Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Sebuah Kehangatan yang Tersembunyi
Suara roda koper berderit di lantai marmer penthouse yang sunyi, memecah keheningan malam Boston yang pekat. Aaron tiba. Wajahnya kusut, sisa-sisa kelelahan dan kekhawatiran masih tercetak jelas di garis rahangnya yang mengeras. Penerbangan panjang dari London terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai, setiap detik di udara diisi dengan bayangan Claire yang jatuh, pucat pasi. Ini sudah kedua kalinya wanita itu jatuh pingsan.
Samuel dan Susan menyambutnya di pintu utama, raut wajah mereka menunjukkan kelegaan bercampur cemas.
"Direktur, syukurlah Anda sudah tiba," Samuel berucap, suaranya lega. "Nyonya... dia sudah sadar dan Dokter baru saja pulang."
"Bagaimana keadaannya?" tanya Aaron, tanpa basa-basi, suaranya serak namun tegas. Ia menyerahkan koper kecilnya pada Samuel, matanya lurus ke arah tangga menuju kamar Claire.
"Dia masih sangat lemah, Tuan," jawab Susan, suaranya pelan. "Tidak mau makan, hanya minum sedikit air. Kami sudah mencoba membujuknya..."
Aaron tidak mendengarkan kelanjutan laporan Susan. Kakinya sudah bergerak menaiki tangga. Setiap langkah terasa berat, diiringi detak jantungnya yang bergemuruh. Rasa bersalah yang menumpuk selama perjalanan kini bergejolak di dadanya. Ia tahu ini semua salahnya. Sikap dinginnya, kepergiannya yang mendadak, telah membuat wanita itu terpuruk.
Setibanya di depan pintu kamar Claire, Aaron berhenti sejenak. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ini hanya tanggung jawab, Aaron. Tanggung jawabmu sebagai suaminya. Tidak lebih. Ia mencoba meyakinkan diri, namun tangannya yang gemetar saat memegang gagang pintu mengkhianati pertahanan itu.
Ia membuka pintu perlahan, menampakkan Claire yang terbaring di tempat tidur, tampak sangat kecil dan rapuh di bawah selimut. Wajahnya pucat, mata hijaunya terpejam.
Aaron melangkah masuk, mendekati ranjang. Cahaya remang dari lampu tidur membuat suasana kamar terasa melankolis. Ia berdiri di sisi ranjang, memandangi Claire. Wanita itu benar-benar terlihat jauh lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. Ada kantung hitam samar di bawah matanya.
Claire bergerak sedikit, kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka. Matanya yang hijau membulat, menatap Aaron yang berdiri di sampingnya. Keterkejutan terlihat jelas di wajahnya.
"Aaron?" suaranya sangat lirih, nyaris tak terdengar, seperti bisikan angin. "Kau... kau kembali?"
Aaron merasakan sesuatu mencelos di dadanya mendengar suara rapuh itu. Nada khawatir yang selama ini ia lawan, kini muncul secara alami. "Tentu saja aku kembali," ucapnya, suaranya lebih lembut dari yang ia kira. Ia membungkuk sedikit, menatap mata Claire. "Sam bilang kau pingsan. Bagaimana perasaanmu sekarang?"
Claire mengerjap, seolah tak percaya dengan nada bicara Aaron. Ia mengangguk samar. "Aku... aku baik-baik saja." Ia mencoba duduk, tapi kepalanya kembali pusing.
"Jangan bergerak," perintah Aaron cepat, tanpa sadar mengulurkan tangannya untuk menahan Claire agar tidak terduduk. Sentuhan tangannya di bahu Claire terasa hangat, membakar kulitnya. Ia menarik tangannya kembali secepat kilat, seolah baru saja menyentuh api. Canggung, ia berdeham. "Susan bilang kau tidak mau makan. Apa yang kau inginkan? Aku bisa menyuruhnya menyiapkan apa saja."
Claire menatapnya dengan tatapan campur aduk: terkejut, lega, dan sedikit harapan yang ragu. "Aku... aku tidak lapar," jawabnya, suaranya masih pelan.
"Kau harus makan." Aaron mendesak, nadanya kembali sedikit tegas, namun kini terdengar lebih seperti perhatian ketimbang kemarahan. "Demi bayimu."
Claire hanya menunduk, tangannya meremat selimut dan matanya berkaca-kaca. "Maaf."
Melihat air mata yang kembali menggenang, hati Aaron terasa sedikit perih. Ia tidak lagi marah, justru merasa bersalah.
Wanita ini... dia benar-benar rapuh. Apakah ini... rasa tanggung jawab yang Walter bicarakan? Ia mencoba meyakinkan diri, bahwa semua ini hanya tentang tanggung jawabnya.
