NovelToon NovelToon
Earth Executioner

Earth Executioner

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Balas Dendam / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:575
Nilai: 5
Nama Author: Aziraa

'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'

---

Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.

Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."

Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.

Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.

Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 14: Debu Emas di Tanah Merah: Afrika Terbakar

Dunia Dalam Kejut dan Keputusasaan

Dunia tidak lagi bernapas dengan ritme yang sama. Enam jam telah berlalu sejak kehancuran Dubai dan seluruh Teluk Persia menjadi lautan api dan pasir, dan dampaknya menjalar seperti racun melalui pembuluh darah peradaban manusia. Satelit-satelit komunikasi yang tersisa berputar seperti mata buta di orbit, mengirim sinyal kosong ke stasiun-stasiun darat yang telah padam. Kabel-kabel bawah laut putus, menara-menara telekomunikasi roboh, dan dunia terpecah menjadi pulau-pulau terisolasi yang tenggelam dalam kegelapan dan kepanikan.

Berita tidak lagi disebarkan melalui jaringan global yang terorganisir, melainkan melalui bisikan-bisikan putus asa, gelombang radio amatir yang berderak, dan citra satelit yang terlambat berjam-jam, melukis gambaran apokaliptik yang tak terbayangkan. Manusia berbicara dalam angka-angka yang kehilangan makna: jutaan korban di Indonesia, Prancis yang lenyap, Amerika utara yang tenggelam, dan kini seluruh Timur Tengah yang terbakar.

Di London, Perdana Menteri Inggris duduk terdiam di ruang krisis Downing Street yang redup. Lampu darurat berkedip lemah, dan di luar jendela, kota yang dulunya tertata rapi kini diselimuti asap hitam dari toko-toko yang dijarah dan mobil-mobil yang terbakar. Kerumunan massa berteriak di jalanan, mendobrak toko-toko makanan dan apotek, sementara polisi yang kewalahan mundur ke markas-markas mereka yang dibentengi.

"Laporan terakhir dari Afrika Selatan terputus tiga jam yang lalu," bisik Sekretaris Pertahanan, suaranya serak. "Johannesburg... mereka bilang kota itu... ambles. Seluruh kota ambles ke dalam tambang-tambang yang mereka gali sendiri."

Perdana Menteri menatap kosong ke peta dunia yang dipenuhi titik-titik merah. "Kita telah kehilangan kontak dengan tiga benua. Kita bukan lagi kepala pemerintahan—kita adalah penyintas yang sedang menunggu giliran."

Di Berlin, Kolonel Klaus Richter berdiri di ruang kendali yang sepi, hanya diterangi oleh cahaya monitor yang berkedip-kedip. Peta digital menunjukkan lubang-lubang hitam di tempat yang dulunya adalah negara-negara besar. Tangannya gemetar saat ia menyentuh layar, menelusuri jejak kehancuran yang membentuk pola mengerikan.

"Ini bukan perang, ini bukan terorisme," gumamnya, air mata mengalir di pipinya yang pucat. "Ini adalah... penghakiman. Seolah-olah planet ini sendiri yang menghakimi kita." Ia menoleh ke peta yang menunjukkan Afrika—benua yang kini terlihat seperti lukisan merah darah. "Mereka menyerang simbol-simbol kita. Kekuasaan politik, kemewahan, teknologi, dan sekarang... eksploitasi. Kita sedang dibersihkan dari muka bumi."

Seorang operator radio mengangkat kepalanya, wajahnya pucat. "Kolonel, kami menangkap sinyal lemah dari Kapstadt. Mereka bilang... mereka bilang gurun Kalahari sedang meluas. Dengan sendirinya. Seolah-olah pasir bergerak hidup-hidup, menelan kota-kota di jalurnya."

Di Washington D.C., bunker bawah tanah Gedung Putih terasa seperti makam. Presiden Amerika Serikat, yang wajahnya kini tampak seperti bayangan dari dirinya sendiri, menatap layar yang memproyeksikan citra-citra mengerikan dari seluruh dunia. Di sampingnya, para jenderal dan penasihat duduk dalam keheningan yang mencekik, tidak ada yang berani mengambil keputusan karena tidak ada keputusan yang bisa diambil.

