perjuangan seorang pemuda untuk menjadi lebih kuat demi meneruskan wasiat seorang pendekar terdahulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kelana syair( BE), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
melanjutkan perjalanan.
Pagi itu, Darsiman, ayah Sari Ningrum, terlihat sudah sembuh dan wajahnya tampak segar kembali. Setelah berbulan-bulan sakit, ia merasa sangat gembira akhirnya bisa pulih. Di ruang tamu, Darsiman mengucapkan banyak terima kasih kepada Barata atas pertolongannya.
"Barata, aku tidak tahu harus bagaimana berterima kasih atas pertolonganmu," ucap Darsiman yang duduk di samping putrinya, Ningrum.
Barata tersenyum dan berkata, "Soal itu tidak perlu Tuan pikirkan. Aku hanya ingin tahu, bagaimana awal mulanya benda itu bisa masuk ke dalam tubuh Tuan?" Barata meminta penjelasan.
Darsiman menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Barata. Dari raut wajahnya, tersirat penyesalan yang begitu dalam.
"Aku telah melanggar pesan ayahku, Barata. Aku telah membuka kotak peninggalannya yang ia titipkan padaku beberapa tahun silam," kata Darsiman.
Mendengar perkataan Darsiman, Barata dan Ningrum saling pandang.
"Memangnya mengapa ayah Tuan melarang untuk membuka kotak itu dan apa alasannya?" tanya Barata ingin tahu lebih jauh.
"Ayahku berpesan bahwa suatu saat benda itu akan bertemu dengan pemiliknya. Ia juga melarangku untuk tidak berani membukanya jika tidak ingin terjadi sesuatu pada diriku. Namun, rasa penasaran itu terus menghantui pikiranku.
Hingga pada suatu ketika, aku tidak dapat menahan rasa penasaranku lagi. Akhirnya, aku pun membuka kotak itu dan terjadilah seperti yang aku alami kemarin. Dan sekarang aku tak tahu di mana benda itu, aku sungguh berdosa telah menghianati amanat ayah," ujar Darsiman penuh penyesalan karena mengabaikan pesan ayahnya.
"Tuan tidak perlu khawatir tentang hilangnya Mustika Langit Putih itu, karena saat ini benda tersebut sudah menemukan pemiliknya," ucap Barata.
Darsiman mengangkat kepalanya. "Benarkah begitu, Barata? Siapa pemilik Mustika Langit Putih itu?" tanyanya dengan rasa tidak sabar.
"Tuan lihat anak kecil yang sedang bermain dengan Sarpo dan Dagang di sana? Anak itulah pemiliknya," kata Barata menunjuk ke arah Andini yang ada di luar.
Darsiman terkejut, ia tidak menyangka kalau anak sekecil Andini adalah pemilik Mustika Langit Putih yang selama ini merasukinya. Ia merasa anak itu bukan anak sembarangan.
"Aku beruntung bisa melihat pemilik Mustika Langit Putih itu, Barata," ucap Darsiman dengan lega.
"Oh iya, Tuan dan Ningrum, sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di sini karena aku dan Andini harus segera melanjutkan perjalanan yang tertunda ini," ucap Barata.
Mendengar Barata akan segera pergi, Ningrum tampak tidak senang. Raut wajahnya langsung berubah muram. Bagi gadis berbadan padat dan hidung mancung itu, seakan tidak rela Barata pergi.
"Barata, apa kau tidak bisa tinggal di sini dua atau tiga hari lagi? Jujur saja, aku ingin tahu banyak tentang dirimu," kata Darsiman yang melihat wajah putrinya tampak bersedih.
"Tidak bisa, Tuan. Aku harus segera melanjutkan perjalananku," ucap tegas Barata.
Mendengar Barata tidak bisa lagi ditahan, Sari Ningrum kemudian berkata, "Barata, jika kau tidak keberatan, sebelum kau pergi, aku ingin kau jadikan aku muridmu. Aku ingin menjadi kuat seperti kau dan Andini supaya aku bisa menjaga diriku sendiri dan orang-orang di desa ini," ucap Ningrum tiba-tiba.
