Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Rianti bekerja di perusahaan milik Bramantya, mantan suami adiknya. Menjelang pernikahannya dengan Prabu, ia mengalami tragedi ketika Bramantya yang mabuk dan memperkosanya. Saat Rianti terluka dan hendak melanjutkan hidup, ia justru dikhianati Prabu yang menikah dengan mantan kekasihnya. Di tengah kehancuran itu, Bramantya muncul dan menikahi Rianti, membuat sang adik marah besar. Pernikahan penuh luka dan rahasia pun tak terhindarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Rianti turun dari taksi dengan wajah kusut dan mata sembab.
Terminal itu ramai dengan suara klakson, teriakan kondektur, dan deru mesin bercampur jadi satu.
Ia menarik napas gemetar, berusaha menenangkan diri meski dadanya terasa sesak.
“Aku harus pergi jauh dari semua ini.”
Ia menatap papan tujuan bus antarkota yang berjajar di depan terminal.
Tanpa berpikir panjang, Rianti melangkah cepat ke arah bus dengan tujuan Yogyakarta, naik tanpa menoleh ke belakang.
Sementara itu, di jalan masuk terminal, Bramantya turun dari mobil dengan napas terengah-engah.
Ia menatap sekeliling, matanya liar mencari sosok perempuan yang paling ia cintai.
“Rianti! RIANTI!!”
Beberapa orang menatap aneh ke arahnya, tapi Bram tak peduli.
Ia terus berlari menembus kerumunan, matanya mencari setiap wajah perempuan berambut panjang.
Tiba-tiba, suara klakson keras terdengar.
Sebuah bus mulai bergerak perlahan dari jalur keberangkatan.
Dan di jendela bus itu, ia melihat Rianti duduk menunduk, wajahnya tersembunyi di balik rambut.
“RIANTI!!!”
Ia berlari sekuat tenaga, tangannya berusaha menggapai kaca bus yang semakin menjauh.
“Ri! Tunggu aku! RIANTI!!”
Rianti melihat Bramantya berlari di belakang bus. Air matanya langsung jatuh tanpa bisa ditahan.
Namun bus itu terus melaju.
“Maaf, Bram. Aku butuh waktu sendiri.”
Bram berhenti di tengah jalan terminal, dadanya naik turun hebat.
Ia menatap punggung bus yang makin jauh hingga hanya tinggal titik di kejauhan.
Ia mengepalkan tangan, frustrasi, napasnya terengah.
“Kenapa kamu nggak percaya padaku, Ri…”
Rianti duduk di kursi bus dengan wajah pucat. Tangannya menggenggam perutnya kuat-kuat, napasnya tersengal.
“Aduh, sakit sekali perutku.”
Tubuhnya mulai gemetar, keringat dingin membasahi pelipisnya. Penumpang di sekitarnya mulai panik.
“Mbak, kenapa?”tanya salah satu penumpang.
“Supir! Berhenti dulu, ada yang sakit!"
Seorang pria muda dengan jas abu-abu dan ia langsung memakai stetoskop yang menggantung di lehernya langsung berdiri dari kursinya.
Tatapan matanya sigap dan penuh fokus.
“Saya dokter. Tolong minggir dulu.”
Ia berlutut di samping Rianti, memeriksa denyut nadi di pergelangan tangannya, lalu menyentuh perutnya dengan lembut.
“Dia kram hebat. Supir, segera berhenti di rumah sakit terdekat!”
“Siap, dok!”
Bus pun berhenti mendadak di depan rumah sakit kecil di pinggir kota.
Pria itu segera mengangkat tubuh Rianti bersama sopir dan beberapa penumpang.
Di ruang IGD rumah sakit
Rianti diletakkan di ranjang darurat. Nafasnya masih berat, wajahnya pucat pasi.
“Cepat pasang infus di tangan kanan. Ambilkan cairan glukosa dan alat USG portable.” ucap dokter yang menolong Rianti.
“Baik, Dok.”
Jarum infus perlahan menembus kulit halus di pergelangan tangan Rianti.
Pratama menatapnya dengan penuh empati, mencoba menenangkan.
“Tenang ya, Bu. Saya dr. Pratama. Sekarang kamu di tempat aman.”
Rianti menatap samar, suaranya lemah.
“Bayi saya, bagaimana…?”
Pratama tersenyum kecil, menepuk lembut punggung tangannya.
“Kita periksa, ya. Jangan khawatir. Kamu dan bayi kamu akan baik-baik saja.”
Perawat membawa alat USG portable. Pratama menyalakan mesin dan mulai memeriksa.
Ia menatap layar dengan penuh konsentrasi, lalu perlahan tersenyum lega.
“Detak jantungnya masih ada. Dua-duanya. Bayimu kuat sekali.”
Air mata Rianti langsung menetes antara lega dan masih syok.
“Terima kasih, Dok…”
“Sekarang kamu istirahat dulu. Setelah ini, saya akan hubungi keluargamu, ya?”
Rianti menggeleng pelan, matanya memohon.
“Jangan, jangan dulu. Tolong, jangan kasih tahu siapa-siapa.”
Pratama menatapnya heran, tapi kemudian mengangguk mengerti.
“Baik. Aku nggak akan bilang siapa pun dulu. Fokus sembuh, ya.”
Ia berdiri, menatap perawat.
“Pastikan pasien ini diawasi terus. Kalau ada tanda kontraksi lagi, segera panggil saya.”
“Siap, Dok.”
