Jika perselingkuhan, haruskah dibalas dengan perselingkuhan ...
Suami, adalah sandaran seorang istri. tempat makhluk tersebut pulang, berlabuh dan tempat penuh kasih nan bermanja ria juga tempat yang sangat aman.
Namun, semua itu tak Zea dapatkan.
Pernikahannya adalah karena perjodohan dan alasannya ia ingin melupakan cinta pertamanya: Elang. teman kecilnya yang berhasil meluluh lantahkan hatinya, yang ditolak karena sifat manjanya.
Namun pernikahan membuat zea berubah, dari manja menjadi mandiri, setelah suaminya berselingkuh dengan wanita yang ternyata adalah istri dari teman kecilnya.
Haruskah zea membalasnya?
Ataukah ia diam saja, seperti gadis bodoh ...
Novel ini akan membawamu pada kenyataan, dimana seorang wanita bisa berubah, bukan saja karena keadaan tapi juga karena LUKA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saidah_noor, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tindakan Elang.
Wajah yang tadinya tenang berubah menjadi tajam, posisi duduk pak Elang yang tadinya bersandar pada kursi pun berubah menjadi tegak. Tapi, aku masih berdiri dihadapannya menunggunya untuk mengatakan apa yang ingin diucapkan.
Kedua tanganku saling meremas, kepalaku tertunduk enggan menatap mata Elangnya terus-menerus. Namun, lelaki itu melihat-lihat tiap sudut wajahku seakan tengah menyelidiki sesuatu.
"Elo habis nangis, dia apain elo?" ucapnya sekaligus bertanya.
Sepertinya aku tak bisa menyembunyikan mata bengkak akibat menangis, namanya juga Elang pasti matanya teliti juga.
"Jika tak ada yang mau dikatakan, saya pamit ada pekerjaan. Permisi!" aku menundukkan kepalaku hendak pergi dari ruangan Ceo, sebelum Elang menginterogasiku.
Tapi, aku tak menyangka dia akan menarik tanganku disaat aku tengah melangkah cepat dan sepatu high ku yang mendadak licin. Aku membalikkan tubuhku, tanganku tak sengaja menarik dasi Elang untuk menstabilkan badanku karena aku akan jatuh.
Tapi malah ...
Bruk
Aku meringis karena sakitnya ambruk, juga tangan kananku yang sudah mendingan kembali terasa nyeri. Tubuh lelaki itu bahkan berada diatasku, membuat dadaku tak hanya sesak tapi juga berdebar kala mata kami beradu.
Dan disaat itulah ...
Klek
Kami melirik kearah pintu yang akan terbuka, ada mama dan papanya Elang datang kekantor putranya. Wajah senyum mereka berubah jadi muka kaget, seolah baru mendapatkan sebuah kejutan yang sangat luar biasa.
Mulut mereka menganga dengan mata yang bulat, menatap kearah kami yang masih dalam posisi.
"Kalian ...." gumam tante Dibjo yang langsung menutup mulutnya.
Aku menatap Elang dan baru sadar akan satu posisi yang mungkin jadi kesalah pahaman, segera ku dorong Elang agar bangun.
Setelah bangun, aku berdesis pelan sembari menggerakan tangan kananku yang ngilu. Hal itu tak luput dari pandangan tante Dibjo dan suaminya, saat aku menatapnya.
Aku melirik tangan kananku yang masih ku pijat pelan, lalu kedua orang tua itu, aku yakin mereka salah paham.
Aku menggelengkan kepalaku, "I-ini tidak seperti yang kalian pikirkan," ujarku sambil bangun.
Tapi, respon mereka terlihat bingung. Orang tua Elang malah saling tatap dan hanya tersenyum saja. Aku memejamkan mataku, menggigit bibir bawahku rasanya percuma untuk menjelaskan.
"Maaf Pak, Buk. Saya pamit dulu!" ucapku dengan sopan dan perasaan yang sangat tak nyaman dan sangat memalukan.
Baru saja melangkah, bosku itu malah berujar. "Maafin Gue, Zea. Lain kali gue bakal pelan-pelan saja."
Aku menoleh pada Elang, muka yang mendadak polos itu benar-benar ingin kuhajar. Bagaimana tidak, ia tersenyum padaku dengan berpangku tangan seakan tak ada kejadian yang salah.
Lengkap sudah pikiran negatif mereka, apalagi semalam Elang mengaku jadi pacarku. Entah bagaimana jadinya jika sampai ketelinga ibuku, karena bu Dibjo sering datang untuk menjahit baju.
Aku tak bisa katakan apa-apa lagi, selain pergi dari ruangan itu dengan pelan dan kepala ditekuk.
Setelah pintu Ceo kututup dan aku keluar dari ruangan itu, pak Er mendadak bangkit dari kursinya dan berdiri kearahku.
Wajah pria muda itu tampak canggung menatapku, padahal ia lebih tinggi posisinya dariku karena ia sudah lama sedangkan aku masih baru.
"Maaf, bu Zea. Tadi saya sudah coba untuk mencegah bapak dan ibu Dibjo untuk masuk, namun kami dengar suara jatuh jadi ...." Ucapannya terhenti kala mata tajamku menatapnya, ia menunduk.
"Menurutmu, apa hubungan kami? Maksudku antara saya dan pak Elang," tanyaku.
Aku ingin tahu apa yang orang lain pikirkan tentang kami, karena aku sudah bosan mendengar rumor tentangku dan Elang yang kian berkoar. Dengan adanya pengakuan Elang semalam tentu akan ada akibatnya.
