Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 15
Semua urusan di kampus sudah selesai.
Kini tiba waktunya aku akan meninggalkan kota ini. Entah kapan lagi aku akan berkesempatan menginjakkan kaki di sini dan menghabiskan hari dengan sang pujaan hati.
Sebelum pulang, aku menghadiri acara pentas seni yang diadakan oleh fakultasku dulu. Mahasisswa, alumni dan masyarakat umum boleh hadir di sana. Kebetulan aku dapat undangan khusus untuk mengisi salah satu acara sebagai alumni dengan IP terbaik tahun ini.
Ribuan penonton sudah berjejer di stadion. Para pengisi acara sudah bersiap di ruangan khusus. Kulihat gawaiku disela-sela kesibukanku yang akan tampil sebentar lagi.
Nggak ada chat atau pun panggilan dari Jasson yang sudah berjanji untuk datang malam ini ke GOR tempat berlangsungnya acara ini.
"Selanjutnya, kata sambutan dari kakak cantik Nayla Azzahra yang baru saja diwisuda bulan lalu dengan IP terbaik. Kepada Kak Nayla, dipersilahkan," ucap MC yang merupakan juniorku.Aku berjalan ke arah pentas di ikuti ribuan pasang mata. Nggak ada rasa grogi karena aku sudah terbiasa mengisi acara dengan ribuan penonton seperti ini. Hanya saja kali ini pikiranku terbagi karna Jasson belum juga terlihat. Aku mulai cemas kalau terjadi hal buruk padanya. Seharusnya dia sudah sampai.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," ucapku menyapa mereka.
Jawaban salamku pun menggema dari mereka semua.
"Kurang semangat, ya," ucapku menghangatkan suasana. Lalu kuulangi sekali lagi membacakan salam. Mereka pun menjawab dengan jumlah suara yang jauh lebih banyak dan lebih keras.
"Semangaat!!" Kudengar suara seorang yang dari tadi kupikirkan.
Aku tersenyum ke arah datangnya suara.
Terlihat Jasson berdiri di pintu arah selatan, atau di samping kanan dari tempat kuberdiri.
"Selamat datang temanku vang semoga saja menjadi teman hidupku," ucapku tersipu.
Hampir seluruh mata kini mengintainya. Terdengar juga sorak sorai dan suara beberapa
orang yang mengaminkan ucapanku.
"Amin," sahutnya juga sambil berjalan dan mencari tempat duduk yang kosong.
Aku terharu, sekaligus prihatin dengan kisahku sendiri. Sekalinya bertemu dengan orang yang cocok, malah kita hanya seamin saja tetapi tidak seiman.
Tersadar masih di atas pentas, aku melanjutkan memberikan sepatah kata untuk penyambutan acara ini. Aku mulai serius dan profesional.
Tidak lama-lama, karna ini hanya sambutan, lima belas menit saja berceloteh di atas pentas, aku kembali mengahiri dengan salam.
Kemudian aku duduk di deretan penonton. Aku keluar dari pintu di belakang pentas dan masuk lagi dari pintu yang dilalui Jasson tadi. Orang-orang di sekitarnya kemudian meluangkan tempat di dekat Jasson melihat kemunculanku seolah mengerti bahwa aku ingin duduk di samping orang yang tadinya kuumumkan sebagai teman dekatku.
"Kenapa terlambat?" Aku langsung menyongsongnya dengan pertanyyan kekhawatiranku.
"Di gerbang macet banget, di parkiran juga lama," sahutnya.
Ini adalah untuk kedua kalinya aku duduk sedekat ini dengannya. Karena pengunjung begitu ramai, jadinya tempat ini sedikit sesak. Apalagi aku dan Jasson datang paling terakhir.
Bahuku kini menempel di sisi tangannya.
Ini bahkan lebih dekat lagi dari duduk di kantin kampus kemaren. Saat mengobrol, aku dengannya bergantian untuk memandang. Karna jika aku dan dia saling bertatapan maka jaraknya sangatlah dekat. Aku bisa mati berdiri jika itu terjadi. Segini saja sudah jantungan dibuatnya.
"Nanti jadi pulang?" tanyanya.
"Jadi," lirihku.
Terbayang sudah bagaimana sedihnya nanti berpisah dengannya. Ya Tuhan, sepertinya setan benar-benar sudah ada bersamaku. Ingin rasanya nikah aja dengan calon mualaf ini agar nggak begitu berat menahan rindu. Namun tentu aku ingin dia mualaf dulu sebelum ijab kabul terjadi.
"Nggak bisa di undur dulu?" tanyanya lagi seolah sedang memikirkan hal yang sama denganku.
