Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bingung
..."Apa ini? Aku baru merasakan perasaan hangat yang diberikan orang lain setelah orang yang aku sayangi tiada"...
...•...
...•...
Setelah membantu pemakaman bapak Awannya Aza. Semua teman-teman Zea keluar dari tempat pemakaman menuju parkiran. Awalnya sulit untuk Aza karena harus memakamkan jenazah bapaknya di tempat ini karena ini bukan tempat asalnya. Tapi setelah ia pikir-pikir, Aza tidak ingin terlalu hanyut dan terus terpikirkan oleh bapak Awannya yang telah tiada. Maka dari itu, ia memutuskan untuk memakamkan di tempat asing.
Walaupun berat di hatinya saat berjauhan, tapi Aza mencoba untuk tidak terus-menerus memikirkannya. Tubuhnya sudah berkali-kali lemas dan oleng karena terlalu memikirkan bapaknya yang membuatnya depresi dalam jangka waktu pendek. Sekarang pun begitu, ia masih memikirkannya walaupun telah tertimbun tanah.
Di sisi lain, teman-teman Zea juga merasa aneh dan bingung dengan keputusan Aza yang meminta untuk dikubur di daerah sini saja bapaknya. Padahal, mereka akan membantu Aza untuk kembali ke kampung halamannya. Sementara itu, Gilang, Tara, dan Sofia juga ikut serta tapi setelah teman-teman Zea keluar. Jika tidak, tempat pemakaman akan terlalu ramai orang. Maka dari itu gantian.
Fino yang awalnya ikut merasa iba dengan Aza karena cerita dari Sean dan Zea tidak bisa ikut serta untuk ke pemakaman karena harus mengurus istrinya di rumah sakit. Walaupun masih ada suster yang selalu siap siaga, tapi Fino tidak akan kendor pengawasannya terhadap istri tercinta dan putri kecilnya.
Rania juga tidak merasakan kesepian karena ada Kezia, Arden, serta Arsa yang berada di sofa sedang bercanda gurau. Agatha sedari tadi juga diam, mungkin ia akan lebih tenang daripada abangnya, Naufal. Fino sedari tadi juga sedang bermain dengan putrinya, tapi Agatha hanya menatap sang papa dengan mata yang sedikit terbuka.
"Lucu banget Agatha-nya.... Pengen gigit," kata Kezia.
"He.... aku bukan makanan kak Zia," balas Fino dengan menirukan suara anak kecil.
Kezia terkekeh dan mengelus pipi Agatha yang gembul. Sangat lucu sekali, bahkan Kezia tidak mengalihkan pandangannya sama sekali. Ia terus menatap Agatha dengan tersenyum tipis.
Arsa dan Arden yang mulai bosan karena tidak ada topik pembicaraan karena Arden yang hanya diam saja dan sesekali menambahi cerita Arsa sebab tidak berminat untuk membalas ceritanya. Ya, begitulah. Arden terlalu tertutup jika bercerita kepada orang lain selain Zea. Tapi ia mulai terbuka dengan Kezia juga.
...••••...
"Makan dulu ya, Za?" ajak Zea.
Aza menggeleng dengan memakai tas ranselnya. "Aku mau siap-siap balik aja."
"Pake apa?"
"Kereta."
"Katanya balik mulai besok pagi, kok sekarang?"
"Aku nggak ngapa-ngapain juga di sini. Jadi mau pulang aja."
Sean melirik Garrel yang sedang berkaca di kaca mobilnya. "Ajakin sana, biar dia ikut makan."
Garrel memutar bola matanya malas melirik Aza. "Kenapa harus gua? Kan ada yang lain."
Sean menghela nafasnya karena mulai malas dengan Garrel jika seperti ini. Ia menatap Aza yang sedang berbicara dengan Zea. Wajahnya terlihat biasa saja, tapi sangat memprihatikan jika seseorang tau dirinya terkena musibah. "Ikut kita aja dulu. Isi perut lo biar nggak laper di perjalanan."
Zea menganggukkan ucapan Sean yang memang ada benarnya. "Ikut aja ya?"
Aza menimang-nimang ajakan Sean dan menganggukkan kepalanya sebagai persetujuan. Garrel meliriknya sebentar dan memasuki mobil Sean begitu saja. Ia tidak ingin berlama-lama di luar dengan moodnya yang sedang hancur. Tidak lupa, ia mengabari Mamanya jika dirinya akan bersama temannya sebentar dan akan kembali setelah selesai.
Aza ikut dengan Zea di mobil Ezra yang Garrel dan Arzan bawa, sementara Sheila yang awalnya bersama Sean sekarang ikut bersama. Jika seperti ini, yang berada di mobil Sean hanya ada pemiliknya dan Garrel saja.