"Anu, itu kan kalian pacaran. Benarkan? Karena kalau bukan, tak mungkin pak Elang menolak lamaran calon Asisten yang lulusannya lebih tinggi dari anda dan Skill-nya pun lebih luas dari anda," papar Pak Er.
"Jadi maksudmu gelarku sangat rendah dan pengalamanku sedikit?" ujarku menjelaskan lebih detail.
Aku makin tajam menatapnya, kulihat ia menelan salivanya dan membeku mendengar cerita kerjaku yang kurang.
Ya, karena menikah aku keluar dari pekerjaanku sebagai sekertaris diperusahaan hebat. Itu pun atas permintaan ayahku, karena ia ingin aku fokus pada pernikahan.
"Biar ku jelaskan, kami tak ada hubungan apapun. Mengerti!" tegasku.
Pak Er mengangguk pelan, "Saya tak bermaksud begitu, maafkan saya, Bu," ucapnya menundukkan kepala.
Aku berjalan ke meja kerjaku mengabaikan sekertaris Elang itu, aku menyetel komputerku dan mulai fokus pada pekerjaanku. Perkataan pak Er terlintas kembali, aku ingat pula percakapan pegawai lain saat ditoilet wanita.
Jika dipikir lagi, itu aneh. Elang tak mungkin menerimaku kerja tanpa alasan, tapi apa alasannya? Kenapa?
"Tunggu!" gumamku dalam hati.
Alana adalah mantan istri Elang dan mas Reza adalah selingkuhannya Alana sekaligus suamiku, apa karena itu juga ia menerimaku kerja. Dia ...
Pikiranku mulai menautkan tiap puzzle kejadian saat pulang dinas, saat pertama kalinya aku melihat perselingkuhan suamiku dan istrinya Elang. Saat itulah semua dimulai, sikap Elang padaku sampai pengakuan Elang dihadapan semua orang.
Anehnya, untuk apa Elang mengundang Alana dan Mas Reza ke acara ulang tahunnya. Jika bukan untuk memberiku kesempatan agar melihat siapa suamiku, juga membuat pengakuan itu. Waktu itu aku juga lihat wajah mas Reza yang terkejut mendengar ungkapan Elang, lain dengan Alana yang biasa saja.
"Tak mungkin ia mendekatiku untuk membalaskan dendam perselingkuhan mereka?" batinku.
Kepalaku mudeng, memikirkan tentang masalah percintaan yang belum usai ini. Aku melupakan sejenak dan fokus kembali pada pekerjaanku.
.....
Ditengah mengerjakan pekerjaanku, pintu Ceo terbuka. Bapak dan ibunya Elang itu keluar dari sana, aku dan pak Er segera berdiri memberikan sambutan kehormatan.
Kedua orang tua Elang mendekatiku, tersenyum layaknya bertemu keluarga. Ibunya bahkan mengusap lenganku pelan,
"Tolong jaga Elang, ya!" ujar bu Dibjo.
Aku tak paham maksudnya, aku hanya menjawab "Iya," dengan tersenyum canggung.
"Ayo, Mah!" ajak Papanya Elang untuk pulang.
Selepas mereka pergi, aku terdiam. Otakku kembali digerayangi pertanyaan, ada apa dengan Elang?
Aku tatap pintu ruangan Ceo itu, terasa dingin dan ketus mirip pemilik ruangan tersebut. Tak ada aura ceria layaknya om duda yang akan mencari pasangan baru.
Biasanya mendadak tebar pesona.
......................
Saat jam istirahat, saat itulah aku menemui Elang sambil membawa bingkisan yang kupesan diwarteg terdekat. Kala kantor masih sepi dan semua orang sibuk mencari makan siang atau melepaskan penat sejenak.
Aku masuk tanpa mengetuk pintu, kulihat lelaki itu menatap kosong kearah lurus seakan tak ada jiwanya disana. Dimejanya berkas-berkas menumpuk tak ada tanda-tanda dikerjakan, padahal besok ada meeting dan pertemuan dengan rekan bisnis yang seharusnya ia selesaikan sekarang.
Aku yakin ia juga terluka oleh pengkhianatan Alana.
"Pak," panggilku, tapi tak ada respon sama sekali.
"Pak Elang," lagi dengan nada sedikit meninggi, namun masih juga tak menyahut.
"ELANG!" panggilku kian meninggi.
"Eh, iya." Elang menyahut dengan wajah bingung.
"Ngapain elo kesini? Berkasnya sudah selesai? Biar aku tanda tangani secepatnya," ucapnya, mengambil berkas dimejanya lalu ia buka dan membacanya.
Namun, ia diam. Karena berkasnya bukan untuk ditanda tangani, tapi dipelajari untuk pertemuan esok. Ia menengadah dan menatapku.
"Bukan itu, kamu sedang melamun. Pasti karena laper, iya kan?" ujarku kemudian tertawa receh.
"Ini aku belikan makan siang." Aku menaruh bingkisan itu agar bisa ia makan, tepat didepannya beserta sendok dan piringnya yang tersedia di kantor juga sebotol air kemasan.
"Makanlah, aku pamit dulu," ucapku lalu melangkah pergi.
Dan tindakannya selalu mengejutkanku, ia menarik tanganku kali ini cukup pelan. Aku tak membalikkan badanku, tapi ... ia memelukku dari belakang.
kenapa harus pelit sih ma istri..