Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 12.
Dada Malik seperti dibelah dua waktu dokter bilang bahwa Oma mengalami serangan jantung ringan. Katanya mereka beruntung, karena kalau telat semenit saja, nyawa Oma bisa lewat.
Di satu sisi, Malik bisa bernapas lega karena Tuhan mendengar doanya. Oma masih diberikan kesempatan hidup. Diberikan kesempatan untuk berada di sisinya lebih lama. Tapi di sisi lain, Malik juga mulai didera rasa bersalah. Dia mulai merutuki diri sendiri. Karena terlalu sibuk memikirkan soal pernikahan dan kemelut tentang pertanyaan apakah ia mampu menjadi kepala keluarga yang baik, Malik malah sering tidak berada di rumah.
Dia malah sering meninggalkan Oma, demi mencari ketenangannya sendiri. Padahal tujuan hidupnya adalah untuk menjaga Oma dan membuatnya bahagia. Tapi dia malah lalai. Coba saja kalau Malik bisa lebih mengondisikan suasana hatinya, hal seperti ini pasti tidak akan terjadi.
Kabar baiknya, dokter bilang kondisi Oma sudah kembali stabil setelah mendapatkan penanganan dan beberapa jam observasi. Kini Oma sudah dipindahkan ke ruang rawat VVIP. Daripada ruang rawat biasa, tempat itu lebih mirip kamar hotel bintang lima. Di samping tempat tidur Oma yang dipenuhi alat medis, ada sofa panjang empuk berlapis kulit sintetis warna abu tua. Posisinya membelakangi jendela besar yang tirainya sedikit terbuka, menampakkan sinar mentari yang menyembul malu-malu.
Di seberang sofa, terdapat sebuah ranjang lipat modern yang ditata sedemikian rupa. Malik bisa saja merebahkan tubuhnya di sana sambil menunggu Oma siuman, namun ia lebih memilih duduk di sebelah ranjang Oma, menggenggam erat tangan keriputnya.
Mesin monitor detak jantung masih mengeluarkan bunyi beep pelan tiap beberapa detik, seperti alarm yang menyentak Malik tetap terjaga. Selang infus yang menggantung di tiang besi di sisi ranjang bergerak pelan tertiup angin dari pendingin ruangan, mengingatkan Malik pada dingin dan menegangkannya situasi di ruang ICU beberapa jam lalu. Bahkan aroma antiseptik masih melekat di tubuh dan bajunya.
Ketika mata Malik mulai terpejam, tangan Oma dalam genggamannya bergerak pelan. Malik terburu membuka matanya kembali. Bertepatan dengan itu, kelopak mata Oma juga mulai terbuka perlahan.
"Malik...." Suara Oma mengalun lemah.
Malik menahan tangis. Tenggorokannya tiba-tiba terasa sakit, jadi dia hanya bia mengangguk pertanda ia mendengarkan.
Oma membelai lembut pipi Malik. Tatapannya masih lemah, tarikan napasnya bahkan hampir tak terlihat sama sekali.
"Jangan sedih, Oma nggak pa-pa, Sayang."
Dibilang begitu, pertahanan Malik malah runtuh. Dia menangis dalam diam sampai membuat bibirnya bergetar menahan isakan. Tangan Oma berkali-kali ia kecup. Sungguh kehilangan Oma adalah mimpi buruk yang sama sekali tak ingin Malik hadapi.
"Oma kan udah janji nggak akan mati dulu sebelum lihat kamu menikah."
Malik mengangkat wajahnya. "Terus kalau Malik udah menikah, Oma boleh meninggal gitu?" sentaknya, suaranya bergetar dan sedikit meninggi.
"Ya nggak begitu konsepnya," sahut Oma. Dalam keadaan lemah begitu, Oma masih sempat-sempatnya memukul pelan bahu Langit.
"Malik nggak mau tahu, pokoknya Oma harus hidup selama mungkin. Sampai seratus tahun kalau perlu," cerocos Malik.
Oma memandangi cucunya dengan sorot penuh haru. Katanya selalu ada yang bisa disyukuri dari setiap hal yang terjadi, dalam hal ini, Oma bersyukur karena bisa melihat lagi sisi rapuh Malik. Oma senang bisa melihat Malik menangis. Setelah bertahun-tahun anak itu selalu menahan diri dan berpura-pura tegar.
"Seratus tahun terlalu lama."
"Biarin."
"Oma nggak mau hidup selama itu, Malik."
"Omaaaa...."
Pipi Malik ditepuk-tepuk pelan. "Oma nggak perlu hidup sampai seratus tahun. Cukup sampai bisa melihat kamu menikah, punya anak, dan membangun keluarga bahagia. Kalau habis menyaksikan itu semua, mati pun Oma pasti lega."
"Jangan ngomongin mati terus..." Malik semakin cemberut.
