Balas dendam? Sudah pasti. Cinta? Tak seharusnya. Tapi apa yang akan kau lakukan… jika musuhmu memakaikanmu mahkota?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon karinabukankari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13: The Throne We Build from Ashes
Istana Ravennor seperti kota mati setelah ledakan sihir malam itu. Langit pagi masih menyisakan bekas petir biru di cakrawala, dan aroma abu bercampur darah menggantung pekat di udara.
Seraphine berdiri di reruntuhan aula besar, di mana kursi-kursi bangsawan telah terbakar separuh, dan permadani kerajaan menjadi abu. Di bawah kakinya, ukiran lambang singa bersayap di lantai marmer kini retak di tengahnya. Simbol kekuasaan itu telah pecah—secara harfiah maupun simbolis.
Caelum berdiri di sampingnya, wajahnya dingin namun mata menyimpan kekacauan. Bajunya masih robek dari pertarungan malam sebelumnya, dan seutas darah kering menghiasi pelipisnya. Tapi yang lebih mengkhawatirkan: aura sihir di sekeliling tubuhnya belum sepenuhnya padam.
"Kau tidak bisa menahan itu lebih lama?" tanya Seraphine setengah mencemooh, setengah khawatir.
Caelum menarik napas panjang. "Aku bisa. Tapi aku tidak mau."
Seraphine menoleh, alisnya terangkat. "Maksudmu?"
Caelum menatap reruntuhan istana. "Kalau aku tak meledakkannya, mereka semua akan membunuhmu malam itu. Termasuk para penasihatku. Termasuk pamanku sendiri."
"Jadi kau memilih membakar separuh kerajaan?"
"Aku memilih membakar kebohongan yang menindas kita sejak awal."
"Dramatis sekali," Seraphine bergumam, meski di dalam hatinya... ia sedikit tersentuh.
Sebuah suara batuk-batuk terdengar dari balik tiang batu yang setengah rubuh. Dari balik debu, muncul Ash—kakak Seraphine—dengan rambut acak-acakan dan ekspresi seperti baru keluar dari ledakan dapur eksperimen.
"Kalian tahu," katanya sambil berjalan tertatih, "kalau mau menyatakan cinta, bisa cari tempat yang lebih... tidak meledak."
Caelum meliriknya malas. "Kau masih hidup? Sayang sekali."
"Dan kau masih sarkastik meski hampir berubah jadi obor berjalan. Luar biasa."
Seraphine menghela napas. "Berhenti kalian. Kita belum tahu siapa yang selamat dari tadi malam."
Mereka bertiga berjalan menyusuri aula yang sekarang penuh abu. Beberapa penjaga terbaring tak sadarkan diri, beberapa masih hidup dan kini berlutut dengan ketakutan saat melihat Caelum lewat.
"Yang Mulia... ampuni kami... kami tidak tahu bahwa wanita itu..." salah satu dari mereka mencoba bicara.
Seraphine menghampiri pria itu. "Wanita itu? Maksudmu aku?"
Penjaga itu menelan ludah. "Kami hanya mengikuti perintah Penasihat Fereon... katanya Anda penyusup... dan..."
Caelum melangkah maju, suaranya seperti es.
"Penasihat Fereon mencoba membunuh calon istriku di dalam istanaku sendiri. Di depan mataku. Dan kau... ikut membantunya."
Penjaga itu langsung bersujud. "Ampun... ampun Yang Mulia..."
Seraphine menahan lengan Caelum. "Sudah. Dia hanya pion. Kita punya target yang lebih besar."
Caelum menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Tangkap dia. Jangan bunuh. Kita butuh semua saksi untuk pengadilan nanti."
Ash bersiul pelan. "Kalian berdua benar-benar pasangan romantis ya. Saling menahan satu sama lain supaya tidak membunuh orang. So sweet."
Seraphine melirik kakaknya. "Ash, kalau kau tidak berhenti bicara, aku akan ingatkan ibu bahwa kau pernah menyembunyikan raksi di kamar waktu kecil."
Ash langsung bungkam.
Mereka terus berjalan hingga mencapai ruang takhta, yang kini tak berbentuk. Singgasana hancur total. Dinding-dinding retak, dan langit-langit ambruk sebagian.
Tapi di tengah semua itu, berdiri seorang anak laki-laki.
Orin.
Tubuhnya kurus, pakaian compang-camping, dan matanya lelah tapi... hidup.
"Kak... ka..."
Seraphine terpaku. Air matanya jatuh sebelum ia sempat menyadari.
Ia berlari, memeluk adiknya. Orin memeluk balik dengan kekuatan yang mengejutkan untuk tubuh sekecil itu.
