Valda yang saat itu masih SD, jatuh cinta kepada teman dari perumahan seberang yang bernama Dera. Valda, dibantu teman-temannya, menyatakan perasaan kepada Dera di depan rumah Dera. Pernyataan cinta Valda ditolak mentah-mentah, hubungan antara mereka berdua pun menjadi renggang dan canggung. Kisah pun berlanjut, mengantarkan pada episode lain hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achmad Aditya Avery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Ditolak
Tidak bisa melakukan apa pun. Sudahlah memang tidak berbakat dalam hal ini. Teman-teman menghampiriku, tidak lama setelah Dera pergi. Rasanya kesal, ketika gagal menyatakannya. Mungkinkah malam ini bisa tidur nyenyak? Rey datang memegang pundak ini.
“Tenang Val, serahkan saja pada kami. Kami yang akan memberi tahu Dera bahwa kamu menyukainya,” kata Rey tersenyum lebar.
“Seriusan? Yang benar aja?” tanyaku.
“Sudah ikuti saja alurnya,” balas Rey.
Keesokan harinya, Rey, Dillo, Reza serta aku pergi menghampiri rumah Dera. Rey menyuruh kami berhenti di belokan dekat rumah Dera. Dia menyuruh kami bersembunyi dan Rey akan berbicara dengan Dera untuk mengatakan bahwa aku menyukainya.
Jantung ini makin tidak keruan. Makin kacau ketika Rey sudah di depan rumah Dera, hanya beberapa meter dengan pintu rumahnya. Rey memanggil Dera berulang kali.
Tidak lama keluarlah manusia yang ditunggu-tunggu dari tadi. Dera keluar dari rumah dan menghampiri Rey. Mereka berbicara cukup lama. Tiba-tiba Dera langsung berlari masuk ke rumahnya sambil menundukkan kepala. Rey kembali ke arah kami. Dia terlihat kecewa, tapi tetap memberi sedikit senyum kepada kami.
“Val, sepertinya belum saatnya,” kata Rey dengan suara pelan.
“Maksudnya?”
“Iya, dia tidak ingin membicarakan itu sekarang. Sepertinya besok kita harus kembali lagi ke sini. Besok kamu yang akan maju langsung menyatakan perasaan di depan rumahnya!”
Kaget, tapi enggak terlalu begitu mendengar pernyataan Rey. Mencoba menghela napas, menenangkan diri, ujungnya memang harus maju sendirian.
Apa Dera tidak menyukaiku? Suka atau tidak itu urusan dia sebenarnya. Rey bilang besok harus kembali ke sini untuk menyatakan perasaan. Harus mempersiapkan diri.
Ketika di rumah, aku mulai berperang dengan cermin. Sesempurna mungkin harus menjaga penampilan untuk besok. Berlatih mengungkapkan perasaan di hadapan cermin. Memegang bunga liar dan mencoba berlatih memberikannya. Ya, seperti memang kewarasan ini patut dipertanyakan, aku bicara sendiri.
Malam ini harus tidur dengan selimut perasaan resah dan tegang. Mata ini tidak bisa sepenuhnya tertutup. Rasanya ingin merengek, guling-gulingan, aku ingin tidur sekarang juga. Besok harus bangun pagi. Ingin sekali agar semua ini cepat selesai. Harus segera menyatakan semuanya.
Keesokan harinya, aku bergegas menuju rumah Dera. Sekarang sudah jam 8 pagi, setelah selesai mandi, masih sempat saja mencari bunga liar yang ada di rerumputan untuk diberikan kepada Dera nanti.
Saat di perjalanan, aku langsung bertemu Rey, Dillo, dan Reza yang bermaksud untuk mengantar sekaligus menenangkan pikiran yang sedang tidak fokus karena perasaan bodoh ini. Tidak lama, kami sampai di depan rumah Dera. Rey memanggil Dera. Aku pun bersiap di samping Rey dengan bunga yang disembunyikan di belakang.
Dera pun keluar dari rumah, seperti biasa penampilannya sama seperti saat bermain. Dia kembali mengenakan baju oblong dan rok panjang. Itu sudah jadi ciri khasnya.
Awalnya dia tersenyum saat melihat kami. Baiklah, sekarang aku mulai gugup. Aku beranikan diri mengatakannya.
“Ra, a … aku sebenarnya su … suka sama kamu,” kataku.
“Oh begitukah?” jawab Dera.
“I … iya.”
“Tapi, aku tidak suka sama kamu,” jawabnya. “Untuk apa kamu suka denganku? Sudah cukup ‘kan jadi teman?” lanjutnya.
Terdiam sudah dan rasanya ingin segera meninggalkan tempat ini. Meninggalkan dunia ini kalau bisa. Pergi ke planet lain yang dipenuhi alien.