"Stok darurat di kota-kota besar habis dalam enam jam," lapor seorang penasihat dengan suara parau. "Penjarahan meluas hingga ke kota-kota kecil. Jembatan-jembatan utama dikuasai oleh kelompok-kelompok bersenjata. Dan kini laporan dari seluruh dunia mengatakan bahwa fenomena alam yang tidak masuk akal sedang terjadi di mana-mana."

Presiden menggelengkan kepala perlahan. "Apa yang kita lawan? Bagaimana kita berperang melawan gempa bumi, tsunami, dan badai pasir yang bergerak dengan kehendak sendiri?"

"Kita tidak bisa," jawab seorang jenderal, suaranya datar. "Kita hanya bisa menunggu dan berharap kita bukan yang berikutnya."

Di New Delhi, wartawan Rohan Sharma berdiri di atas reruntuhan sebuah gedung, berusaha mengirim laporan terakhirnya melalui radio portabel yang hampir kehabisan baterai. Kota di bawahnya terlihat seperti medan perang—jalan-jalan penuh dengan kendaraan yang ditinggalkan, api menyala di berbagai sudut, dan kerumunan massa yang putus asa berkeliaran mencari air bersih dan makanan.

"Gelombang pengungsi dari Pakistan, Afghanistan, dan negara-negara Teluk terus membanjiri perbatasan," lapornya, suaranya bergetar. "Mereka membawa cerita-cerita yang... yang tidak masuk akal. Mereka bilang melihat tanah yang bergerak seperti lautan, pasir yang berputar seperti tornado, dan suara gemuruh dari perut bumi yang bukan gempa biasa."

Teriakan keras terdengar dari bawah. Sekelompok orang berkelahi memperebutkan jerigen air yang tersisa. Rohan melihat seorang wanita tua terjatuh, dan tidak ada yang menolong.

"Ini bukan lagi tentang negara atau politik," bisiknya ke mikrofon. "Ini tentang kelangsungan hidup manusia sebagai spesies. Kita semua sendirian di hadapan kekuatan yang tidak kita mengerti."

Suara tembakan mengakhiri siarannya. Radio menjadi sunyi.

--- Afrika yang Dieksploitasi

Di ketinggian tiga puluh lima ribu meter, jauh di atas lapisan awan yang berputar-putar, jet pribadi mewah yang telah dimodifikasi dengan teknologi canggih melesat dengan kecepatan yang mendobrak batas fisika normal. Di dalam kabin yang luas, Raka duduk dalam posisi meditasi, matanya terpejam namun kesadarannya meluas hingga ke seluruh planet. Ia bisa merasakan setiap getaran, setiap jeritan, setiap tetes darah yang mengalir di permukaan bumi.

Energi primordial yang mengalir dalam tubuhnya kini telah mencapai tingkat yang baru. Setiap kehancuran yang ia ciptakan memberikan kekuatan yang lebih besar, setiap nyawa yang ia ambil memperkuat koneksinya dengan inti planet.

Eva duduk di seberangnya, wajahnya tenang namun matanya berkilat dengan kepuasan yang mendalam. Ia mengamati Raka dengan senyum tipis yang hampir tidak terlihat, seperti seorang seniman yang mengagumi karya masternya yang sedang berkembang.

"Rasakan, Raka," bisiknya dengan suara yang seperti angin yang bertiup melalui kuburan. "Benua di bawah kita ini adalah luka yang bernanah. Selama berabad-abad, manusia telah menguras darahnya, mencuri kekayaannya, dan memperbudak penduduknya. Mereka membangun peradaban di atas tulang-tulang yang berserakan."

Raka membuka matanya perlahan. Di luar jendela, hamparan luas Afrika terbentang di bawah mereka. Dari ketinggian ini, ia bisa melihat bekas-bekas luka yang mendalam—garis-garis putih yang menandakan tambang terbuka, sungai-sungai yang berubah warna karena polusi, dan hutan-hutan yang gundul seperti luka bakar di kulit bumi.

"Mereka mengambil emas, berlian, uranium, dan kobal," lanjut Eva, suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan. "Mereka meninggalkan lubang-lubang menganga seperti luka terbuka, membuang limbah beracun ke sungai-sungai yang dulunya suci, dan membiarkan penduduk lokal hidup dalam kemiskinan di tengah kekayaan yang tak terbatas."

