Di dunia modern, Chen Lian Hua adalah seorang medikus lapangan militer yang terkenal cepat, tegas, dan jarang sekali gagal menyelamatkan nyawa. Saat menjalankan misi kemanusiaan di daerah konflik bersenjata, ia terjebak di tengah baku tembak ketika berusaha menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan. Meski tertembak dan kehilangan banyak darah, dia tetap melindungi pasiennya sampai detik terakhir. Saat nyawanya meredup, ia hanya berharap satu hal
"Seandainya aku punya waktu lebih banyak… aku akan menyelamatkan lebih banyak orang."
Ketika membuka mata, ia sudah berada di tubuh seorang putri bangsawan di kekaisaran kuno, seorang perempuan yang baru saja menjadi pusat skandal besar. Tunangannya berselingkuh dengan tunangan orang lain, dan demi menjaga kehormatan keluarga bangsawan serta meredam gosip yang memalukan kekaisaran, ia dipaksa menikah dengan Raja yang diasingkan, putra kaisar yang selama ini dipandang rendah oleh keluarganya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15 : Serbuk Seribu Racun
Lian Hua duduk bersandar di sudut ruangan, tubuhnya terasa lelah setelah memberikan pengobatan pada Wei Jie. Setidaknya kini anak itu tak lagi meringis kesakitan, terlalu muda untuk menanggung penderitaan seperti itu.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hingga suara ketukan pintu memecah sunyi. Ia membuka mata perlahan, menyipit saat pintu didorong dari luar. Cahaya yang menerobos membuatnya mengangkat tangan, berusaha menutupi pandangan. Dirinya sudah terlalu terbiasa hidup dalam gelap.
Sosok Ya Ting muncul, membawa sebuah nampan. Langkahnya teratur, hingga ia berhenti di hadapan Lian Hua dan meletakkan nampan itu di dekatnya. Senyum samar di wajahnya terasa janggal, membuat kening Lian Hua berkerut.
“Apa yang kau lakukan?” tanyanya pelan.
Ya Ting terdiam sejenak sebelum menjawab, “Kau belum makan beberapa hari. Aku membawakan makanan… untuk persiapan besok.”
Kata-kata itu membuat Lian Hua tertegun. “Besok? Persiapan apa?”
Tarikan napas panjang terdengar dari bibir Ya Ting. “Besok adalah persiapan untuk… acara menjelang kematian Kakek Besar Li Wei Ming.”
Lian Hua semakin mengerutkan kening. Bagaimana mungkin menjelang kematian seseorang dianggap sebagai sebuah acara? Namun sebelum ia sempat bertanya lagi, Ya Ting mengalihkan pembicaraan.
“Makanlah, dan minum ramuan istana ini,” katanya sambil menunjuk sebuah mangkuk berisi cairan ungu pekat.
Lian Hua menatap mangkuk itu dengan curiga. “Apa ini?”
“Serbuk seribu racun,” jawab Ya Ting datar.
Tatapan Lian Hua menajam. “Untuk apa?”
“Efeknya hanya 24 jam,” elak Ya Ting, “tapi selama itu kau tak akan merasakan sakit sedikit pun, seolah lukamu tak pernah ada.”
Lian Hua terdiam. Matanya tak lepas dari cairan ungu itu, seakan mencoba membaca rahasia di dalamnya.
“Beristirahatlah. Kita berangkat saat fajar.”
Tanpa menunggu balasan, Ya Ting berbalik dan menutup pintu.
Keheningan kembali memenuhi ruangan. Lian Hua meraih mangkuk itu. “Serbuk seribu racun?”
“Baik atau buruk untukku… aku akan tahu setelah meminumnya.”
Tanpa menunggu lebih lama, Lian Hua meneguknya hingga habis. Rasa pahit menusuk lidah, diikuti asam dan getir yang sulit ia jelaskan. Tenggorokannya seperti terbakar, dan rasa mual langsung menyerangnya.
Ia memejamkan mata, “Sial, aku bersumpah tidak akan pernah meminumnya lagi.”
Ia meletakkan mangkuk, lalu mulai menyendok sup hangat di depannya. Roti di sampingnya terasa sederhana, tapi cukup untuk mengisi perut yang sudah terlalu lama kosong. Perutnya berbunyi, seolah menuntut haknya kembali. Lian Hua bahkan tak ingat kapan terakhir kali ia makan dengan layak. Yang ia ingat, terakhir kali ia hanya memaksa menelan sesuatu yang busuk… lalu memuntahkannya kembali.
…
Keesokan harinya, Lian Hua terbangun dari tidurnya di atas lantai. Matanya terbuka perlahan, tubuhnya terasa lebih ringan dari biasanya. Ia duduk dan menyadari sesuatu yang aneh, tangannya bisa bergerak tanpa rasa sakit.
Dengan hati-hati, ia mencoba bangkit, menopang tubuhnya pada dinding. Tangannya masih bebas dari rasa nyeri, dan ketika ia melepas pegangan itu, kakinya mampu menopang tubuhnya. Padahal sebelumnya, kedua kakinya seolah hanya menjadi beban yang tak berguna.
Rasa tak percaya memenuhi pikirannya. “Apakah ini benar-benar efek Serbuk Seribu Racun?” Ia mengangkat salah satu kakinya, lalu memutarnya perlahan. Tidak ada rasa sakit. Gerakan yang dulu mustahil kini terasa begitu ringan.
Tarikan napas lega lolos dari bibirnya. “Ramuan itu… cukup bagus,” gumamnya sambil menyandarkan tubuh ke dinding. Namun begitu punggungnya menyentuh permukaan dingin itu, seketika tubuhnya menegang seperti tersengat listrik.
Tubuhnya terjatuh kembali, napasnya memburu. Rasa sakit yang menusuk membuat wajahnya meringis. Perlahan, ia melirik ke bahunya. Senyum yang tadi terukir sirna, berganti pahit.
“Sepertinya… aku tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari sakitnya luka di punggung ini,” ucapnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
semakin penasaran.....kenapa Lin Hua....
ga kebayang tuh gimana raut muka nya
orang orang istana.....
di atas kepala mereka pasti banyak tanda tanya berterbangan kesana kemari....
wkwkwkwk....😂