Rey, Dillo, dan Reza diam di belakangku. Apa mungkin mereka putus asa? Rasanya tidak enak dengan mereka yang susah payah membantu sampai di sini.
Langsung saja kuberikan bunga yang disembunyikan dari tadi kepada Dera. Tidak disangka, sakit sekali rasanya. Bunga itu dilempar ke aspal dan diinjak olehnya.
Setelah itu, Dera, tanpa mengeluarkan kata apa pun, langsung masuk ke rumah. Pertama kali, sakit ini yang pertama kalinya. Ini berbeda, ini bukan seperti saat salah urat, kejedot tembok, atau kena jabret bola. Namun, bisa apa? Tujuanku adalah menyatakan perasaan, bukan memaksa dia menerimanya.
Keesokan harinya, Dera tidak datang bermain di lapangan. Menurut kabar, dia tidak ingin bertemu denganku. Begitu mengerikan, menyatakan perasaan yang tidak seharusnya ada, pada manusia yang seharusnya jadi temanku. Tidak mau kehilangan dia, tidak bisa. Sepertinya Dera terlampau kecewa.
Sudah lebih dari seminggu Dera tidak pernah tampak bermain dengan kami. Teman-teman menanyakan keadaannya dan setelah mendengar aku menyatakan perasaan padanya, mereka menyalahkanku. Baiklah, iya deh, salah. Rasanya kapok menyatakan perasaan kepada teman baik.
Saat ini hanya aku dan Rey. Dillo dan Reza kembali sibuk dengan urusan mereka karena liburan sudah berakhir. Aku dan Rey menatap lapangan tempat biasa kami bermain, bergeming di tempat selama hampir setengah jam.
Tidak ada yang menghiasi lapangan ini lagi. Salah, sungguh salah, seharusnya tidak begini. Terus merenung dan merasakan penyesalan teramat dalam.
Seharusnya biarkan saja Dera tetap menjadi temanku. Biar saja perasaan ini terpendam bahkan sampai mati pun, biarlah. Itu lebih baik daripada harus kehilangan dia.
“Val, sepertinya kita harus minta maaf sama Dera sekarang juga,” kata Rey.
“Apa mungkin?”
“Kenapa tidak? Kita sudah lancang kepadanya, ‘kan?”
“Maksudku, apa mungkin dia mau memaafkan kita?” tanyaku.
“Bodoh! Mana ada maaf yang dengan mudah langsung diterima!” kata Rey dengan tegasnya.
Aku mengangguk, setuju dengan usulan Rey untuk minta maaf kepada Dera. Kami segera memacu sepeda menuju rumah Dera. Setibanya di sana, ternyata Dera tidak ada. Kata bibinya, dia pergi entah ke mana.
Heran, seolah wajah bibinya seperti menyembunyikan sesuatu atau hanya perasaanku saja?
Kami memutuskan untuk menunggu Dera di depan rumahnya walaupun berulang kali bibinya Dera menyarankan kami untuk pulang dengan alasan Dera akan pulang malam tapi itu tidak memudarkan niat kami untuk minta maaf.
Malam pun tiba, tepat jam 7, masih di sini menunggu, tepat di depan rumah Dera. Nyamuk pun sudah menyantap darah kami dari tadi, tapi belum juga ada perkembangan yang berarti.
Tiba-tiba sebuah mobil parkir di depan rumahnya. Keluarlah dari mobil itu, seorang pria memakai kemeja putih berlengan panjang, celana panjang, seakan-akan seperti seorang bos yang dengan lembutnya bertanya kepada kami.
“Kalian temannya Dera ya? Kenapa main di luar? Deranya mana?” tanya pria itu sambil tersenyum.
“Iya kami temannya Dera. Om siapa ya?” tanya Rey.
“Om, ayahnya Dera. Oh ya, pertanyaan tadi belum dijawab, kenapa kalian di luar?”
“Tadi bibinya Dera bilang Deranya sedang pergi. Jadi, kami memutuskan untuk menunggunya, Om,” jawabku.
“Oh, memang ada perlu apa kalian dengan Dera? Apa tidak dicari orang tua kalian di rumah karena sekarang ‘kan sudah malam?”
“Kami mau minta maaf sama Dera, Om, karena kami mungkin telah melukai perasaannya,” kata Rey.
“Apa benar Deranya tidak a ….”
Tiba-tiba Dera keluar dari rumahnya, dengan ekspresi wajah yang sangat kesal. Dia menyuruh ayahnya masuk ke rumah. Tanpa berkata apa pun, Dera kembali masuk ke rumahnya.
Kami bingung tidak menentu. Tadi bibinya bilang Dera pergi. Jika Dera pergi kenapa tadi dia keluar dari rumah? Sudah kuduga dari raut wajah bibinya yang seperti menyimpan rahasia.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...