...••••...
Retha melirik abangnya yang sedang sibuk dengan laptopnya di taman belakang rumah di meja tepi kolam. Zevan tampak sangat tenang tanpa kebisingan sedikit pun dan hanya ada suara dari burung milik tetangga yang sangat berisik. Ia bosan, tidak punya teman di rumah selain abangnya. Orangtuanya juga akan kembali minggu depan setelah mendarat di Indonesia.
Ya, benar sekali. Kedua orangtuanya sedang keluar negeri karena pekerjaan dari sang papa yang sangat padat di sana. Rumah menjadi sepi dan rasa bosan sering menghampiri. Retha berjalan mendekati Zevan dan duduk di belakang abangnya dengan menyandarkan punggungnya di punggung Zevan.
"Kenapa?" tanya Zevan.
"Bosen."
"Kerjain tugas kamu sana, daripada kena hukuman lagi."
"Abang kalau nggak ngingetin biar nggak telat, pasti ngerjain tugas. Itu bukan saran yang membantu."
"Terus mau ngapain?"
"Nggak tau."
Zevan menghela nafasnya. Tidak perlu heran, tidak perlu bingung, dan tidak perlu juga dipikirkan. Itu sudah menjadi hal biasa untuknya.
Seorang wanita dengan celemek mengetuk pintu kaca yang membuat Zevan dan Retha refleks menoleh. "Maaf, Non. Ada yang mencari Non Retha di depan."
Retha mengerutkan keningnya. "Siapa, Bi?"
"Anak-anak tetangga dan Bu Aminah."
Retha jadi ingat sesuatu. Ia mengembangkan senyumannya dan menegakkan tubuhnya. "Oh, iya, Bi. Minta tunggu sebentar."
Dengan kelincahan tubuhnya, Retha dengan cepat menaiki tangga menuju kamarnya yang bersebelahan dengan kamar abangnya. Sementara Zevan hanya mengerutkan keningnya tidak paham. "Ada apa, Bi?"
"Biasa, Den. Bestie-nya Non Retha."
"Bestie?" beo Zevan.
Retha turun mengenakan cardigan dan melesat menuju pintu utama di depan. Ia mengembangkan senyumannya saat bertemu dengan bocah-bocah yang menjadi temannya di rumah. Mereka selalu menjadi temannya saat di rumah. Tidak jauh beda, Retha seperti anak SD yang bermain dengan temannya setelah pulang sekolah.
Di sisi lain, Zevan lebih menyukai Retha bermain dengan bocah-bocah di sekitar sini daripada dengan teman-temannya yang tidak memiliki akhlak. Sebenarnya ada, cuman rada-rada. "Ingatkan sebelum sore harus pulang, Bi."
Wanita itu mengangguk dan izin kembali ke dalam. Setelah itu, Zevan kembali pada layar laptopnya. Ia menatap wallpaper laptopnya yang tertampil fotonya dengan teman-temannya yang tersenyum bahagia. Saat manik matanya melihat Nathan, ia jadi ingat pada gadis yang ia kagetkan kemarin.
"Zea Aileen...."
"Siapa?"
Zevan hampir terlonjak kaget saat Retha langsung menyahuti ucapannya. "Ngapain kamu? Bukannya mau keluar?"
"Maunya sih gitu. Mau nitip nggak? Lagi rame di kompleks depan. Ada yang jualan pentol, es doger, batagor, telur gulung, cilok,..."
"Nggak ada. Kamu aja yang beli, nanti Abang minta."
"Aku kalau makan ada yang minta itu rasanya kurang puas. Jadi biasakan ngomong langsung pada intinya, jangan terserah atau ketergantungan."
"Nggak ada kalau gitu."
Retha tersenyum kecut dan memalingkan wajahnya dengan membalikkan tubuhnya karena mulai kesal dengan Abangnya. Sementara Zevan hanya terkekeh menatap kepergian adiknya.
Tiba-tiba dering ponselnya memasuki gendang telinganya yang menandakan ada panggilan masuk. Terlihat jelas nama Berlino tertera di sana.
"Apaan?" tanya Zevan.
"Malming ngumpul bareng yuk? Anak-anak lagi pengen ngumpul, nih. Lo yang sering ikut tiba-tiba jadi jarang ikut bikin suasana beda aja."
"Nggak bisa, gua ada acara."
"Acara apaan? Perasaan kalau kita ajak lo main atau ngumpul pasti jawabannya ada acara lah, Retha nggak mau ditinggalin lah, perut lo sakit lah, sibuk lah, ngerjain tugas lah. Kenapa nggak sekalian itungin bulu buaya?"
