"Apa yang sebenarnya membuat Mas enggan menyentuhku? Mas bahkan selalu menghindar jika aku membicarakan hal itu. Apapun jawaban Mas, aku akan berusaha ikhlas. Setidaknya Mas bicara. Jangan diam seolah-olah hubungan kita itu normal seperti pasangan suami istri yang lain.”
Banyu mengangkat wajahnya. Tanpa bicara apapun, ia segera meraih jas yang ia letakkan di kursi makan lalu melangkah pergi meninggalkan Haura.
***
Pernikahan yang Haura harapkan bisa mendatangkan kebahagiaan itu nyatanya tidak seindah yang gadis itu harapkan. Banyu, lelaki yang enam bulan ini menjadi suaminya nyatanya masih enggan memberikan nafkah batin kepadanya. Lelaki itu terus menghindarinya jika gadis itu mengungkit masalah itu.
Tentu saja itu menjadi pertanyaan besar untuk Haura. Apalagi saat perdebatan mereka, Haura tidak sengaja menemukan sebuah kalung indah berinisial 'H'.
Apakah itu untuk dirinya? Atau apakah kalung itu menjadi jalan jawaban atas pertanyaan besarnya selama i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ANTARA HAURA DAN HANIA
"Ra, Pak Banyu ada tamu. Kamu-"
Haura tidak peduli dengan peringatan yang sudah Daffa berikan. Perempuan yang sedang dikuasai emosi itu langsung membuka pintu ruangan Banyu.
"Mas kenapa kamu-" Mata Haura melotot melihat ternyata ada beberapa orang yang berada di ruangan Banyu dan kini semua pasang mata tersebut menatap ke arahnya. "Maaf, saya tidak tahu kalau ada tamu. Permisi." Haura sudah berbalik badan dan hendak melangkah keluar saat suara Banyu memintanya untuk tetap di situ.
"Tetap di situ, Haura!" seru Banyu tegas, lalu beralih menatap beberapa orang di ruangannya. "Kalian sudah bisa keluar. Untuk selanjutnya nanti bisa dihubungi kembali oleh sekretaris saya."
Haura pun berbalik dan berdiri di pojokan. Hatinya terus merutuki kecerobohannya sendiri. Seharusnya ia tidak mengabaikan peringatan Daffa. Rasa malu menjalar ke wajahnya.
Sedangkan para tamu Banyu tersebut kemudian berdiri. Salah satunya melangkah mendekati Banyu. Tangannya kemudian terulur dan dibalas langsung oleh Banyu.
"Baik. Terima kasih atas waktunya, Pak Banyu. Kami tunggu kabar baiknya."
"Iya. Sama-sama. Segera akan saya kabari tentang kabar selanjutnya."
Beberapa yang lainnya pun ikut menyalami Banyu lalu tak lupa tersenyum ramah kepada Haura saat akan keluar ruangan. Haura tentu saja tersenyum sembari menunduk karena masih malu.
Setelah semuanya keluar, Haura baru saja akan melayangkan protes kepada Banyu. Akan tetapi, tiba-tiba pintu ruangan kembali terbuka dan muncullah Hania dengan gaya ademnya seperti biasa.
"Lho, ada Haura juga ternyata?" Hania tampak terkejut melihat Haura yang berada di ruangan Banyu.
"Udah selesai kok, Han. Silakan aja." Haura malas bicara jika ada Hania di ruangan tersebut. Matanya lalu beralih ke Banyu. "Saya permisi, Pak."
"Hau-"
"Saya bawa laporan yang tadi pagi Bapak ingatkan lewat pesan. Bisa langsung Pak Banyu periksa? Takutnya nanti Pak Banyu lupa. Pak Daffa bilang setelah jam makan siang masih ada pertemuan lagi, kan?" Hania lebih dulu menyela Banyu sembari menunjukkan laporan yang ia bawa.
Haura yang tadinya sudah berbalik keluar langsung menoleh cepat. Matanya mendelik tajam ke arah Banyu yang juga menatapnya. Tangan Haura mengepal kuat. Ia ingin marah. Akan tetapi, akal sehatnya masih bekerja dengan baik. Hania meminta waktu Banyu untuk urusan pekerjaan.
"Haura tetap di sini." Banyu kembali bersuara.