"Aku tahu kau akan kembali," bisik Orin.
Seraphine menggenggam wajahnya. "Bagaimana... bagaimana kau selamat?"
Orin menoleh ke arah belakang, dan dari bayangan tiang rubuh, muncullah seorang wanita tua berjubah kelam. Wajahnya dipenuhi kerutan, tapi matanya jernih dan tajam.
"Saya yang menyelamatkannya," katanya pelan. "Namaku Maestra Elune. Dulu... saya bagian dari Ordo Umbra."
Caelum menegang. "Itu kelompok pemberontak yang dibubarkan ayahku."
"Kelompok yang berusaha menyelamatkan anak-anak dari pembantaian yang ayahmu perintahkan," Elune menyahut tajam.
Caelum tak menjawab. Seraphine menatap wanita tua itu. "Kau... yang menyelamatkan Orin?"
"Ya. Dan saya mendidiknya. Ia tahu siapa dirinya. Ia tahu siapa kalian."
Ash mengangguk pelan. "Dia juga tahu cara membuat racun dari bunga malam. Nyaris bikin aku pingsan minggu lalu."
"Kak Ash berisik," sahut Orin polos.
Seraphine tertawa kecil meski air matanya belum kering. "Orin... kamu... sudah besar."
"Dan kamu harus memimpin, Kak. Sekarang. Karena kalau tidak... yang duduk di tahta berikutnya akan membakar dunia."
Mereka semua menoleh ke arah selatan. Asap masih mengepul dari sayap timur istana, dan kabar sudah menyebar: Penasihat Fereon kabur dengan membawa sebagian pasukan elit. Ia menuju Kota Hitam—markas kelompok loyalis lama yang menentang reformasi kerajaan.
Seraphine menoleh pada Caelum. "Kita harus kejar dia."
Caelum mengangguk. "Tapi tidak dalam keadaan begini. Kau harus dinyatakan sebagai pewaris tahta dulu. Atau tidak akan ada yang mengikutimu ke medan perang."
Ash mengangkat tangan. "Aku tahu tempat buat deklarasi. Tapi kita harus cepat sebelum pasukan Fereon menutup akses.
Caelum mengangguk. "Aku akan mengumpulkan sisa pasukan."
Seraphine memandang Orin dan menggenggam tangannya. "Kau ikut, ya?"
Orin mengangguk mantap. "Selama tidak ada pelajaran matematika."
Ash tertawa. "Dia memang adik kita."
Beberapa jam kemudian, mereka berdiri di atas balkon tertinggi Menara Celestria, menatap kerumunan rakyat yang berkumpul di bawah. Langit mendung, tapi tak ada hujan. Seolah dunia menahan napas.
Caelum berdiri di sisi Seraphine. Ia memegang gulungan pengumuman resmi.
Dengan suara lantang, ia mulai:
"Atas nama garis darah yang telah dihapus dari sejarah... atas nama kebenaran yang dikubur selama tujuh tahun... hari ini, aku, Pangeran Caelum Alistair Ravennor, menyatakan bahwa Lady Seraphine Verndale adalah pewaris sah yang dinyatakan oleh tahta."
Kerumunan bergemuruh.
Caelum melanjutkan, "Ia akan menjadi ratu. Tidak karena ia calon istriku. Tapi karena ia satu-satunya yang masih memiliki hati untuk memimpin dunia ini tanpa membakarnya sampai habis."
Sorak-sorai meledak. Tidak semua setuju, tentu. Tapi cukup banyak yang mengangkat suara dukungan. Di antara mereka, para mantan budak, rakyat pinggiran, dan anak-anak yatim akibat perang istana.
Ash bersandar di dinding sambil mengunyah apel. "Wah. Rasanya seperti klimaks pertunjukan drama. Ada api, ada cinta, ada bocah genius, dan ada pewaris berdarah dingin."
Orin menoleh. "Tapi belum selesai. Penjahatnya belum kalah."
Seraphine memejamkan mata sejenak.
Benar.
Tahta ini belum dibangun dari emas.
Tapi dari abu.
Dan dari abu itulah mereka akan memulai segalanya.
Malam itu, langit Ravennor terbakar merah, seolah para dewa pun ikut menyaksikan kebangkitan yang telah lama dinantikan. Di menara tertinggi istana, Seraphine berdiri memandangi kota yang mulai dilanda kekacauan. Rakyat berkumpul, berteriak, bertanya. Tentara-tentara yang sebelumnya diam kini bergerak gelisah. Dan di bawah semua itu, suara rakyat kecil mulai menggema lebih lantang dari genta lonceng.