Ia menarik kursi kecil di samping ranjang dan duduk. "Kau tidak perlu meminta maaf. Ini... bukan salahmu," katanya, kata-kata itu terasa aneh di lidahnya. Mengucapkan permintaan maaf atau pengakuan bersalah adalah hal yang paling sulit baginya.
Claire mengangkat kepala, menatapnya dengan mata berair. "Aku hanya... aku pikir kau tidak akan kembali. Aku pikir kau marah padaku karena aku mencoba ikut."
Aaron menghela napas panjang. "Aku tidak marah. Aku... aku sibuk. Dan kau tidak boleh pergi dalam kondisi seperti itu. Apalagi sedang hamil." Kata-kata itu keluar dengan canggung, berusaha terdengar logis, namun ia tahu bukan itu yang ingin didengar Claire. Dan bukan itu pula satu-satunya alasan ia kembali.
Diam menyelimuti mereka. Aaron memandangi tangan Claire yang tergenggam di atas selimut. Cincin pernikahan mereka melingkar di jari manis Claire, tampak begitu nyata dan ironis.
Tiba-tiba, Claire mengulurkan tangan, meraih tangan Aaron yang ada di atas selimut. Sentuhannya sangat lembut dan hati-hati, seolah takut Aaron akan menariknya lagi. Aaron menegang, tapi tidak menarik tangannya.
"Aku... aku merindukanmu, Aaron," bisik Claire, suaranya sedikit lebih jelas.
Pengakuan itu, sekali lagi, menggetarkan Aaron. Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Membalasnya? Mengejeknya lagi seperti dulu? Tidak, ia tidak bisa. Melihat Claire selemah ini membuat semua kata-kata kasar terasa tak pantas.
Aaron hanya mengangguk kecil, menatap wajah Claire. Mengapa perasaanku selalu kacau saat di dekatnya? Gumamnya dalam hati.
Claire memejamkan mata sejenak, seulas senyum tipis terukir di bibirnya. Ia mengangkat lembut tangan Aaron, lalu meletakkan telapak tangan Aaron di atas perutnya yang sedikit membuncit.
"Lihat, Sayang?" bisik Claire pada perutnya, suaranya yang lembut dan penuh kasih sayang. "Ayahmu ada di sini... dia selalu kembali, kan?” Matanya tampak sedikit tersenyum. “Ibu tahu, di mana pun dia berada, hatinya selalu akan menemukan jalan kembali padamu."
Aaron membeku. Tangannya menempel di perut Claire, merasakan kehangatan yang samar. Kata-kata Claire, "Ayahmu ada di sini... dia selalu kembali, kan?" menggema di telinganya. Ada getaran aneh yang menjalar dari perut Claire, naik ke lengannya, dan langsung menuju dadanya. Itu adalah getaran kehidupan, detak jantung yang samar dari janin yang belum ia kenal.
Aaron menatap Claire, yang kini memejamkan mata, seolah berbicara dengan bayinya. Sebuah rasa dingin menusuknya. Apakah Claire... masih memikirkan Benjamin? Apakah "Ayahmu" yang dimaksud adalah Benjamin? Rasa cemburu aneh yang selama ini ia sangkal, tiba-tiba muncul. Tapi kenapa? Mengapa ia harus cemburu pada pria yang sudah tiada?
Namun, di balik rasa cemburu yang tak masuk akal itu, ada sensasi lain. Sensasi aneh dari tangan yang menyentuh kehidupan baru, yang terasa begitu asing namun juga... begitu intim. Ia menatap wajah Claire yang tenang, memandangi perut itu. Apakah ini... bayiku? Pertanyaan itu muncul, sama seperti pertanyaan di London, tanpa jawaban yang pasti.
Aaron perlahan menarik tangannya. Claire membuka matanya, menatapnya dengan pandangan bingung.
"Kau... istirahatlah," kata Aaron, suaranya kembali sedikit kaku. Ia bangkit dari kursi. "Aku akan meminta Susan menyiapkan makanan untukmu."
Claire hanya mengangguk pelan, seolah tidak ingin memperpanjang momen itu.
Aaron berbalik dan melangkah keluar dari kamar. Pintu tertutup di belakangnya, meninggalkan Claire sendirian lagi. Namun, kali ini, kepergiannya tidak diliputi kemarahan atau kebencian. Di luar kamar, Aaron menyandarkan punggungnya ke dinding, napasnya memburu. Tangannya masih merasakan kehangatan perut Claire. Dan di benaknya, kalimat Claire terus bergema: "Ayahmu ada di sini... dia selalu kembali, kan?"
Aku... bisakah aku melakukan ini?
Bisakah dia menjalani hidup seperti ini? Menjadi pasangan seperti Walter dan istrinya? Menjadi sosok ayah dari bayi saudaranya? Yang bukan miliknya?