Oma tersenyum lembut dan membelai kepala Malik. "Menikah sama Anindya dan jalani kehidupan yang bahagia, ya, Sayang."
Ah, Anindya...
"Oma,"
"Apa?"
"Kenapa ... harus Anindya?"
...🌲🌲🌲🌲🌲...
Pantas saja Anindya terus gelisah sepanjang malam meski masalahnya dengan Malik telah selesai. Sudah tertidur pun malah berkali-kali terbangun karena disambangi mimpi buruk yang abstrak. Rupa-rupanya, itu adalah firasat bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk pada Oma.
Pagi-pagi sekali, bahkan tak sempat mencuci muka apalagi gosok gigi, Anindya lari-lari ke rumah Oma. Niat awalnya hanya untuk menanyakan mengapa Malik tidak membalas pesan dan mengangkat teleponnya. Tapi pak sopir malah memberitahunya bahwa Oma dilarikan ke rumah sakit tengah malam tadi. Pak sopir sendiri dalam posisi hendak pergi ke sana, membawakan baju ganti juga dompet serta ponsel Malik yang tertinggal di rumah.
Awalnya, Anindya bersikeras ingin ikut pak sopir, tapi suara teriakan Mama dari pintu rumahnya sendiri membuatnya terpaksa putar balik.
"Kirim ke saya detail rumah sakit sama kamar rawat Oma, nanti saya nyusul!" pesannya kepada pak sopir, sambil berlari pulang.
Sampai di depan rumah, Mama sudah menghadang sambil berkacak pinggang. Pandangan wanita itu turun, penuh kejulidan kala menemukan kaki Anindya telanjang.
"Apa pula kau buat ini, Anindya? Pagi-pagi bangun tidur bukannya bersih-bersih, malah keluyuran ke rumah laki-laki, ndak bersandal pula kau!"
Anindya mengangkat kedua tangan sejajar dada, mengisyaratkan kepada Mama untuk tenang dan memberinya waktu bicara.
"Apa?" tantang Mama.
"Oma sakit," ujar Anindya.
Mendengarnya, kacak pinggang Mama berhenti. Kedua tangannya turun perlahan, dalam gerak dramatis dan cenderung lemah.
"Oma sakit?" ulangnya.
Anindya mengangguk rusuh. "Pak sopir bilang, Mas Malik bawa Oma ke rumah sakit malam tadi, diantar sama satpam komplek."
"Sakit apa?"
"Nggak tahu, pak sopir cuma bilang mau ke rumah sakit antar baju ganti."
Mama tidak lagi menyahut. Wanita itu tampak berpikir dan mulai kelihatan cemas.
"Kita susul pak sopir yuk," ajak Anindya.
Mama hanya mengangguk. Kemudian mereka masuk ke dalam rumah dengan langkah terburu-buru. Di ruang tengah, mereka berpisah. Mama meneruskan langkahnya ke dapur, mendelegasikan tugas kepada Mbak Pria untuk melanjutkan kegiatan memasak. Sementara Anindya langsung naik ke kamarnya untuk bersiap.
Yang ada di pikiran Anindya sekarang hanyalah ingin cepat-cepat mengetahui keadaan Oma. Jadi mandi pun dia hanya sekenanya. Asal siram, asal tubuhnya terguyur air dan terkesan sapuan busa sabun cair. Habis itu, dia menarik asal kaos dari tumpukan baju di lemari. Tak dipedulikan paduan warnanya. Mau terlalu gonjreng sekalipun, akan tetap Anindya pakai.
Merasa sudah rapi dan wangi, Anindya berlari keluar kamar. Heboh sekali tangannya menggedor pintu kamar orang tuanya, meminta Mama cepat keluar supaya mereka bisa langsung meluncur ke rumah sakit.
Dari dalam kamar, Mama muncul masih dengan kuas lipstik di tangan. Pewarna bibir merah merona itu baru setengah diaplikasikan, warnanya belum merata sempurna. Tapi Anindya sekonyong-konyong menarik tangan mamanya, membuat kuas lipstik mencoreng sudut bibir sampai ke tulang pipinya.
"Sabar!" sentak Mama, tapi tak protes ketika Anindya menggiringnya menuruni tangga.
Sopir Papa sudah standby ketika mereka tiba di teras. Sebelumnya Mama sudah bilang pada Papa untuk meminjamkan sopirnya, dan meminta tolong orang kantor menjemput sebagai gantinya. Papa sudah setuju, hanya saja tidak bisa ikut ke rumah sakit karena ada satu meeting penting. Papa bilang akan menyusul setelah meeting selesai.
Anindya segera menghuni kursi penumpang depan tanpa menunggu pintu dibukakan. Begitu sang sopir duduk di balik kemudi, gadis itu langsung berseru, "Buruan, Pak. Ngebut aja nggak pa-pa, anggap aja langit syuting Fast and Furious."
Bersambung....