Raka merasakan kemarahan yang mendalam mengalir dalam dadanya. Bukan hanya kemarahan pribadinya, tetapi kemarahan kolektif dari tanah yang telah dicemari, air yang telah diracuni, dan udara yang telah dikotori. Ia merasakan penderitaan setiap pohon yang ditebang, setiap binatang yang kehilangan habitat, setiap tetes air yang tercemar.

"Afrika," bisiknya, suaranya beresonansi dengan kekuatan yang mengerikan. "Benua yang paling kaya, namun paling miskin. Tempat lahirnya manusia, namun tempat penderitaan terbesar mereka. Sudah saatnya untuk mengembalikan keseimbangan."

Jet mulai menurun menuju Afrika Selatan. Tambang-tambang yang dalam bergetar dengan frekuensi yang aneh, seolah-olah bumi sedang bersiap untuk memuntahkan kembali apa yang telah dicuri darinya.

"Johannesburg," Eva mengucapkan nama itu seperti mantra kutukan. "Kota Emas. Dibangun di atas darah dan air mata, di atas eksploitasi yang paling kejam. Mereka akan menjadi contoh bagi dunia tentang harga yang harus dibayar untuk keserakahan."

--- Johannesburg: Kota Emas yang Berdarah

Pagi itu di Johannesburg, matahari terbit dengan warna yang aneh—jingga kemerahan yang terlalu pekat, seolah-olah langit telah tercampur dengan darah. Di sekeliling kota, tambang-tambang emas yang menganga seperti luka terbuka mulai mengeluarkan asap tipis yang berbau belerang. Burung-burung yang biasanya berkicau di pagi hari terbang dalam formasi yang kacau, seolah-olah mereka merasakan sesuatu yang tidak normal.

Di Carlton Centre, gedung tertinggi di Afrika, para pekerja kantoran mulai hari mereka dengan perasaan tidak nyaman yang tidak bisa dijelaskan. Udara terasa lebih berat dari biasanya, dan ada suara gemuruh samar yang terdengar dari kejauhan—bukan suara lalu lintas, bukan suara konstruksi, tetapi suara yang lebih dalam, lebih primordial.

Marcus van der Merwe, seorang eksekutif perusahaan tambang yang kaya raya, berdiri di jendela kantornya di lantai empat puluh, mengamati tambang-tambang yang menghasilkan kekayaannya. Ia memiliki rumah mewah di Sandton, mobil sport koleksi, dan rekening bank yang penuh dengan hasil eksploitasi mineral Afrika. Namun pagi ini, ia merasakan kegelisahan yang tidak biasa.

"Aneh," gumamnya, melihat asap tipis yang naik dari tambang-tambang di kejauhan. "Seharusnya mereka tidak beroperasi pagi ini."

Ia tidak tahu bahwa jauh di atas, dua sosok sedang melayang di stratosfer, mengamati kotanya dengan mata yang dingin dan hati yang beku.

Raka mengulurkan kedua tangannya, merasakan aliran energi primordial yang mengalir dari inti bumi. Kali ini, ia akan menggunakan kekuatan yang paling fundamental—mengembalikan tanah kepada bumi, mengembalikan mineral kepada perut planet, dan menenggelamkan kota dalam lubang yang telah mereka gali sendiri.

"Mereka menguras kekayaan bumi hingga kedalaman empat kilometer," bisik Raka, suaranya bergema dengan otoritas yang mengerikan. "Sekarang bumi akan mengklaim kembali apa yang menjadi miliknya."

--- Tanah yang Menelan

Getaran pertama dimulai dari kedalaman yang mustahil—bukan dari lempeng tektonik yang bergeser, tetapi dari inti bumi itu sendiri. Suara itu berbeda dari gempa bumi biasa; ini adalah resonansi yang disengaja, frekuensi yang dipilih secara spesifik untuk menghancurkan struktur-struktur yang telah dilemahkan oleh penambangan berabad-abad.

