Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15
Lintang makin hari makin terpikat. Hatinya berdebar tiap kali melihat Ganendra, meski ia tahu dirinya lebih tua beberapa tahun. Ia jatuh hati, dan tak bisa menyangkal. Pria itu berbeda. Bukan sekadar sopir pribadi, tapi seseorang yang penuh wibawa dan tenang, kini menjadi tangan kanan Tuan Besar Rais Danuarta di RD Grup.
Selama tujuh hari terakhir, Lintang tak lagi sembunyi. Perhatiannya jelas, seringkali membuat orang lain saling pandang heran. Di rumah, ia mencari-cari alasan untuk ngobrol. Di kantor, ia suka menyodorkan minuman atau sekadar senyum manis di lorong perusahaan. Ganendra yang dulu hanya diam dan menunduk, kini makin sering merasa serba salah.
“Mas Ganen udah makan belum?” tanya Lintang sambil menyodorkan bekal dari rumah.
Ganendra menoleh sebentar, lalu menatap lantai. “Terima kasih, Mbak. Saya udah makan di pos security tadi,” ujarnya pelan.
Lintang tertawa kecil. “Ya ampun, masak makan di sana terus sih. Nanti bosan, loh.”
Ganendra hanya tersenyum seadanya. Jarak yang coba ia pasang makin terasa rapuh. Tapi ia tahu diri. Ia bukan siapa-siapa. Hanya seseorang yang sedang belajar sembuh dari luka lama.
Setiap malam, ia duduk di pos jaga belakang rumah besar itu. Menatap langit gelap sambil mengingat seseorang yang dulu pernah ia cinta habis-habisan. Rania. Perempuan yang pergi dan memilih pria lain hanya sebulan setelah janji-janji mereka diingkari oleh waktu.
“Bukan aku nggak bisa ngebales perhatian Lintang,” gumam Ganendra dalam hati. “Tapi luka ini belum kering. Rasanya nggak adil kalau aku tarik dia ke masa lalu yang masih berdarah.”
Lintang sendiri tak peduli pandangan orang. Baginya, cinta itu soal rasa. Tapi diam-diam, Ganendra justru makin menjauh. Ia sopan, tetap ramah, tapi hatinya dingin seperti pagi di kaki gunung.
Suatu hari, ketika mobil perusahaan baru saja masuk garasi, Lintang mendekat dengan langkah pelan. Ia berdiri di dekat pintu sopir, menatap Ganendra tanpa suara.
“Aku nggak nyari yang sempurna, Mas,” katanya lirih. “Aku cuma pengin dekat sama orang yang bisa bikin aku tenang.”
Ganendra menelan ludah. Ia menunduk. Suaranya nyaris tenggelam ketika berkata, “Jangan dekatin saya, Mbak. Bukan karena nggak mau. Tapi saya belum selesai beresin hati saya sendiri.”
Satu minggu sudah berlalu sejak Lintang Alesha Maulida memberanikan diri menyatakan isi hatinya. Bukan kepada sembarang orang, tapi kepada Ganendra Al Ghazali, pemuda dua puluh dua tahun yang selama ini jadi supir pribadi kakeknya, Tuan Rais Danuarta, pemilik perusahaan besar PT. RD.
Penolakan halus dari Ganendra waktu itu tak membuat Lintang menyerah. Padahal jelas-jelas Ganendra bilang kalau dia tidak punya rasa, tidak tertarik, dan tidak pernah bayangkan Lintang sebagai seseorang yang lebih dari sekadar cucu majikan.
Tapi Lintang tetap saja datang dengan gaya manjanya yang khas, dengan caranya sendiri yang kadang bikin Ganendra keheranan. Seperti pagi ini, dia tiba-tiba muncul di garasi, pakai baju santai tapi wajah sudah dipoles tipis.
“Mas, antar ke salon yuk,” katanya sambil memainkan ujung rambutnya.
Ganendra yang baru saja selesai membersihkan kaca mobil cuma menoleh sebentar.
“Hari libur, Mbak. Saya pikir nggak ke mana-mana hari ini,” sahutnya pelan.
Lintang tersenyum, malah makin mendekat.
