Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAYANGAN DI BALIK NAMA
Siang di kos Maya terasa lebih sepi dari biasanya. Nayla sudah tertidur pulas di kamar setelah disuapi susu hangat, meninggalkan Maya dan Rani di ruang tengah yang mungil.
Maya sedang melipat baju di lantai, sementara Rani duduk di kursi plastik dekat jendela, menatap ponselnya.
Awalnya, Rani cuma iseng buka media sosial untuk mengusir bosan. Namun rasa penasarannya kembali muncul. Ia membuka mesin pencarian dan mengetik pelan:
Adrian Lesmana
Seperti membuka kotak Pandora, hasil pencarian langsung membanjir. Foto-foto Adrian di ruang sidang, wawancara singkat di acara berita, hingga potongan video ketika ia meninggalkan pengadilan bersama kliennya—selalu rapi, selalu dengan senyum tipis yang tak pernah sepenuhnya ramah.
Salah satu headline paling baru langsung menarik perhatiannya:
"Adrian Lesmana Menang Kasus Artis Besar, Lawan Bayar Denda Rp15 Miliar"
Rani mengetuk layar, membaca dengan saksama. Artikel itu menceritakan bagaimana Adrian membalikkan keadaan di persidangan hanya dengan satu bukti tak terduga, membuat pihak lawan jatuh dalam sekejap. Jurnalis memujinya sebagai “pengacara predator” yang tidak memberi ruang untuk belas kasihan.
Di bagian komentar publik, ada potongan wawancara dengan mantan kliennya yang membuat Rani menahan napas:
“Kalau mau menang, siapkan segalanya. Adrian tidak murah. Dan kalau uangmu kurang… ya, cari cara lain.”
Rani mendesah panjang, ingin menutup ponsel. Tapi matanya terpaku pada satu tautan berita lama di bagian bawah halaman, hampir tak terlihat. Judulnya biasa saja, tapi menggugah rasa ingin tahu:
“Nama Adrian Lesmana Terseret Skandal 5 Tahun Lalu, Siapa Sosok Perempuan Misterius Itu?”
Klik.
Layar berganti menampilkan foto buram seorang perempuan keluar dari hotel bersama seorang pria berjas—yang wajahnya, meski sedikit tertutup kamera, jelas milik Adrian. Artikel itu menyinggung rumor bahwa perempuan itu adalah istri salah satu klien lawan yang kalah telak di persidangan. Tak ada bukti, tapi gosipnya menyebar cepat, lalu tenggelam begitu saja, seperti ada yang sengaja menghapus jejaknya.
Rani mematung. Kalau ini benar… berarti gosip yang aku denger dulu bukan cuma omongan kosong.
Suara langkah membuatnya tersentak. Maya keluar dari kamar, rambut agak berantakan, membawa segelas air. “Ngapain bengong?” tanyanya sambil duduk di samping Rani.
Rani buru-buru mengunci ponselnya, mencoba menyembunyikan kegelisahan di wajahnya. “Nggak. Cuma baca berita nggak penting.”
Tapi Maya langsung menangkap nada suaranya. “Ran, kalau ada yang mau kamu bilang, bilang aja.”
Rani menghela napas. “Kamu beneran ketemu Adrian Lesmana?”
Maya terdiam sebentar, lalu mengangguk. “Ya. Kenapa?”
“Aku… nggak nyangka kamu nekat. Waktu aku sebut namanya dulu, aku cuma kasih contoh. Kamu tau sendiri, dia itu bukan pengacara yang bisa kamu dekati dengan cara biasa.”
“Aku nggak punya pilihan, Ran,” jawab Maya pelan. “Kalau mau Nayla tetap sama aku, aku harus cari orang paling kuat untuk lawan Reza.”
“Masalahnya, Adrian itu… dia nggak cuma main di ranah hukum. Ada alasan kenapa banyak orang takut sama dia. Dan…” Rani menatap Maya tajam, “…ada gosip yang nggak pernah keluar di TV, tapi cukup banyak orang di lingkaran hukum yang tahu.”
Maya menelan ludah. “Tentang apa?”
Rani ragu sejenak, lalu memutuskan, “Dia pernah ‘menggunakan’ kedekatan pribadi sama seseorang untuk menangin kasus. Dan orang itu… katanya istri lawan kliennya sendiri.”
Maya tercekat, tapi berusaha tidak menunjukkan reaksi berlebihan. “Itu cuma gosip.”
“Mungkin. Tapi gosip kayak gitu nggak akan muncul kalau nggak ada dasarnya,” ujar Rani serius. “May… kamu yakin nggak mau pikir ulang? Aku takut nanti bukan cuma kasus kamu yang dia pegang… tapi juga hidup kamu.”
Maya tak menjawab. Tapi di kepalanya, tatapan Adrian semalam—dingin, menghitung, dan entah kenapa terasa seperti sudah melihat menembus dirinya—muncul lagi, membuat dadanya terasa sesak.
kamu harus jujur maya sama adrian.