Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15.Vidio Malam Terlarang
Hujan pertama November merayap di atap rumah Menteng, dentingnya seperti jarum yang menusuk pelan kesunyian kamar utama. Lampu gantung berpendar kuning lembut, memantulkan bayang panjang di lantai marmer. Aku—Aurora Putri Dirgantara—duduk di depan meja rias, memeluk lutut, memandang pantulan wajah yang belum jua ku kenali sepenuhnya.
Pintu diketuk dua kali.
“Boleh aku masuk?” Suara Tristan—dalam, terukur.
Aku tak menjawab. Ia membuka pintu perlahan. Di tangannya, buket hydrangea biru pucat. Ditaruhnya di sudut meja, seakan bunga itu bagian dari percakapan yang belum diucap.
“Ini mengubah warna tergantung tanah,” katanya singkat. “Seperti rasa.”
“Aku tidak yakin tanah di sini subur,” balasku lirih.
Tristan tersenyum kecil, lalu menyalakan proyektor portabel di rak buku. Layar putih bergulir turun, memantul cahaya hening. Jariku meremas sandaran kursi. Aku tahu apa yang akan terjadi sebelum gambar muncul.
“Hentikan,” kataku, nyaris panik.
“Dengar dulu,” bisiknya. Video hitam‑putih muncul: kamar hotel, gaun merah malam itu, wajahku tegang di sudut ranjang. Aku tercekat. Tanganku terulur—hendak mematikan proyektor—namun Tristan lebih cepat memegang remote.
“Kenapa?” suaraku pecah. “Kenapa harus kulihat ini?”
“Aurora, lihat padaku sebentar.”
Aku menoleh. Mata obsidian itu basah, bukan oleh air mata, tapi oleh ingatan terlalu penuh.
“Aku menyimpan rekaman ini,” ia menghela napas, “bukan sebagai trofi, bukan alat memeras. Aku takut melupakannya. Malam itu… kau paling nyata.”
“Nyata? Aku ketakutan! Aku menyerah karena tak punya pilihan.”
“Justru karena itu.” Tristan menurunkan volume video, membiarkan gambar bergerak tanpa suara. “Kau ketakutan, tapi tak menjerit. Kau rapuh, tapi tak pecah. Aku melihat keberanian dalam cara kau menahan air mata.”
Aku mengusap wajah yang memanas. Di layar, versi lamaku menunduk, tangan mengepal di seprai. Aku ingin memalingkan mata, tetapi tak mampu.
“Setiap detik rekaman ini,” lanjut Tristan, “adalah pengingat: kalau aku tergoda menyakitimu lagi, aku memutar ulang dan ingat wajahmu—dan rasa jijik pada diriku sendiri.”
Lidahku kelu. “Mengapa tidak kau hapus saja kalau begitu?”
“Karena aku belum diampuni.” Ia menunduk. “Dan manusia cenderung menjaga dosa yang belum ditebus.”
Aku gemetar. “Kau bilang ini cinta. Tapi yang kulihat hanya kontrol.”
Tristan tak menyangkal. “Obsesi, kalau kau mau. Tapi obsesi ini belajar. Aku tak lagi menuntut tubuhmu. Aku menunggu hatimu bergerak satu milimeter saja.”
Video berganti adegan—aku menangis diam‑diam, air mata jatuh ke gaun merah. Aku terisak sungguhan, menutup mulut.
“Matikan,” bisikku.
Tristan mematikan. Layar gelap. Ruangan senyap kecuali hujan di kaca.
“Kau membenciku lebih lagi?” tanyanya lembut.
Aku menarik napas panjang, mendekat dua langkah. “Yang kutakuti… aku berhenti membenci.”
Ia terdiam. Dalam keheningan itu, aku menatap buket hydrangea. “Kenapa biru?”
“Biru melambangkan penyesalan,” jawab Tristan. “Tapi kalau tanahnya berubah asam, bunganya merah muda—tanda permintaan maaf diterima.”
Aku menyentuh kelopak tipis itu. “Tanah tak berubah dalam semalam, Tristan.”
“Karena itu aku menunggu.” Ia mengulurkan remote. “Peganglah. Kalau suatu hari kau mau menghapus video itu, lakukan sendiri. Aku tak akan menghentikan.”
Aku ragu, lalu mengambilnya. Plastik kecil terasa berat seperti kunci penjara.
“Jika aku hapus, apa kau tetap mencintaiku?”
“Tanpa video pun, perasaan itu tak padam.”
Aku menggenggam remote, menatap layar kosong. “Aku tak siap mengampuni. Tapi aku juga lelah membenci.”
Tristan mendekat setengah langkah lalu berhenti—menghormati batas tak terlihat. “Kita mulai dari tidak saling menyakiti.”
“Kita?”
“Obsesi dan luka belajar berjalan berdampingan.” Senyumnya tipis, rapuh. “Biarkan bunga ini mencari warna barunya.”
Hujan mereda menjadi gerimis. Aku menaruh remote di laci meja rias—tak memutar video, tak menghapus. Hanya menutup laci pelan, seakan menidurkan hantu.
Tristan mundur, memberi ruang. “Terima kasih sudah mendengar.”
Sebelum ia pergi, aku bertanya, “Tristan, jika suatu hari aku menari di taman tanpa takut, apa kau akan berdiri di bangku seberang—seperti dalam mimpiku?”
Ia terkejut; mungkin ia tak tahu aku bermimpi itu. Lalu ia mengangguk. “Aku akan duduk di sana, membawa hydrangea merah muda, kalau tanahnya mengizinkan.”
Aku tak menahan senyum. “Pergilah, sebelum aku berbicara lebih jujur dari yang bisa ku tanggung.”
Ia pamit, menutup pintu. Sunyi menyelimuti kamar, tetapi kali ini bukan selimut dingin; lebih mirip selimut hangat baru—sedikit gatal, belum pas, tapi menjanjikan mimpi tanpa teriakan.
Di meja, buket hydrangea tetap biru pucat. Aku mencium kelopaknya—harum tipis, hampir tak tercium, namun ada. Lalu ku tatap laci tertutup: video itu masih ada, luka masih ada, tetapi aku memegang kuncinya.
Dan, untuk pertama kalinya, aku percaya—tanah bisa diubah, warna pun mengikuti. Entah sebulan, setahun, atau mungkin selamanya. Setidaknya di malam berhujan ini, aku tak lagi lari dari rekaman terlarang. Aku berdiri menatapnya, lalu memilih untuk menutup layar, bukan hati.
Malam itu, aku menuliskan satu kalimat di buku harian:
Obsesinya mungkin mulut api, cintanya mungkin air. Tapi di antara lidah api dan arus air, ada tanah tempat hydrangea bisa belajar berganti warna.
Dan saat aku menutup buku, hujan benar‑benar berhenti. Kota berkilat oleh lampu dan jalan basah, bagaikan langit menaburkan serpihan kaca—bersinar namun tajam, seperti masa depan yang belum ku tentukan, tapi tak lagi ku takuti.
.
.
.
Bersambung...