Di bawah permukaan Johannesburg, labirin tambang yang membentang hingga empat kilometer ke bawah mulai bereaksi. Pilar-pilar beton yang menopang terowongan bergetar dengan frekuensi yang semakin meningkat. Kabel-kabel lift yang membawa ribuan penambang ke kedalaman mulai bergetar seperti senar gitar yang dipetik oleh tangan raksasa.

Kemudian, Raka memanipulasi struktur molekular tanah itu sendiri, mengubah komposisi mineral yang stabil menjadi substansi yang labil. Gravitasi lokal berubah, tidak untuk membuat objek melayang, tetapi untuk menciptakan tekanan yang luar biasa pada lapisan tanah tertentu.

Fenomena likuifaksi tanah dimulai, tetapi dalam skala yang tidak pernah terjadi dalam sejarah geologi. Tanah yang solid berubah menjadi cairan kental yang bergerak dengan kehendak sendiri. Bukan hanya pasir atau tanah liat biasa—ini adalah tanah mineral yang dipenuhi dengan partikel emas, berlian, dan logam berharga lainnya yang kini berubah menjadi lumpur cair yang berkilauan.

Di permukaan, getaran pertama dirasakan sebagai gemetar ringan yang hampir tidak terdeteksi. Namun dalam hitungan detik, intensitasnya meningkat dengan kecepatan yang mengerikan. Jendela-jendela gedung mulai bergetar, alarm mobil berbunyi secara bersamaan, dan orang-orang di jalanan berhenti berjalan, merasakan sesuatu yang salah di bawah kaki mereka.

Carlton Centre, simbol kemegahan Johannesburg, mulai mengalami retakan pertama. Struktur beton dan baja yang kukuh mulai mengeluarkan suara berderak yang mengerikan. Lift-lift di dalam gedung berhenti beroperasi, dan lampu-lampu berkedip seperti mata yang sekarat.

Marcus van der Merwe merasakan lantai di bawah kakinya mulai miring. Ia melihat keluar jendela dan terkejut melihat tanah di sekitar gedung mulai bergerak seperti lautan yang berombak. "Apa yang terjadi?" teriaknya, tetapi tidak ada yang bisa menjawab karena semua orang di kantornya sama terkejutnya.

Kemudian, dengan suara yang seperti dunia yang terbelah, gedung-gedung pencakar langit mulai ambles. Bukan roboh ke samping seperti dalam gempa bumi biasa, tetapi tenggelam ke bawah, seolah-olah bumi membuka mulutnya dan menelan mereka dengan perlahan.

Carlton Centre, yang dulunya menjulang megah setinggi 223 meter, mulai turun ke dalam tanah dengan gerakan yang hampir anggun. Lantai demi lantai menghilang di bawah permukaan, meninggalkan hanya puncak gedung yang masih terlihat seperti kepala yang tenggelam di lautan lumpur.

---

**Sudut Pandang Sipho Ndlovu, Penambang emas**

Tiga kilometer di bawah permukaan, dalam kegelapan yang hanya diterangi oleh lampu-lampu keras yang menggantung di langit-langit terowongan, Sipho Ndlovu sedang mengoperasikan mesin bor raksasa. Ia telah menghabiskan dua puluh tahun hidupnya di kedalaman ini, menghirup udara yang dipenuhi debu mineral, bekerja dalam panas yang mencapai 40 derajat Celsius, dan menghadapi risiko kecelakaan setiap hari.

Sipho adalah seorang pria berusia empat puluh lima tahun dengan tubuh yang kurus namun berotot, kulitnya yang gelap telah terluka oleh debu tambang dan panas. Ia bekerja dua belas jam sehari, tujuh hari seminggu, untuk menghidupi istri dan tiga anaknya yang tinggal di township miskin di pinggiran kota. Upahnya hampir tidak cukup untuk makan, sementara emas yang ia gali setiap hari bernilai jutaan rand.

Pagi itu, sesuatu terasa berbeda. Mesin bor yang biasanya bergetar dengan ritme yang teratur kini bergetar dengan frekuensi yang aneh. Sipho merasakan getaran yang datang bukan dari mesin, tetapi dari dinding terowongan itu sendiri.

"Thabo," panggilnya kepada rekan kerjanya, "kau merasakan itu?"