Pratama menatap Rianti sekali lagi sebelum keluar dari ruangan
Rianti sudah bisa duduk bersandar di ranjang rumah sakit.
Wajahnya masih sedikit pucat, tapi napasnya sudah teratur.
Selang infus masih menempel di tangannya, dan aroma bubur hangat memenuhi ruangan.
Dokyer Pratama masuk membawa nampan berisi semangkuk bubur ayam lembut, air putih, dan segelas susu hangat.
Ia meletakkannya di meja kecil di samping ranjang, lalu tersenyum kecil.
“Sekarang waktunya makan dulu, ya. Kamu harus isi tenaga buat dua bayi kecil yang lagi berjuang di dalam perutmu.”
Rianti menatap mangkuk itu, lalu menggeleng pelan.
“Aku belum lapar, Dok…”
Pratama mengangkat sebelah alis, lalu duduk di kursi di samping ranjang.
Ia mengambil sendok, meniup bubur itu pelan, lalu menatap Rianti sambil tersenyum samar.
“Kalau pasien bandel kayak gini, biasanya saya kasih dua pilihan.”
“Pilihan apa?”
“Makan bubur sekarang atau saya suntik pakai jarum paling besar di rumah sakit ini.”
Rianti spontan menatapnya dengan mata membulat.
“Jarum besar? Serius?”
Pratama menahan tawa, pura-pura menghela napas berat.
“Serius sekali. Tapi biasanya pasien langsung berubah pikiran sebelum saya ambil suntikannya.”
Rianti menatap dokter muda itu dengan ekspresi setengah kesal setengah geli.
“Jahat banget, Dok…”
“Kalau jahat bikin kamu sehat, saya rela, kok.”
Ia kembali menyodorkan sendok berisi bubur ke arah Rianti. Kali ini, Rianti akhirnya mengangguk kecil dan membuka mulutnya.
“Tapi cuma beberapa suap, ya…”
“Sepuluh suap pertama dulu. Setelah itu kita negosiasi ulang.”
Rianti terkekeh kecil, lalu menelan suapan pertama.
Perlahan, suasana di kamar itu berubah hangat.
Pratama sesekali menatapnya dengan senyum tenang bukan sekadar dokter dan pasien, tapi seolah ia benar-benar ingin memastikan Rianti merasa aman.
“Nah, gitu pintar. Kalau kamu sehat, bayi kamu juga ikut bahagia.”
Rianti menunduk, menyentuh perutnya pelan sambil tersenyum tipis.
“Makasih ya, Dok…”
“Sama-sama. Tapi mulai besok kamu harus janji nggak boleh bandel lagi.”
“Janji.”
Pratama tersenyum puas dan bangkit dari kursinya.
“Oke, Ratu Bubur. Istirahat sekarang.”
Sementara itu di kamar hotel, suasana sudah jauh berbeda dari pagi sebelumnya.
Tidak ada lagi tawa dan candaan. Hanya dinginnya amarah Bramantya yang kini menatap tajam ke arah Linda, wanita yang dulu pernah menjadi bagian dari masa lalu kelam mereka.
Di atas meja, ponsel Rianti masih tergeletak tertinggal begitu saja saat ia panik dan berlari keluar hotel setelah melihat Linda.
Layar ponsel itu sesekali menyala, menampilkan panggilan tak terjawab dari Bramantya sendiri.
Linda duduk di kursi dengan wajah ketakutan, namun matanya masih berusaha menatap Bram dengan tatapan memelas.
“Kamu sadar apa yang udah kamu lakukan, Lin? Kamu hampir bikin istri aku keguguran dua kali. Sekarang kamu muncul lagi, dan berani-beraninya datang ke kamarku?”
Linda menggigit bibir bawahnya, suaranya bergetar.
“Aku cuma mau bicara, Bram. Cuma mau lihat kamu lagi. Aku… aku masih cinta sama kamu…”
“Cinta?” Ia menghela napas berat, suaranya menahan amarah.
“Cinta macam apa yang nyakitin orang lain? Yang bikin kakakmu sendiri trauma dan hampir mati?”
“Aku nggak bermaksud nyakitin Kak Rianti. Aku cuma ingin kamu tahu kalau aku nggak pernah berhenti mikirin kamu.”
Bram mendekat satu langkah, suaranya semakin tegas.
“Dengar baik-baik, Lin. Perasaan kamu itu sudah mati sejak kamu memutuskan bantu Prabu menculik Rianti. Aku nggak akan biarin kamu atau siapa pun ganggu keluargaku lagi.”
Ia memberi isyarat ke dua petugas kepolisian yang sudah menunggu di depan pintu.
“Bawa dia.”
Linda menatap Bram dengan wajah shock, tubuhnya gemetar.
“Bram, tolong. Aku masih cinta sama kamu! Aku nyesel! Aku rela dihukum, asal kamu tahu aku nggak bohong!”
Bram menatapnya untuk terakhir kali tanpa belas kasihan, tapi dengan rasa kecewa mendalam.
“Kamu terlambat, Lin. Aku sudah mencintai satu wanita, dan itu Rianti selamanya.”
Linda menjerit saat petugas menggiringnya keluar kamar.
Pintu tertutup dengan bunyi klik yang menggema di ruangan.
Bram berdiri diam beberapa detik, napasnya berat. Ia lalu menatap ponsel Rianti di meja, menggenggamnya erat.
“Tunggu aku, Ri. Aku bakal nemuin kamu, apa pun yang terjadi.”