Barata pun terkejut mendengar permintaan Ningrum itu. "Maaf, Ningrum, terus terang saja aku tidak bisa. Kemampuanku saat ini juga masih dangkal. Namun, aku bisa memanggil seseorang ke sini untuk membantumu berlatih, bagaimana?" ucap Barata memberikan tawaran.
Mendengar ide baik dari Barata, Darsiman pun langsung mendukung ide Barata itu. "Aku rasa saran Barata tidak buruk,Ningrum. Aku yakin orang yang Barata panggil pasti seorang pendekar sakti mandraguna," kata ayahnya.
Dengan perasaan sedikit kecewa, akhirnya Ningrum pun mau tidak mau menerima tawaran itu.
"Baiklah, aku tidak keberatan, aku mau, Barata. Siapakah orang itu?" tanya Ningrum.
"Sebentar," ucap Barata. Ia kemudian berkonsentrasi, mulutnya komat-kamit dan menghentakkan kakinya ke lantai.
Tidak lama kemudian, bau wangi bunga kantil pun tercium di ruangan itu. Ningrum yang sudah mengenal betul wangi bunga kantil itu sangat terkejut, teringat dengan kejadian yang kemarin.
"Barata, bukankah ini..."
Belum sempat selesai Ningrum bertanya, mendadak muncul sosok Dewi Maut Penyebar Kematian di depan pintu. Darsiman yang juga mengenali sosok itu pun tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Dewi Maut Penyebar Kematian," desisnya dengan mata terbelalak.
Barata yang melihat ketegangan di wajah Ningrum dan Darsiman segera menenangkan mereka berdua.
"Kalian berdua tidak perlu takut. Dia sekarang tidak berniat jahat di sini karena aku yang telah memanggilnya," jelas Barata.
"Jadi dia datang ke sini atas panggilanmu, Barata?" tanya Darsiman setengah tak percaya.
Barata pun mengangguk. "Begitulah, jadi kalian tenang saja, tidak perlu takut," ucap Barata. Ningrum dan Darsiman pun akhirnya bisa menenangkan diri mereka setelah mendengar penjelasan dari Barata.
"Ada perintah apa, Tuan?" tanya Dewi Maut Penyebar Kematian.
"Masuklah, Dewi. Aku perlu bicara padamu," ucap Barata.
Wanita bermuka pucat itu lalu melangkah masuk ke dalam rumah dan berhenti di depan Barata.
"Ada perintah apa, Tuan?" tanyanya lagi.
"Begini, Dewi. Aku meminta padamu untuk sementara tinggallah kau di sini menjadi guru Sari Ningrum. Aku minta kau jadikan dia seorang pendekar yang tangguh dan kuat seperti dirimu, supaya dia bisa melindungi desa ini. Bagaimana, Dewi, apakah kau tidak keberatan?" tanya Barata.
"Tidak, Tuan. Namun, pelajaranku tidak mudah dan penuh dengan penderitaan. Jika Sari Ningrum mampu bertahan dari semua ujian yang aku berikan, dengan senang hati aku akan melatihnya. Dalam waktu dua sampai tiga tahun, aku jamin dia akan menjadi pendekar pilih tanding yang akan diperhitungkan," ucap Dewi muka pucat dengan bersungguh-sungguh.
Barata mengangguk pelan mendengar penjelasan Dewi muka pucat. Ia lalu menoleh kepada Sari Ningrum. "Bagaimana, Sari Ningrum? Apakah kau nanti mampu dengan segala ujian yang akan kau jalani?" tanya Barata.
Sari Ningrum menatap Barata dan Dewi muka pucat secara bergantian. Dalam hatinya, ia masih ragu pada wanita yang berjuluk Dewi Maut Penyebar Kematian itu. Ia khawatir wanita itu mengambil tubuhnya.
"Apakah dia bisa... diper..."
Dewi muka pucat yang melihat keraguan di wajah Sari Ningrum langsung memotong perkataannya.
"Aku tahu kekhawatiranmu, Sari Ningrum. Kau pasti takut kalau aku akan mengambil tubuhmu, bukan?" ucap Dewi muka pucat.