Aku lalu melihat ke arahnya. Ternyata dia juga sedang melihat ke arahku. Aku benar-benar nggak sanggup menatap bola mata itu. Aku menahan senyumku lalu membuang muka darinya. Kuarahkan pandangan ke depan yang sedang berlangsung acara penyambutan lainnya.
"Nggak, aku terlanjur bilang ke umi kalau urusan kampusku sudah selesai," jawabku kemudian.
"Nanti di rumah kita bisa ketemu lagi 'kan? tanyanya lagi.
Sepertinya rindu yang menggebu benar-benar sudah merasuki kami berdua.
"Kalau itu aku kurang yakin, Jasson. Aku susah sekali dapat izin keluar dari umi dan abi. Kalau pun dapat izin dari mereka, itu nggak akan lama." Aku termenung.
Teringat Gilang lebih memilih sahabatku ketimbang aku hanyalah karna alasan ini.
Karena aku selalu nggak bisa setiap kali dia mengajakku jalan. Dia nggak sabar menunggu aku kuliah agar aku bisa terbebas sedikit saja dari aturan-aturan umi dan abi.
"Nggak apa-apa, Nay. Semoga nanti kita segera menemukan jalan keluarnya," hiburnya.
"Amin," ucapku sambil memejamkan mata.
Lalu kupanjatkan doa pada Allah agar mengabulkan doa kami berdua. Semoga jalan itu segera terlihat sebelum dia juga pergi karena bosan sama seperti Gilang. Ah! Namanya masih saja ku ingat. Luka darinya masih saja terasa.
***
Jam sembilan malam, acara sudah di tutup. Ketika acara di bubarkan, teman-temanku berkumpul di sekitarku sambil mengolok-olok kami. Banyak sekali diantara mereka yang menatap kagum ke arah Jasson. Namun ternyata dia benar-benar cuek terhadap semua perempuan. Benar yang di katakan oleh satpamnya waktu itu. Aku benar-benar beruntung jika memang berjodoh dengannya. Biasanya jika ada cewek-cewek cari perhatian, cowok akan senang dan menanggapinya. Tetapi dia tidak. Dia benar-benar berbeda dari lelaki lain.
"Kamu pulang ke kontrakan dulu?"
tanyanya setelah kami pamit dari teman-temanku.
"Langsung ke rumah," sahutku sambil berjalan pelan ke arah parkiran.
"Sendiri?" cecarnya.
"Iya, nggak apa-apa," ucapku meyakinkannya.
"Nggak boleh, kita konvoi. Aku akan ikutin kamu dan aku akan antar sampai rumah," paparnya. 'Ciye, udah berani ngelarang. Cowok yang katanya dingin tapidenganku begitu hangat,' gumamku sambil tersenyum.
basi. "Nggak ngerepotin?" Aku sedikit basa-
"Nggak sama sekali, sekalian aku juga mau pulang, untuk apa aku di sini kalau nggak ada kamu lagi," ucapnya membuat bibirku langsung merekah. bisa sekali dia.
Aku dan dia lalu pulang beriringan.
Sesekali kupantau mobilnya yang masih terus mengikutiku. Sepertinya dia orang yang bertanggung jawab. Secepatnya akan kukasih tahu umi dan abi tentang sosoknya.
Aku memperlambat laju mobil beberapa meter sebelum sampai dirumah sambil mencoba menghubungi ponselnya yang ternyata di luar jangkauan. Aku ingin memberitahukan bahwa rumahku sudah dekat. Harusnya dia segera berputar arah agar umi dan abi tidak melihatnya.
Sampai di depan pagar, ayah yang kebetulan ada di sana langsung membukakannya, sementara mobil Jasson masih ada di belakang mobilku. Aku ketakutan, keringat dingin mulai terasa diproduksi. Mati aku! Mana mobil Jasson malah ikutan berhenti.
Aku memutar setir sambil pasrah dengan apapun yang terjadi. Kulihat mobil Jasson yang belum juga bergerak.
Setelah memasukkan mobil ke garasi, aku setengah berlari ke arahnya.
"Terima kasih, ya," ucapku dan berharap dia langsung pergi.
Aku tak berani melihat ke arah abi yang wajahnya sudah tidak bersahabat lagi. Apapun yang terjadi nanti aku sudah pasrah. Aku rela dimarahi abi setelah ini asalkan bukan Jasson yang kena imbasnya.
Dlup! Pintu mobilnya terbuka dengan halus. Jasson turun dari sana. Mati aku! Dia ngapain? Seketika aku ingin menghilang dari bumi ini.