“Ya justru karena libur, waktunya manjain diri. Masa iya cowok seganteng Mas Ganendra nggak pengin lihat aku tampil lebih glowing?” gombalnya sambil berkedip sebelah.
Ganendra cuma geleng kepala. “Mbak Lintang ini... nggak ada habisnya ngegombal.”
“Tapi aku serius loh. Gombalan receh itu cuma pembuka aja, Mas. Nanti lama-lama bisa bikin jatuh hati juga,” ujar Lintang sambil tertawa kecil.
“Kalau jatuhnya ke jurang, gimana?” timpal Ganendra, kali ini ikut tersenyum tipis, meski jelas sorot matanya masih datar.
Lintang tetap tak menyerah. Ia duduk di jok belakang, mengetuk-ngetukkan jarinya ke jok depan.
“Aku tuh tahu, Mas. Nggak gampang buat suka sama aku. Apalagi aku lebih tua, kamu juga pasti canggung. Tapi aku nggak nyari cinta yang gampang, Mas. Aku cuma pengin kamu tahu... aku serius.”
Ganendra menarik napas panjang. Ia tahu, Lintang bukan perempuan biasa. Tapi justru karena itu, ia takut melangkah. Takut membuat Lintang kecewa, takut melukai diri sendiri.
“Mbak Lintang... saya bukan orang yang cocok buat kamu. Saya cuma... ya begini.”
Lintang mengangguk, tetap tersenyum.
“Justru karena Mas Ganendra itu ‘begini’... aku jadi penasaran. Aku nggak butuh kamu berubah. Aku cuma minta satu hal... jangan pergi. Temenin aku hari ini, itu aja,” ucapnya dengan nada pelan, nyaris seperti bisikan.
Sesaat, suasana jadi hening. Hanya suara burung dari halaman depan dan denting jam tua dari ruang tamu yang terdengar.
Ganendra akhirnya membuka pintu mobil.
“Kalau begitu, ayo kita berangkat. Tapi salon aja, jangan minta mampir ke butik segala,” katanya setengah bercanda.
Lintang tersenyum lebar, hatinya terasa hangat meski jawabannya masih menggantung. Tapi hari ini, ia bahagia. Setidaknya, Ganendra belum benar-benar menutup pintu.
Di sepanjang perjalanan menuju salon, suasana di dalam mobil agak canggung. Lintang masih mencoba mencairkan suasana dengan celotehan kecil, tapi Ganendra tetap fokus pada jalanan.
Baru saja Lintang hendak memutar lagu dari ponselnya, tiba-tiba notifikasi masuk.
Sebuah pesan dari kakaknya — Livia Mareeta Zakira.
> "Dek, aku udah mendarat. Jemput aku dong. Kakek masih di Malaysia katanya baru balik besok sore. Aku tunggu di lobi bandara ya."
Lintang spontan menegakkan duduknya. Wajahnya berubah panik.
“Mas! Belok arah, kita ke bandara sekarang. Kakakku udah mendarat,” serunya cepat.
Ganendra mengernyit. “Lho, Mbak Livia pulang hari ini? Bukannya minggu depan?”
Lintang mengangguk cepat sambil memegang tasnya erat.
“Harusnya memang minggu depan, tapi dia percepat. Kakek masih di Malaysia urus bisnis. Nggak ada yang jemput, Mas. Dia pasti bete kalau nunggu kelamaan.”
Tanpa banyak tanya, Ganendra langsung membelokkan mobil ke arah jalan tol.
Di dalam mobil, Lintang terlihat gelisah. Sesekali menatap jam, lalu mengetik balasan singkat ke kakaknya.
“Aku tuh nggak enak sama Kak Livia, Mas. Dia tuh tipe yang disiplin banget, kalo udah nunggu biasanya ngambek,” gumamnya.
Ganendra melirik sebentar dari kaca spion.
“Tenang aja, Mbak. Saya gas sedikit. Insyaallah nggak lama nyampe,” katanya tenang.
Lintang hanya mengangguk kecil. Pandangannya menerawang ke luar jendela. Dalam hati, ada sedikit rasa takut. Kakaknya itu bukan orang sembarangan. Selain berkarier di luar negeri, Livia juga terkenal tajam menilai orang.
