Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LIVIA INGIN BERPISAH
Sudah dua hari berlalu sejak Mateo mengurung Livia di kamar sempit itu. Seolah pria itu benar-benar melupakan bahwa ada seorang wanita hamil, istrinya sendiri yang terkurung bersama calon anak mereka.
Sementara itu, Nano telah dipindahkan oleh Mateo untuk bekerja di kantor. Ia tak ingin pria itu kembali “ikut campur” dalam urusannya dengan Livia. Mateo membenci siapapun yang mencoba mendekat pada wanita yang ia anggap sebagai beban hidupnya.
Malam itu, Mateo turun ke ruang makan. Seorang pelayan sedang menata meja makan untuknya.
“Buka kamar wanita itu. Suruh dia ke sini,” ucap Mateo sambil menarik kursi dan duduk.
“Baik, Tuan,” jawab pelayan itu singkat lalu segera melaksanakan perintah.
Mateo mulai menyantap makan malamnya. Namun, tak seperti biasanya, seleranya tampak hilang. Sendok hanya bergerak pelan, dan tatapannya kosong.
Pikirannya kacau. Ada sesuatu yang membuat dadanya tak nyaman, dan entah mengapa, itu semua bermuara pada Livia.
Tak lama kemudian, Livia muncul di ambang pintu dengan wajah yang sangat pucat. Ia belum makan selama dua hari terakhir. Satu-satunya hal yang membuatnya bertahan hanyalah air mineral dan harapan agar bayinya tetap sehat.
“Duduk,” ucap Mateo dingin, tanpa memandang wajah wanita itu.
Livia tak sanggup berkata-kata. Tubuhnya terlalu lelah, pikirannya terlalu rapuh. Ia hanya menuruti, menarik kursi perlahan, lalu duduk dalam diam. Di depannya, suaminya tetap makan dengan tenang, seolah tak ada yang salah di antara mereka.
Mateo meletakkan sendok dan garpunya dengan suara dentingan halus yang terasa mencekam di tengah keheningan. Separuh makanan di piringnya masih tersisa ia sudah kehilangan selera sejak tadi.
Tanpa berkata apa-apa, pria itu mendorong piringnya ke arah Livia, yang masih tertunduk lesu di seberangnya.
Gadis itu menoleh perlahan, matanya sembab dan kosong, seolah tak percaya pada apa yang baru saja dilakukan suaminya.
Mateo bersandar di kursinya, menyilangkan tangan di dada. “Makan,” ucapnya datar. Suaranya tanpa emosi, namun cukup membuat Livia tersentak kecil.
Tanpa bertanya atau berani membantah, Livia menarik piring itu pelan. Tangannya gemetar saat mulai menyendok makanan bukan karena takut pada Mateo, tapi karena tubuhnya memang nyaris kehabisan tenaga.
Mateo menatap wanita itu diam-diam. Sesuatu dalam dirinya terasa aneh marah, muak, tetapi juga gelisah. Ia tak mengerti mengapa, namun ia tak suka melihat Livia seperti itu... terlalu diam, terlalu rapuh, terlalu hancur.
Dan itu semua... karena dia sendiri.
Livia menyantap sisa makanan Mateo perlahan, setiap suapan terasa berat namun tetap ia paksa masuk ke perutnya yang kosong. Ia tidak peduli meski itu hanya sisa, karena bagi Livia, ini adalah bentuk kepedulian pertama sekecil apapun yang pernah ditunjukkan oleh pria itu sejak mereka menikah.
Dalam hatinya, ia berbisik lirih, "Terima kasih, Tuhan... setidaknya hari ini aku dan bayiku tidak kelaparan."
Air matanya jatuh diam-diam, tapi Livia segera menyekanya dengan punggung tangan. Ia tak ingin Mateo melihat kelemahannya lagi.
Mateo masih duduk di tempatnya, menatap kosong ke arah meja makan. Ia tak mengatakan apa pun, namun diamnya justru terasa lebih menusuk daripada kemarahan.
Livia menunduk dalam, menggenggam perutnya yang mulai membesar. Meski hancur secara batin, ia tetap berusaha percaya bahwa bayi dalam kandungannya masih bertahan... dan suatu hari nanti, akan memiliki hidup yang jauh lebih baik dari ibunya.
Suasana masih sunyi. Hanya terdengar denting sendok yang sesekali menyentuh piring saat Livia menghabiskan makanannya. Setelah suapan terakhir, ia meneguk air dengan pelan, lalu mendongak menatap Mateo yang sedari tadi menatapnya dengan dingin dan tanpa ekspresi.
Suara Livia terdengar pelan, namun mantap, “Tuan… saya ingin berpisah. Tuan tidak perlu khawatir soal anak ini. Saya akan mengurusnya sendiri.”