Ash berdiri di sampingnya, mengenakan baju tempur tua milik ayah mereka yang dulu disembunyikan di reruntuhan biara. Rambutnya diikat ke belakang, dan mata kelamnya penuh tekad.
“Jika kau ingin mundur, ini kesempatan terakhir,” katanya.
Seraphine menoleh pelan. “Aku tidak pernah belajar mundur, Ash.”
Sebuah senyum tipis muncul di wajah kakaknya. “Sama seperti Ibu.”
Di belakang mereka, Lady Mirella muncul dengan napas memburu. “Pasukan barat mulai bergerak. Beberapa dari mereka memilih ikut Pangeran Caelum… tapi sebagian mulai meragukan segalanya. Terutama setelah... dia.”
“Orin?” tanya Seraphine cepat.
Mirella mengangguk. “Dia muncul di ruang takhta. Di depan semua orang.”
Ash menegang. “Apa dia... baik-baik saja?”
“Dia tampak... jauh lebih kuat dari yang kita bayangkan.”
Sebelum Seraphine bisa menjawab, suara gemuruh dari bawah menara mengguncang lantai. Mereka bertiga saling berpandangan. “Sudah dimulai,” gumam Seraphine.
Mereka turun dari menara dengan langkah cepat. Koridor istana yang biasanya sunyi kini dipenuhi suara bentakan dan derap sepatu logam. Para pelayan menghilang entah ke mana, dan di kejauhan terdengar ledakan—bukan petir, tapi sihir. Sihir yang selama ini tersembunyi.
Di lorong utama, Seraphine menghentikan langkah saat melihat seseorang berdiri di bawah cahaya lentera. Seorang pria tinggi dengan jubah kelabu dan rambut seputih salju.
“Master Veylor,” bisik Ash dengan nada waspada.
Penyihir tua itu menatap Seraphine tanpa ekspresi. “Sang bayangan akhirnya menunjukkan wajahnya.”
“Jika Anda ingin menghalangi kami,” kata Seraphine tegas, “silakan coba.”
Tapi Veylor malah tersenyum samar. “Saya di sini bukan untuk menghalangi. Tapi untuk menyaksikan apakah sejarah memilih untuk mengulang... atau berubah.”
Dia melangkah ke samping dan memberi jalan.
Ash menatap Seraphine. “Itu... aneh.”
“Dia tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan,” gumam Seraphine. “Kita harus lebih hati-hati.”
Di ruang takhta, segala kemegahan berubah jadi medan perang. Tirai-tirai sobek, karpet merah compang-camping, dan di tengahnya—Pangeran Caelum berdiri memandangi sosok remaja dengan mata yang sama seperti miliknya.
“Orin,” bisiknya.
Remaja itu berdiri tegak, mengenakan jubah hitam dengan simbol singa terbalik. Wajahnya keras, bahkan lebih dari yang Seraphine ingat. Tak ada keraguan dalam sikapnya, hanya kemarahan yang tak pernah padam.
“Kau tidak mengenaliku, bukan?” tanya Orin datar.
“Aku...” Caelum berusaha bicara, tapi kalimat itu gagal keluar. Di pikirannya, bocah kecil berambut kusut dan suara tangis menggema. Tapi yang berdiri di depannya kini bukan bocah itu. Ini adalah seseorang yang kembali untuk menuntut sesuatu yang lebih besar dari dendam.
Orin mengangkat tangannya—dan sihir membelokkan senjata para penjaga seketika. Tombak-tombak melayang, menancap ke pilar. Pedang berubah arah. Api menyala dari telapak tangannya.
“Raja Elric membunuh ibu dan ayahku,” katanya. “Dan kau... berdiri di sampingnya.”
“Waktu itu aku hanya seorang anak,” suara Caelum bergetar.
“Dan sekarang kau seorang pangeran.” Mata Orin menyala merah. “Tapi bukan satu-satunya.”
Pintu besar terbuka keras, dan Seraphine masuk. Napasnya tercekat saat melihat adiknya berdiri dengan tubuh tegak dan mata yang sama seperti ibunya.
“Orin…”
Orin menoleh, dan wajahnya berubah sedikit lebih lembut. “Kakak.”
“Kau hidup...” Seraphine melangkah maju, nyaris tak percaya.
“Aku disembunyikan. Dilatih. Disiapkan.” Orin menatapnya penuh emosi. “Untuk saat ini.”
Caelum melihat mereka berdua, dan untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, ia merasa kecil. Terpojok.
“Kalau kau ingin tahtaku,” katanya pelan, “ambil saja. Aku tidak akan melawan.”