Apalagi Livia belum tahu apa-apa soal kedekatannya dengan Ganendra.
“Mas...” lirihnya kemudian.
“Iya?” sahut Ganendra, masih fokus menyetir.
“Nanti kalo Kak Livia nanya bilang aja kita cuma barengan ke salon, ya? Belum sempat aku cerita banyak ke dia,” ucap Lintang pelan.
Ganendra hanya mengangguk singkat. “Saya ngerti.”
Lintang memejamkan mata sejenak. Ada degup yang tak bisa dikendalikannya. Bukan hanya karena akan bertemu kakaknya. Tapi juga karena ia belum siap menjelaskan, belum tahu harus menyebut Ganendra sebagai siapa.
Bandara sore itu agak padat. Suasana riuh dari roda koper, suara pengumuman keberangkatan, dan tawa kecil para penjemput berpadu jadi satu. Tapi di tengah hiruk pikuk itu, seorang perempuan berpenampilan tegas dengan blazer krem dan high heels hitam tampak berdiri sendiri sambil menatap sekeliling. Wajahnya menahan jengkel, tapi tetap anggun.
Itu Livia Mareeta Zakira, baru kembali dari Belanda setelah dua bulan urusan bisnis. Rambutnya dibiarkan tergerai, riasan tipis mempertegas sorot mata tajamnya.
Ponsel di tangannya terus berkedip. Tapi ia tidak membukanya. Yang ia tunggu bukan sekadar jemputan tapi kepastian bahwa dirinya tidak dilupakan.
Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan pintu keluar. Dari balik kemudi, Ganendra turun lebih dulu dan membuka pintu belakang.
Lintang keluar terburu-buru.
“Kak! Maaf ya, tadi kita udah di jalan ke salon, terus aku baru baca chat kakak,” ujarnya cepat sambil mengejar langkah Livia yang mulai mendekat.
Livia tidak langsung menjawab. Matanya malah menatap tajam ke arah pria yang berdiri di samping mobil.
Matanya menyipit. Ada sesuatu yang aneh wajah dan sorot mata itu.
Dan dalam sekejap, dadanya seperti dihantam kenyataan.
Itu dia, Pria yang dua bulan lalu ditabraknya di jalan raya yang tak jauh dari alamat rumahnya Ganendra di Jakarta.
Pria yang wajahnya terngiang-ngiang diam-diam saat malam-malamnya sendiri di Belanda.
Pria yang entah kenapa menolak menerima ganti rugi dan hanya berkata, “Sudah, saya nggak kenapa-kenapa.” lalu pergi begitu saja.
Dan sekarang ternyata dia supir pribadi kakeknya. Livia menarik napas pelan. Tangannya mengepal di sisi tubuh.
“Mas... kamu...” katanya pelan.
Ganendra menunduk sedikit, sopan seperti biasa. “Selamat sore, Mbak. Saya Ganendra. Supir Tuan Rais.”
Lintang heran melihat ekspresi kakaknya yang berubah kaku.
“Kalian kenal?” tanyanya curiga.
Livia cepat-cepat menguasai diri. Ia mengangguk kecil, senyum setipis mungkin muncul di wajahnya.
“Pernah ketemu. Nggak penting kok,” jawabnya cepat sambil membenahi scarf di leher.
Tapi matanya masih memandangi Ganendra. Ada emosi yang ia tahan. Antara malu, kaget, dan sesuatu yang entah sudah lama terkubur tapi kini muncul tanpa permisi.
Ganendra pun tampak canggung. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa. Dua bulan lalu, perempuan itu tak sengaja menabraknya. Dan ia memilih diam, tak ingin memperpanjang urusan.
Tapi sekarang dunia ternyata sempit sekali.
Lintang menyadari ketegangan aneh di antara mereka.
“Eh... kalau gitu kita langsung pulang aja yuk, Kak. Kamu pasti capek kan?” ajaknya, mencoba memecah suasana.
Livia hanya mengangguk. Tapi hatinya masih penuh tanya.
Di dalam mobil, ia duduk diam di kursi belakang, tepat di belakang Ganendra.
Dan untuk pertama kalinya sejak dua bulan lalu, suara hatinya kembali berbisik,
"Kenapa harus dia?"
"Kenapa sekarang?"