Thabo Mthembu, seorang pria muda yang baru bekerja di tambang selama tiga tahun, mengangkat kepalanya dari kucuran air yang sedang ia minum. "Apa maksudmu?"

"Getaran ini. Bukan dari mesin. Dari... dari bawah."

Sebelum Thabo sempat menjawab, suara gemuruh yang mendalam terdengar dari kejauhan. Bukan suara ledakan dinamit yang sudah biasa mereka dengar, tetapi suara yang lebih dalam, lebih mengerikan—seperti suara monster raksasa yang terbangun dari tidur yang panjang.

Lampu-lampu di langit-langit terowongan mulai berkedip. Debu berjatuhan seperti hujan halus, dan kemudian, dengan tiba-tiba, dinding terowongan mulai retak. Retakan-retakan itu bukan retakan biasa—mereka melebar dengan kecepatan yang mengerikan, seolah-olah ada kekuatan yang sengaja merobek batu dari dalam.

"BAHAYA!" teriak mandor melalui sistem komunikasi. "SEMUA PEKERJA MENUJU LIFT DARURAT SEKARANG!"

Sipho dan Thabo mulai berlari, tetapi tanah di bawah kaki mereka mulai berubah. Yang dulunya adalah batu solid kini menjadi lumpur yang lengket dan berat. Sipho merasakan kakinya tenggelam, dan semakin ia berusaha menarik kakinya keluar, semakin dalam ia tenggelam.

"Thabo, tolong!" teriaknya, mengulurkan tangannya.

Thabo mencoba meraih tangan Sipho, tetapi ia juga mulai tenggelam. Lumpur mineral yang berkilauan karena partikel emas mencapai pinggang mereka, kemudian dada, dan terus naik.

"Aku tidak bisa bernapas," bisik Sipho, suaranya parau karena debu yang mengental di udara. "Ini... ini seperti bumi sedang menelan kita."

Di kejauhan, ia bisa mendengar teriakan-teriakan rekan-rekannya yang juga terperangkap. Suara-suara itu semakin lemah, kemudian menghilang sama sekali. Terowongan yang dulunya penuh dengan suara mesin dan teriakan pekerja kini hanya diisi dengan suara gemuruh yang mengerikan dan napas putus asa mereka yang masih hidup.

Sipho merasakan lumpur dingin mencapai lehernya. Ia memikirkan istri dan anak-anaknya, yang mungkin tidak akan pernah tahu apa yang terjadi padanya. Ia memikirkan ironi bahwa ia akan mati di tempat di mana ia telah menghabiskan seluruh hidupnya, di dalam perut bumi yang ia layani dengan darah dan keringatnya.

"Maafkan aku," bisiknya, tidak tahu kepada siapa ia berbicara—kepada keluarganya, kepada Tuhan, ataukah kepada bumi itu sendiri yang kini mengklaim kembali apa yang telah dicuri darinya.

Lampu di helmnya padam, dan kegelapan total menelannya. Suara terakhir yang ia dengar adalah gemuruh yang semakin keras, seolah-olah bumi sedang mencerna mangsa yang telah lama ia tunggu.

---

Di permukaan, Johannesburg telah berubah menjadi lanskap yang tidak dapat dikenali. Gedung-gedung pencakar langit telah tenggelam hingga hanya menyisakan puncak-puncak yang mencuat dari tanah seperti batu nisan raksasa. Jalanan telah terbelah menjadi jurang-jurang yang dalam, dan dari celah-celah itu naik asap belerang yang berbau busuk.

Raka melayang di ketinggian seribu meter, mengamati karyanya dengan kepuasan yang mendalam. Badai debu yang dipenuhi partikel emas naik ke langit, membentuk awan berkilauan yang mengerikan. Angin mengangkat debu-debu mineral ke udara, menciptakan hujan emas yang jatuh seperti air mata bumi.

"Lihatlah," bisik Eva, suaranya penuh dengan kekaguman yang gelap. "Mereka menguras emas dari perut bumi selama berabad-abad, dan sekarang bumi memuntahkan kembali emas itu bersama dengan darah para penindasnya."