“Tapi ini bukan soal takhta,” jawab Orin. “Ini tentang kebenaran. Tentang siapa yang layak memimpin. Dan siapa yang harus menebus dosa darah.”
Di luar istana, pasukan pemberontak mulai mendobrak gerbang utama. Penduduk kota yang selama ini diam, kini ikut turun ke jalan. Mereka membawa obor, pedang tua, bahkan garpu rumput. Karena kadang, perang bukan dimulai oleh raja... tapi oleh rakyat yang muak diam.
Di ruang takhta, suara langkah kaki berat bergema. Seorang pria dengan rambut keperakan dan jubah merah marun masuk bersama rombongan.
“Duke Vellmont,” gumam Ash. “Pengkhianat sejati.”
Duke itu tersenyum dingin. “Bagus. Keluarga Verndale lengkap sekarang. Tinggal kita akhiri kisah dongeng ini dengan cara berdarah.”
Ia menjentikkan jari, dan dari belakang, puluhan pasukan pribadi muncul dengan sihir yang membara di telapak tangan mereka.
Seraphine bergerak cepat. Ia menarik belati dari balik gaunnya dan melemparkannya ke salah satu penjaga. Ash menyusul dengan sihir api, menciptakan ledakan kecil yang mengguncang lantai.
Pertempuran pecah.
Orin melompat ke udara, tubuhnya dikelilingi cahaya gelap yang memutar seperti badai. Ia menghantam tanah dengan sihir murni—dan pilar-pilar istana runtuh satu per satu. Caelum, meskipun enggan, mengangkat tangannya dan memanggil angin untuk melindungi Seraphine dari puing.
“Kau masih melindungiku?” tanya Seraphine, napas memburu.
“Selalu,” jawab Caelum.
Seraphine mengalihkan pandangan. “Bodoh.”
“Tapi kau tidak pernah berpaling,” Caelum tersenyum.
Duke Vellmont dan pasukannya terus menyerang. Tapi perlahan, sihir Orin mulai mendominasi ruangan. Api dan bayangan bersatu dalam pusaran kekuatan yang belum pernah dilihat oleh siapa pun sebelumnya.
“Dia... bukan hanya penyihir,” bisik Veylor dari pojok ruangan. “Dia... gabungan darah lama dan sihir baru. Pewaris sejati takhta dan kutukan yang menyertainya.”
Di puncak pertempuran, Orin berdiri di atas reruntuhan singgasana. Mahkota emas tua yang jatuh menggelinding ke kakinya. Ia menatapnya sejenak—lalu menendangnya pergi.
“Aku tidak membutuhkan ini,” katanya. “Aku tidak akan memerintah kerajaan yang dibangun dari darah.”
Semua terdiam.
Seraphine melangkah maju. “Kalau bukan kau... lalu siapa?”
Orin menoleh. “Seseorang yang pernah hidup sebagai rakyat. Yang tahu artinya kehilangan, tapi memilih untuk tidak membalas dengan darah. Seseorang yang mampu mencintai bahkan ketika semuanya mengajarinya untuk membenci.”
Mata mereka bertemu.
Seraphine tertegun.
“Jangan menatapku seperti itu,” katanya lirih. “Aku bukan ratu. Aku hanya... anak yang kembali untuk mengubur masa lalunya.”
“Dan itu,” jawab Orin, “adalah alasan mengapa kau pantas memimpin.”
Malam pun berlalu, dan fajar menyingsing di atas kerajaan yang runtuh dan sedang dibangun kembali.
Pangeran Caelum menyerahkan segel kerajaan.
Ash memimpin pasukan reformasi.
Orin... menghilang ke utara, katanya untuk mencari masa depan yang tidak bergantung pada darah bangsawan.
Dan Seraphine berdiri di balkon ruang takhta baru—tanpa mahkota di kepala, tapi dengan seluruh rakyat menatapnya seperti seorang pemimpin sejati.
Ia menatap ke langit.
“Ini untuk kalian, Ayah, Ibu...”
Angin membawa bisikan yang hanya bisa didengar oleh mereka yang telah kehilangan segalanya dan masih memilih untuk berdiri.
To be continued...
Cobalah:
RA-VEN-NOR™
➤ Teruji bikin senyum-senyum sendiri
➤ Kaya akan plot twist & sihir kuno
➤ Mengandung Caelum, Ash, dan Orin dosis tinggi
PERINGATAN:
Tidak dianjurkan dibaca sambil di kelas, rapat, atau pas lagi galau.
Efek samping: jadi bucin karakter fiksi.
Konsumsi: TIAP JAM 11 SIANG.