"Tidak apa, Pak. Lagipula saya masih bisa membahasnya nanti." Haura memperlihatkan senyum lebar meskipun sebenarnya ia sudah siap mengeluarkan kalimat kekesalan kepada Banyu yang ternyata mengirimkan pesan kepada Hania pagi tadi.
"Tunggu sebentar, Ra. Kamu duduk di sana sebentar. Urusan saya dengan Hania tidak akan lama."
"Pak Banyu benar, Ra. Saya hanya akan mendiskusikan ini kok," timpal Hania.
"Laporannya kamu taruh di meja dulu, Han. Saya akan baca dulu sebelum nanti kita bahas. Kamu bisa langsung keluar."
Hania menatap Banyu seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Tapi Pak, ini harus segera kita bahas." Gadis itu langsung protes.
"Kita akan bahas itu nanti, Hania. Sekarang saya masih ada urusan dengan Haura. Saya juga perlu membacanya terlebih dulu."
"Nanti saja tidak apa, Pak. Lagipula urusannya tidak penting-penting banget kok Pak." Haura pun ikut bersuara bermaksud menengahi Hania dan Banyu.
"Sabar sebentar, Ra." Nada lembut itu sukses membuat Haura tercengang dan berhenti protes. Ia lalu duduk di sofa seperti yang Banyu perintahkan.
Mata Banyu lalu beralih ke Hania. "Kamu bisa langsung taruh laporannya, Hania. Saya juga butuh waktu untuk memahaminya." Wajah Banyu berubah serius dan langsung membuat Hania yang biasanya tersenyum tenang itu berubah pucat.
"Baik, Pak. Saya permisi," pamit Hania pelan.
Haura menatap gadis itu dengan kasihan. Hania pasti terkejut. Selama ini mana pernah ia dibentak Banyu seperti itu. Ah, itu sebenarnya bukanlah bentakan seperti yang sering Haura dan yang lainnya dapatkan dari Banyu. Namun, untuk pegawai teladan seperti Hania, nada serius dan tegas itu pasti membuatnya shock.
Entah memang Haura yang masih curiga kepada Hania, hanya saja Haura merasa gadis yang menjadi sahabatnya itu tadi melayangkan tatapan tajam kepadanya.
"Jadi apa yang membuat kamu menerobos pintu ruangan saya hari ini, hmmh?"
Haura berjengit kaget saat menyadari Banyu yang sudah duduk begitu dekat dengannya. "Bapak kenapa duduk di sini?"
"Ada yang salah?" Banyu menaikkan satu alisnya menatap Haura tidak mengerti.
Haura mendorong tubuh Banyu tanpa sungkan. "Geser jauh-jauh. Kalau perlu sampai ujung sana!" tunjuk Haura tepat di ujung sofa.
Alih-alih bergeser, Banyu justru menangkap telunjuk Haura lalu ia genggam dan arahkan ke samping mereka. "Kalau bisa dekat, kenapa harus jauh-jauh?"
Haura bergidik ngeri. Tubuhnya jadi merinding. Terkadang ia lebih memilih Banyu seperti yang dulu. Tidak cringe seperti sekarang.
"Saya bercanda. Wajah kamu tidak perlu setegang itu. Dulu pengen banget saya sentuh-sentuh, sekarang kenapa jadi menghindar terus?"
"Pak Banyu aneh. Saya jadi takut," ungkap Haura jujur.
Meledaklah tawa Banyu hingga matanya menyipit. "Suka saya yang sekarang atau yang dulu, hmmh?" Tangan Banyu kemudian membuka kuncir rambut Haura tanpa permisi. "Lebih baik begini. Karena lebih enak dipandang." Padahal Banyu tidak suka leher jenjang Haura terlihat.
"Ish, main lepas aja. Berantakan jadinya."
Banyu suka melihat wajah cemberut Haura. Pipinya yang memang chubby itu mendadak terlihat menggemaskan.
"Ya sudah, saya bantu rapikan." Banyu lalu merapikan rambut panjang Haura dengan jarinya. "Apa yang mau kamu bicarakan?"
"Kenapa permintaan untuk pindah departemen itu ditolak? Kan kemarin Pak Banyu sudah sepakat untuk membantu saya pindah."
Banyu mengangkat bahunya. "Itu urusan yang atas lah. Lagipula kamu kan masih menghandel satu proyek. Jadi, agak sulit."