"Ini bukan hanya balas dendam," bisik Raka, suaranya bergema dengan otoritas yang mengerikan. "Ini adalah keadilan yang tertunda. Sebuah peringatan bagi mereka yang tersisa bahwa eksploitasi memiliki konsekuensi."

Namun kehancuran belum selesai. Dari Johannesburg, gelombang seismik yang dimanipulasi menyebar ke seluruh Afrika Selatan, kemudian ke seluruh benua. Tambang-tambang di negara-negara lain mulai runtuh, gunung-gunung berapi yang telah tidur selama ribuan tahun mulai mengeluarkan asap, dan sungai-sungai mulai berubah warna karena mineral yang terbawa dari dalam tanah.

Gurun Kalahari mulai meluas dengan kecepatan yang mengerikan, menelan kota-kota kecil di jalurnya. Pasir bergerak seperti tsunami yang lambat namun tak terhentikan, mengubur segala yang dilaluinya. Sungai Limpopo mengering dalam hitungan jam, meninggalkan dasar sungai yang retak-retak seperti kulit yang terbakar.

Di Kairo, piramida-piramida kuno yang telah berdiri selama ribuan tahun mulai bergetar. Sungai Nil, yang telah menjadi sumber kehidupan selama berabad-abad, mulai surut dengan kecepatan yang mencurigakan. Penduduk kota berkumpul di tepi sungai, memandang dengan horror ketika air yang dulunya mengalir deras kini hanya menjadi genangan-genangan kecil yang berlumpur.

---

Dunia dalam Kebingungan dan Ketakutan

Berita kehancuran Afrika menyebar ke seluruh dunia dengan kesulitan yang luar biasa. Jaringan komunikasi yang tersisa hanya mampu menyampaikan fragmen-fragmen informasi yang tidak lengkap dan mengerikan. Citra satelit yang berhasil diterima menunjukkan seluruh benua Afrika diselimuti oleh awan debu raksasa yang bergerak dengan pola yang tidak alami.

Di Moskow, Jenderal Elena Petrova berdiri di ruang kendali yang gelap, hanya diterangi oleh layar-layar monitor yang menampilkan data-data yang membingungkan. "Ini tidak mungkin," bisiknya, menatap peta yang menunjukkan aktivitas seismik yang meluas di seluruh Afrika. "Gempa bumi tidak bergerak dengan pola seperti ini. Gunung berapi tidak meletus secara bersamaan di seluruh benua."

Seorang analis yang pucat berdiri di sampingnya. "Jenderal, kami juga menerima laporan bahwa gurun Sahara sedang meluas dengan kecepatan yang luar biasa. Satelit menunjukkan bahwa kota-kota di pinggiran gurun hilang dalam hitungan jam."

"Hilang bagaimana?"

"Tertimbun pasir, Jenderal. Seolah-olah gurun itu bergerak dengan kehendak sendiri."

Di Beijing, para pejabat pemerintah Tiongkok yang tersisa berkumpul dalam bunker bawah tanah, berusaha memahami skala kehancuran yang telah melanda dunia. Mereka memiliki koneksi satelit yang masih berfungsi, tetapi informasi yang mereka terima tidak masuk akal.

"Seluruh benua Afrika sedang mengalami bencana alam yang simultan," lapor seorang perwira militer. "Tambang-tambang runtuh, sungai-sungai mengering, dan gurun-gurun meluas. Ini bukan fenomena alam yang normal."

Ketua Komisi Militer menggelengkan kepala. "Setelah Indonesia, Prancis, amerika utara, Uni emirat, dan sekarang Afrika. Ini adalah pola. Seseorang atau sesuatu sedang menyerang peradaban kita secara sistematis."

Di São Paulo, Brasil, massa yang panik mulai berkumpul di jalanan. Mereka telah mendengar kabar tentang kehancuran yang meluas di seluruh dunia, dan kini mereka merasakan bahwa giliran mereka mungkin akan segera tiba. Toko-toko makanan dan apotek dijarah, dan pemerintah lokal tidak lagi mampu mempertahankan ketertiban.

"Kita harus melarikan diri," teriak seorang wanita yang menggendong bayinya. "Mereka akan datang ke sini juga!"

"Lari ke mana?" jawab seorang pria yang putus asa. "Seluruh dunia sedang dihancurkan!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!