"Iya, aku takut kau melakukan hal itu lagi padaku," jawab Sari Ningrum.
"Kak Ningrum, jangan khawatir. Dia akan berurusan dengan ku jika nanti macam-macam padamu," ucap Andini yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah.
Melihat kehadiran Andini, Dewi muka pucat tidak berani bertindak lancang, sebab ia tahu anak kecil itu selain berilmu tinggi, mulutnya juga sangat tajam. Untuk menghindari hal-hal yang bisa membuat dirinya malu di hadapan Barata, ia pun memilih diam, seolah-olah tidak tahu kehadirannya.
"Benar, Sari Ningrum. Untuk saat ini, Dewi muka pucat tidak akan berani macam-macam lagi. Jika nanti kau kenapa-kenapa, aku akan memberikan dia hukuman berat," tegas Barata meyakinkan.
"Sudahlah, Sari Ningrum, buang semua prasangka dan kekhawatiranmu. Jika Barata sudah berkata seperti itu, aku yakin Dewi Maut Penyebar Kematian tidak akan berani macam-macam lagi," tambah ayahnya.
"Baiklah, aku percaya padamu, Dewi," ucap Ningrum.
"Kalau begitu, sekarang kau beri hormat kepada dia sebagai gurumu, dengan begitu kau akan resmi menjadi muridnya," ucap Barata.
Sari Ningrum mengangguk kemudian memberikan hormat kepada wanita muka pucat di depannya.
"Hormat saya, Guru," ucap Sari Ningrum.
Dewi muka pucat pun mengangguk. "Mulai saat ini kau resmi menjadi muridku, Sari Ningrum. Jika sesuatu terjadi padamu, itu adalah tanggung jawabku," ucap Dewi muka pucat.
"Selamat, Ningrum. Kau sudah diterima menjadi murid Dewi muka pucat," ucap Barata.
"Oh iya, Dewi muka pucat, sebagai balasannya karena kau telah menerima Sari Ningrum menjadi muridmu, aku akan membantu kamu untuk mencari tubuh yang tepat nanti," tambah Barata.
"Terima kasih, Tuan. Akan aku didik dia dengan baik nanti, supaya tidak memalukan aku di hadapan Tuan nanti," jawab Dewi muka pucat dengan mata berbinar mendengar Barata akan membantu mencari tubuh baru untuknya.
"Baguslah kalau begitu. Berhubung tidak ada lagi yang perlu dibahas, aku dan Andini akan segera pamit untuk melanjutkan perjalanan," ucap Barata.
"Jadi kau serius ingin pergi sekarang, Barata?" tanya Ningrum dan ayahnya hampir bersamaan.
Barata mengangguk. "Tentu saja, Tuan Darsiman. Aku pamit," ucap Barata.
"Baiklah, sebagai ucapan terima kasihku, terimalah ini untuk bekal kau dan Andini," ucap Darsiman sambil memberikan sekantong uang kepada Barata.
"Tidak perlu, Tuan. Bekal aku dan Andini masih cukup untuk kebutuhan kami," ucap Barata.
Tapi tiba-tiba weeees... sebuah gerakan halus menyambar kantong berisi uang itu.
"Kalau tuan tidak mau terima, buat aku saja, Tuan Darsiman," ucap Andini, sambil menggoyang-goyangkan kantong uang itu.
Barata menggelengkan kepalanya, sedangkan Darsiman dan Ningrum tertawa melihat tingkah gadis kecil itu.
"Dewi muka pucat, baik-baiklah di sini nanti. Aku akan memanggilmu jika sudah dapat tubuh yang cocok untukmu. Andini, ayo kita pergi," ucap Barata.
Semua orang yang ada di dalam ruangan tersebut mengantar Barata sampai di depan pintu. Tidak lama kemudian, Singa Api pun muncul membawa Andini dan Barata meninggalkan Desa Rejosari menuju ke arah selatan.Sari Ningrum hanya bisa melambaikan tangannya dan berharap suatu saat dapat bertemu dengan mereka lagi.