar telah memilih tidak bersamanya. Bahkan dalam kematian.
Tiba-tiba, suara piano terdengar sekali lagi. Satu nada panjang… lalu berhenti.
Wihelmina menoleh ke arah tangga loteng, dan di sana, di ujung pandangan matanya, ia melihat sepasang kaki lelaki bersepatu kulit berdiri di anak tangga paling atas. Tak bergerak. Tak mendekat.
Ia membuka mulut, ingin memanggil, tapi yang keluar hanya isakan.
Kodasih bicara tanpa mendekat. “Kalau kau tetap memaksa, kau tidak akan meninggalkan tempat ini dengan jiwa utuh. Rumah ini bukan milikmu. Tidak pernah. Tuan Menir sudah memilih.”
Isak Wihelmina berubah menjadi raungan. Tapi tak ada yang datang menolong. Tak ada pasukan. Tak ada hukum.
Akhirnya, dengan susah payah, ia menyeret tubuhnya berdiri, memanggil pelan, “Bantu dia…” menunjuk asistennya yang masih pingsan.
Kodasih berjalan perlahan ke arah asisten. Ia menyentuh kening pria muda itu dengan dua jari. Mata asisten terbuka tiba tiba.. kosong, seperti bangun dari mimpi buruk yang tak bisa diingat.
“Kau akan hidup. Tapi kau akan selalu ingat. Dan itu akan menyiksamu.”
Asisten hanya mengangguk lemah. Mereka berdua, perlahan, tertatih keluar dari loji.
Begitu kaki mereka melewati ambang pintu, angin berhenti. Seolah rumah tua itu menarik kembali napasnya sendiri.
Pintu tertutup. Kali ini tanpa bunyi.
Di dalam, Kodasih berdiri sendirian, “Tuan kamu menolongku..” ucap lirih Kodasih dengan bibir tersenyum namun ada air mata yang mengalir.
Di luar, tiga orang meninggalkan loji Tuan Menir: satu dalam trauma, satu dalam ketakutan, dan satu dalam keheningan. Entah apa mereka akan datang lagi...
Sementara itu di dinding luar loji, di halaman samping.. Tiyem berdiri lemas bersandar di dinding tembok...
“Ya Allah.. Nyi Kodasih pakai ilmu sihir mengusir Nyonya...” gumam lirih Tiyem dengan kedua tangan nya yang dingin dan gemetar saling menggenggam.
“Aku harus katakan ini pada Kang Pono dan Arjo..” gumam Tiyem di dalam hati.
Tiyem segera menegakkan tubuhnya, dia pun melangkah cepat cepat...
Akan tetapi di saat langkah kaki Tiyem baru sampai di halaman depan terdengar suara memanggil namanya..
“Tiyem...!”
....
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk