Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 14
Urusanku di kampus sudah selesai. Antara sedih dan bahagia. Bahagia karena sebentar ijazahku kini sudah ada di tangan. Aku benar-benar sudah lepas dari status mahasiswa, dan tugasku selesai di kampus ini. Tetapi aku juga sedih karna itu juga berarti bahwa aku sudah harus kembali lagi ke Bandung. Jangan harap di sana aku bisa sering bertemu dengannya lagi seperti sekarang.
Jam makan siang sudah datang. Aku dengan teman-temanku sudah duduk di kantin kampus menunggu pesanan. Jam segini adalah jam di mana paling rame di kantin. Sesak, rebutan meja dan bahkan kadang pengamen juga bergantian nggak pernah putus menjajakan suaranya.
"Selamat siang semuanya, kakak cantik dan abang-abang ganteng. Luar biasa, kali ini saya akan bernyanyi ditemani oleh Taeyong," terdengar suara seorang pengamen disambut meriah oleh pengunjung yang kebanyakan mahasiswi ini.
Sebuah lagu pun mulai mengalun merdu begitu sopan masuk ke telinga. Namun posisinya yang tepat di belakang membuatku enggan untuk menoleh. Kucari uang dua ribuan di dalam dompet untuk di berikan pada pengamen itu. Aku pernah mendengar hukum memberi uang pada seorang pengamen yang bernyanyi diiringi dengan alat musik, namun aku sendiri belum menemukan hukum pasti untuk itu. Jadi, sejauh ini aku masih sering memberikan uang pada pengamen yang bernyanyi dengan alat musik. Tetapi umi dan abi sepakat untuk tidak memberinya.
Sekitar dua bait lagu yang dinyanyikannya pesanan kami datang, aku dan teman-temanku mulai menyantap makan siang yang sudah tertata.
Dalam lirik lagi yang di nyanyikannya tiba-tiba terselip namaku di dalamnya.
Teman-teman yang semeja denganku spontan melihat ke arah penyanyinya. Dan...
"Nay!!! Cowok ganteng kemaren!" pekik Nabila.
Kepalaku spontan berputar hampir 180 derajad. "Jasson!?" teriakku dengan mulut menganga namun tersenyum.
Aku benar-benar nggak nyangka suaranya bisa semerdu itu. Apa dia seorang vokalis band? Ah, Jasson, untuk ke sekian kalinya kamu membuatku kagun.
Dia membalas senyumanku, lalu memberikan gitar kepada pengamen yang asli. Selembar uang pun diselipkan pada pengamen tersebut. Dia kini berjalan ke arah kami. Beberapa orang teman-temanku mulai memperbaiki penampilannya. Aku pun begitu.
Langkah kakinya kini menarik perhatian banyak orang. Beberapa di antara mereka juga ada yang melihat ke arahku. Ada yang berbisik sambil melihat ke arahku. Jasson benar-benar menjadi pusat perhatian di mana pun dia berada.
"Boleh bergabung?" tanyanya pada teman-temanku beberapa detik setelah kakinya terhenti di depan kami.
"Silahkan," jawab Geny. Temanku yang sedikit centil.Jasson lalu duduk, kebetulan aku duduk paling tepi, jadinya dia duduk di sampingku karna itu satu-satunya area yang tersisa untuk duduk. Itu pun setelah kami semua yang duduk di kursi itu bergeser demi meluangkan tempat untuknya.
"Kenapa menyamar jadi pengamen segala, sih?" tanyaku membuka percakapan.
"Kamu malu, ya?" candanya.
"Ya nggak lah," sahutku.
Sejujurnya aku begitu gerogi duduk sedekat ini dengannya. Bahkan bahuku dengannya hampir bersinggungan. Beberapa temanku yang berada di hadapanku juga terlihat grogi, sama sepertiku. Entah kenapa mereka ikut-ikutan begitu.
Geny lalu menendang kakiku dibawah meja. Sepertinya dia paling antusias di antara semua teman-temanku.
"Apaan sih?" tanyaku padanya.
Dengan tertawa dia menendang kakiku sekali lagi. Jasson melihatku dengan tanda tanya. Mungkin dia berpikir aku bicara sendiri barusan.
Klaim
"Oh, iya. Dari pada kakiku terus ditendang, kenalin nih, Jasson. Pacarku," akuku pada mereka dengan senyum kemenangan.
Dengan tawa lebarnya Jasson menyalami mereka satu persatu. Tatapan takjub kulihat dari pancaran mata mereka yang menatap dalam ke Jassonku. Ciyehh, Jassonku.
Hahaha.
Suasana tiba-tiba jadi rame. Beberapa pertanyaan dilontarkan pada Jasson. Satu per satu pertanyaan itu dijawabnya dengan sabar olehnya.
Setelah selesai makan, Jasson menawarkan diri untuk membayar semua makanan teman-temanku. Sepertinya dia benar-benar royal, namun tadi katanya semua itu hanya sebagai perkenalan saja.
Usai makan, aku dan teman-temanku berpisah. Aku dan Jasson lalu duduk di taman kampus.
"Ini," ucapku sambil mengulurkan gawainya beberapa saat setalah kami duduk,
Dengan senyuman mautnya, dia menerima ponsel itu. Lalu mengembalikan ponsel milikku juga. Aku mulai deg-degan nggak karuan. Bingung mau mulai dari mana menjelaskan bahwa beberapa pesan dan gambar ada yang aku hapus di beberapa akun media sosialnya.