"Walaupun Bapak yang minta langsung? Kan Bapak bisa bilang kalau kerja saya kurang bagus di sini. Atau bilang aja potensi saya lebih cocok di marketing. Membantu Pak Sagara."
Raut Banyu berubah kaku. Bersamaan dengan selesainya ia merapikan rambut Haura, ia segera berdiri dan melangkah menuju kursinya. Suasana hatinya mendadak memburuk saat mendengar nada antusias Haura untuk pindah departemen.
Lagipula entah apa yang membuat gadis itu semangat pindah ke sana? Di antara banyaknya departemen, mengapa harus di tempat Sagara? Membayangkan keduanya nanti menjadi akrab saja Banyu tidak rela rasanya.
"Gimana, Pak? Lagipula Bapak jangan ingkar janji dong."
"Sabar, Ra. Kalau mendadak pindah begini yang ada nanti orang kantor curiga kita berdua lagi tidak harmonis."
"Bukannya kita memang nggak harmonis, ya? Sejak awal juga nggak harmonis. Cuma di foto aja tuh kelihatan harmonisnya. Aslinya mah jauh." Haura dengan begitu santainya membalikkan perkataan Banyu.
Banyu menghela napasnya lelah. Sekarang berdebat dengan Haura selalu sukses membuat Banyu diam. Haura terlalu pandai membalas perkataannya.
"Atau aku langsung telepon Pak Sagara saja, ya, agar pihak atas langsung menyetujui kepindahanku?" Haura segera mencari kontak Sagara.
"Jangan, Ra."
Ibarat kata, menurut Haura setiap perintah Banyu adalah larangan untuknya. Pun demikian dengan larangan Banyu, hal itu adalah perintah untuknya.
Matanya fokus kepada layar ponselnya, berharap Sagara segera menerima panggilannya.
"Halo, Haura. Ada yang bisa Mas bantu?"
Senyum Haura mengembang seketika lalu dengan semangat ia menempelkan ponselnya di telinga siap untuk menjawab pertanyaan Sagara.
"I-" Namun, tiba-tiba ponselnya direbut oleh Banyu. Tanpa basa-basi lelaki itu segera menutup panggilan tersebut. "Maaas!" seruan Haura seakan lupa bahwa mereka masih di kantor.
Banyu menatap Haura tajam. "Saya tidak suka kamu bergantung kepada lelaki lain, terutama Sagara."
*
*
*
Jangan lupa tinggalkan jejak ya gaes :)
Kenapa Haura...?? yaa karena dia istrinya. lahh kamu siapa.. hanya masa lalu..
Pilihan yg tepat buat kembaliin projeknya Haura, dg begitu dia gak akan tantrum minta pindah departemen lagi. 😂
Satu buat Hania, emang enak. Udh ditolak terus Haura dipuji-puji lagi. makiin kebakaran gak tuuh... 😂😂
kamu cantik jelas terlihat apa adanya.
sedangkan yg jadi bandingan kamu, cerdas kalem, tapi licik.. ada udangnya dibalik bakwan..
gak kebayang gimana kalo Daffa tau tentang ini..
Gak dapet dua-duanya baru nyaho kamu Han.
Yang lain aja slow, ngapain km repot2 jelasin.. yaa kecuali km ada mksud lain..
maaf ya Han, sikap mu bikin saya su'udzon..
Novel kedua yg aku baca setelah kemren Arsal-Ayra yg menguras esmosi... mari sekarang kita jadi saksi kisah Haura - Banyu akan bermuara dimana akhirnya. Karena pernihakan bukan berarti akhir kisah sepasang anak manusia. Jika bukan jodohnya mereka bisa saja berpisah, dan kembali mencari tulang pemilik tulang rusuk yang sesungguhnya. Jika sudah jodohnya, mungkin hanya maut yg memisahkan mereka di dunia.
Semangat ka... sukses selalu untuk karyanya.. ❤
Berdoa aja, semoga Haura lupa sama ngambek dan traumanya..
Mahalan dikit napa, masa nyogok poligami cuma es kriim.. minimal nawarin saham ke..
Baru launching udh ketahuan sumber ghibahnya... anggota lain langsung pada ngaciiir kabuuuur ..
makasih up langsung 2..
Good job Ra, saya dukung... ayooo buat Air semakin jatuh dalam penyesalan...