"Buaya nggak punya bulu."
"Tck!"
Tiba-tiba panggilannya terputus karena Lino yang mematikannya. Zevan menatap layar ponselnya acuh dan meletakkannya kembali. Ia membuka dokumen-dokumen yang pernah sekretaris kelasnya kirim di sebuah grup dan membukanya karena lupa untuk dibuka.
Ternyata hanya deretan nama siswa dan siswi yang akan mewakili sekolah untuk berlomba. Zevan terus menatap deretan nama tersebut hingga menemukan nama Zea yang bersanding dengan nama Arlan di sana. Sempat kaget juga. Peringkat pertama dan kedua dari angkatan mewakili sekolah dengan nama yang sangat mencolok. Tidak hanya di dalam dokumen, di mading pun seperti itu. Apalagi namanya paling atas.
"Gua ramal pasti menang. Cowok spek Dylan kayak gua pasti bener terjadi," kata Zevan dengan kepercayaan dirinya.
Zevan melanjutkan untuk membaca deretan nama-nama tersebut hingga terakhir dan keluar. Ia berganti untuk membaca artikel web yang sedang ramai di kunjungi dan menarik juga untuknya. Karena keseruannya dengan membaca, ia sampai lupa pada jam yang menunjukkan setengah dua belas. Tidak heran, cuaca juga mendung. Padahal tadi sangat cerah hingga tetangga dengan senang menjemur pakaian.
Setelah menutup laptopnya. Zevan kembali ke dalam kamarnya dengan sedikit bersenandung kecil.
...••••...
"Lagi di mana? Kok belum balik?" tanya Kezia di sebrang sana.
"Abis makan. Ini mau balik, kamu mau nitip sesuatu?" tanya balik Sean.
"Nggak deh. Cewek yang tadi sama kak Zea gimana?"
"Dia mau balik ke kampung."
"Aku pengen bicara sama dia, dan tawarin sesuatu."
Sean mengerutkan keningnya. "Kenapa? Ada apa emang?"
Kezia langsung menceritakan sesuatu yang membuat Sean sedikit tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia tidak menyangka, kalau Kezia akan melakukan hal ini. Bahkan ini sangat jauh dari pemikirannya.
"Kamu beneran mau tawarin itu?"
"Iya, lagian niat aku juga baik. Menurut Abang gimana?"
"Bagus juga kok. Tapi kamu jangan terlalu memaksa dan mungkin tawaran kamu juga akan sedikit memberatkan pikirannya karena bimbang. Jadi harus dipikirkan dengan matang-matang."
Kezia mengangguk paham. "Mangkanya aku buru-buru tanya sebelum dia balik. Namanya siapa tadi, bang?"
"Aza."
"Iya, kak Aza. Mungkin dia juga suka dan mau dengan tawaran aku."
"Iya. Abang harap dia terima juga. Abang tutup ya? Mau balik ini, nanti Abang bicarain lagi sama dia."
"Iya, hati-hati."
Sean menutup panggilan teleponnya dan melirik Aza yang sedang duduk bersama Zea dan Sheila di taman restoran setelah selesai makan sejak tadi. Walaupun baru kali ini mereka sedekat ini, tapi sudah terlihat sangat dekat sejak lamanya. Garrel dan Arzan sibuk dengan ponselnya di bangku taman sebelahnya yang sedang bermain game.
"Kita balik sekarang," kata Sean menegakkan tubuhnya.
Teman-temannya langsung bersiap dengan Sheila yang memakai tas selempangnya dan kedua pemain game tersebut yang telah selesai dengan permainannya. Sean menghampiri Aza dan meminta teman-temannya untuk ke parkiran terlebih dahulu. "Ada yang mau gua bicarain, dan lo harus berpikir secara matang-matang mau lo terima atau enggak. Tapi gua berharap lo terima tawaran ini."
Aza mengerutkan keningnya tidak paham. Tapi beberapa menit saat Sean menjelaskan tentang Kezia yang menawarkan sesuatu kepadanya, ia menjadi sedikit terharu karena bukan hanya tawaran Kezia saja yang Sean jelaskan, tapi beberapa cerita tentang kehidupan Kezia. Terlalu lengkap kalau menurut Aza jika seperti ini.
"Kenapa sih?" tanya Garrel bersandar di mobil Sean, "ngapain tuh anak nyuruh kita ke sini duluan?"
"Kita nggak tau, jangan tanya kita," balas Zea.
"Kita mau ngapain btw abis ini?" tanya Arzan.
...••••...
...TBC....