Dia juga terdiam sama sepertiku. Aku dan dia seperti sama-sama saling menunggu. Beberapa menit berlalu begitu saja tak berarti.
"Mm...." Aku dan dia serentak ingin memulai.
"Kamu saja," ucapnya.
"Nggak jadi, kamu duluan," elakku.
Ingin rasanya aku menghentikan waktu. Bagaimana jika dia benar-benar marah karna ulahku? Bisa-bisa ini jadi pertemuan terakhir.
"Kenapa?" tanyanya.
"Pokoknya kamu duluan," pintaku.
Waktunya sudah datang untuk mengakui semuanya. Siap tidak siap, marah atau pun tidak aku harus berani menghadapinya. Semua itu salahku. Jadi, aku harus terima segala konsekwensinya.
"Yaudah, sebelumnya aku benar-benar minta maaf, ya," ungkapnya dengan wajah serius.
Wajahku mengikuti ekspresinya. Bahkan mungkin aku lebih serius lagi. Ada apa dengannya? Baru saja kami tertawa bersama di kantin bersama teman-temanku. Jangan bilang kalau dia menyesal memberikan ponsel itu padaku. Atau, hal paling buruknya adalah, dia ingin balikan dengan mantannya. 'Jangan sampai ya, Allah. Hamba sudah terlanjur mencintainya. Hamba belum sanggup kehilangan untuk yang kedua kalinya walaupun ini semua sebenarnya berdosa.' Aku terus berdoa di dalam hati.
"Ada apa? Cepat katakan, perasaanku nggak enak," ucapku nggak kalah seriusnya.
"Kalau kamu marah, silahkan. Aku sudah bersalah, mau di apakan juga tetap salah. Aku siap menanggung semua konsekwensinya asalkan itu bukan kehilanganmu," paparnya.Aku semakin gelisah dan penasaran. Apa yang hendak di ungkapkannya?
"Jangan lama-lama Jasson. Buruan katakan, aku nggak suka penasaran terlalu lama," pintaku lagi.
"Sekali lagi, aku benar-benar minta maaf. Apa yang aku lakukan itu adalah spontan dan memang salah, lancang dan aku bersedia dihukum untuk itu." Dia kini nggak berani menatapku lagi.
"Melakukan apa?" desakku.
"Aku menghapus chat kamu dengan Gilang, dan juga membuka beberapa akun media sosialmu yang lain. Ada beberapa foto juga yang kuhapus, berharap, kamu bisa move on bersamaku."
Aku terdiam. Nggak ada perasaan marah, tapi juga nggak ada perasaan senang. Aku sedikit merasa kehilangan. Pesan-pesan Gilang yang masih sering kubaca, foto-foto bersamanya yang kadang masih kulihat kini nggak ada lagi. Tetapi, bukankah aku juga melakukan hal yang sama? Apakah dia juga akan merasa kehilangan setelah akan merasa kehilangan setelah mengetahuinya?
"Nay, please! Katakan sesuatu, marahlah jika maafmu memang nggak kudaoatkan," ucapnya dengan nada pelan.
"Jika itu juga terjadi padamu, apakah kamu akan marah?" tanyaku hati-hati.
"Nggak, aku akan lega," jawabnya.
"Kenapa?" tanyaku memastikan.
"Karna hal yang selama ini nggak berani kulakukan sudah kamu lakukan, aku memang nggak pernah berani menghapus semuanya."
Sepertinya jawabannya jujur. Aku kini lega untuk mengakui juga kesalahanku.
"Kamu benar-benar nggak marah jika aku juga melakukan hal yang sama?" tanyaku sekali lagi.
"Nggak, tapi aku akan menghukummu," jawabnya. Suasana mulai dingin kembali.
"hukuman apa?" tanyaku sambil tersenyum memandangnya.Kamu benar-benar harus jadi penggantinya," sahutnya dengan senyum yang sama.
"Baiklah, kalau begitu aku juga akan menghukummu," ungkapku.
"Apa?" tanyanya.
"Kamu harus menemui kedua orang tuaku," jawabku.
"Siapa takut?" tantangnya.
Kami berdua serentak tertawa.
"Yasudah, hapus saja semuanya dan kita deal," ucapnya lagi.
Aku tertawa lagi. "Aku sudah melakukannya." Kami tertawa lagi.
"Benarkah?" tanyanya seakan tidak percaya.
"Mungkin kita benar berjodoh, pemikiran kita sering kali sama, iya kan?" tanyaku.
Dia mengangguk sambil membuka ponselnya. Aku juga memeriksa ponselku. Seusai dengan janjinya, aku akan menagihnya untuk menemui umi dan abi. Tetapi tentu sebelum menemui umi dan abi dia harus masuk islam dulu. Tetapi bagaimana cara mengatakannya? Aku takut dinilai lancang olehnya.
Jika dia belum mualaf, mungkin umi dan abi nggak akan percaya jika dia benar-benar serius akan melakukannya. Kebahagiaanku langsung berubah jadi kekhawatiran.
Bagaimana jika memang dia tidak diterima oleh keluargaku? Sementara perasaan kami berdua sudah sedalam ini?