Jangan overdosis.
Gemetar...
Tangan berkeringat...
Langit retak...
WiFi ilang...
Kulkas kosong...
Ash unfollow kamu di mimpi...
➤ Tiap hari. Jam 11.
Ini bukan sekadar Novel.
Ini adalah TAKDIR. 😭
Aku sudah capek ngingetin kamu terus.”
➤ Novel update jam 11.
➤ Kamu lupa lagi?
Baiklah.
Aku akan pensiun.
Aku akan buka usaha sablon kaus bertuliskan:
❝ Aku Telat Baca Novel ❞
#AyamMenyerah
“Kalau kamu baca jam 11, aku bakal bikinin kamu es krim rasa sihir.”
Caelum (panik):
“Update?! Sekarang?! Aku belum siap tampil—eh maksudku… BACA SEKARANG!”
Orin (pegangan pohon):
“Aku bisa melihat masa depan... dan kamu ketinggalan update. Ngeri ya?”
📅 Jam 11. Tiap hari.
Like kalau kamu tim baca sambil ketawa.
Komen kalau kamu tim “gue nyempil di kantor buat baca novel diem-diem”
Kamu bilang kamu fans Ravennor,
Tapi jam 11 kamu malah scroll TikTok.”
Jangan bikin aku bertanya-tanya,
Apakah kamu masih di pihakku…
Atau sudah berubah haluan.
➤ Novel update tiap hari.
➤ Jam 11.
Jangan salah pilih sisi.
– Orin
Tapi aku perhatikan siapa yang selalu datang jam 11… dan siapa yang tidak.”
Dunia ini penuh rahasia.
Kamu gak mau jadi satu-satunya yang ketinggalan, kan?
Jadi, kutunggu jam 11.
Di balik layar.
Di balik cerita.
– Orin.
Menarik.
Aku kira kamu pembaca yang cerdas.
Tapi ternyata...
➤ Baca tiap hari. Jam 11.
➤ Kalau enggak, ya udah. Tapi jangan salahin aku kalau kamu ketinggalan plot twist dan nangis di pojokan.
Aku sudah memperingatkanmu.
– Ash.
Untuk: Kamu, pembaca kesayanganku
"Hei…
Kamu masih di sana, kan?
Kalau kamu baca ini jam 11, berarti kamu masih inget aku…"
🕚 update tiap hari jam 11 siang!
Jangan telat… aku tunggu kamu di tiap halaman.
💙 – C.
Kucing kerajaan udah ngamuk karena kamu LUPA update!
🕚 JAM 11 ITU JAM UPDATE !
Bukan jam tidur siang
Bukan jam ngelamunin mantan
Bukan jam ngintip IG crush
Tapi... JAMNYA NGIKUTIN DRAMA DI RAVENNOR!
😾 Yang kelewat, bakal dicakar Seraphine pakai kata-kata tajam.
#Jam11JamSuci #JanganLupaUpdate
Itu jamnya:
✅ plot twist
✅ karakter ganteng
✅ baper kolektif
✅ kemungkinan besar ada adegan nyebelin tapi manis
Jangan lupa update TIAP HARI JAM 11 SIANG
📢 Yang gak baca… bakal disumpahin jadi tokoh figuran yang mati duluan.
Itu bukan jam makan, bukan jam rebahan...
Itu jam baca komik kesayangan KAMU!
Kalau kamu ngelewatin update:
💔 Caelum nangis.
😤 Seraphine ngambek.
😎 Ash: “Terserah.”
Jadi yuk… BACA. SEKARANG.
🔁 Share ke temanmu yang suka telat update!
#ReminderLucu #UpdateJam11
📆 Update : SETIAP HARI JAM 11 SIANG!
Siapa yang lupa...?
➤ Ditarik ke dunia paralel.
➤ Dikejar Orin sambil bawa kontrak nikah.
➤ Dijadikan tumbal sihir kuno oleh Ash.
➤ Dipelototin Seraphine 3x sehari.
Jadi... JANGAN LUPA BACA YAAA!
❤️ Like | 💬 Komen | 🔔 Follow
#TimGakMauKetinggalan
Komik kita akan UPDATE SETIAP HARI!
Jadi jangan lupa:
💥 Siapkan hati.
💥 Siapkan cemilan.
💥 Siapkan mental buat gregetan.
⏰ Jam tayang: jam 11.00 WIB
🧡 Yang lupa update, nanti ditembak cinta sama si Caelum.
➕ Jangan lupa:
❤️ Vote
💬 Komen
🔁 Share
🔔 Follow & nyalain notif biar gak ketinggalan~