Mateo mengangkat alis, lalu menyandarkan tubuhnya santai ke kursi. Beberapa detik hening, sebelum tawa sinis meluncur dari bibirnya.
“Lelucon orang miskin,” ejeknya tajam. “Kau tak sanggup mengurus dirimu sendiri, apalagi anak?”
Livia menunduk lagi, namun kali ini bukan karena takut melainkan menahan perih yang baru saja ditusukkan lewat kata-kata.
Livia mengepal tangannya di atas pahanya yang gemetar. Meski sakit, ia mencoba menahan air mata yang mulai membasahi pelupuk. Ia tahu, jika menangis sekarang, Mateo hanya akan semakin meremehkannya.
“Saya tidak minta apa-apa, Tuan. Hanya kebebasan,” lirihnya. “Saya bisa pergi jauh dari sini, dan Tuan tak akan pernah melihat saya atau anak ini lagi.”
Mateo mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap tajam wajah Livia yang pucat dan kelelahan.
“Kau pikir bisa lari begitu saja setelah merusak hidupku?” tanyanya pelan, tetapi dingin dan tajam. “Kau akan tetap di sini sampai aku bosan.”
Livia menggigit bibirnya, tak mampu menjawab. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena patah semangat yang perlahan merobek jiwanya.
Mateo berdiri dari kursinya, lalu berjalan mengitari meja dan berhenti tepat di samping Livia. Ia merendahkan diri, menatapnya sejajar.
“Ingat baik-baik, Livia,” bisiknya tajam. “Di tempat ini, kau bukan siapa-siapa. Dan jika kau mencoba kabur aku pastikan kau tak akan pernah membawa anak itu bersamamu.”
Setelah berkata demikian, Mateo pergi meninggalkan ruang makan, membiarkan Livia sendiri dalam kesunyian yang semakin menyesakkan.
Dengan emosi yang tak lagi bisa ia bendung, Livia menghentakkan tangannya ke meja hingga piring di hadapannya terhempas dan pecah berhamburan ke lantai. Suara pecahan itu menggema, membuat Mateo yang baru saja hendak melangkah pergi, berhenti dan menoleh tajam.
“Saya tidak pernah menjebak Anda, Tuan!” seru Livia dengan suara gemetar namun penuh keberanian. Air matanya jatuh tak terbendung, membasahi wajah yang lelah dan penuh luka.
“Saya lelah!” lanjutnya dengan napas tersengal. “Lelah diperlakukan seperti ini terus. Saya manusia, Tuan… bukan barang, bukan boneka. Saya punya hati. Saya punya rasa sakit.”
Mateo menatapnya dengan rahang mengeras, jelas geram, namun kali ini ada sorot terkejut yang singkat melintas di matanya. Sorot yang tak biasa ia tunjukkan.
Sementara itu, Livia jatuh terduduk, memeluk perutnya yang perlahan membesar. Isakannya pecah di tengah keheningan yang menyesakkan. Ia sungguh tak kuat lagi… hidup bersama pria yang hanya tahu cara menyakiti.
Mateo melangkah cepat, lalu menunduk dan mencengkeram dagu Livia dengan kasar. Wajahnya begitu dekat hingga napas panasnya terasa di wajah Livia yang masih basah oleh air mata.
“Buang jauh-jauh keinginan bodohmu itu untuk berpisah, Livia,” desisnya dingin. “Ini adalah jalan yang kau pilih sendiri, ingat itu.”
Tatapan mata Mateo menajam, penuh kuasa dan amarah yang ditekan.
“Dalam keluarga Velasco, pernikahan hanya terjadi sekali seumur hidup. Satu-satunya jalan kau bisa bebas dariku… adalah jika kau mati. Atau aku yang lebih dulu mati.”
Tangan Mateo menepuk-nepuk pipi Livia perlahan gerakan yang terasa lebih seperti penghinaan daripada kasih seolah menyadarkannya dari mimpi.
“Jadi berhenti berkhayal, wanita miskin.”
Mateo duduk di ruang kerjanya, dikelilingi aroma tembakau dan sampanye mahal. Asap rokok menggantung di udara, sementara pandangannya kosong menatap jendela yang tertutup tirai.
Ucapan Livia soal perceraian masih terngiang di kepalanya seperti lelucon murahan.
"Setelah menjebakku dalam pernikahan ini, sekarang dia minta cerai? Dasar wanita tak tahu diri," gumamnya sembari terkekeh dingin, lalu menyeruput sampanyenya.
Sementara itu, di sisi kota yang berbeda, seorang pria tampak larut dalam kesenangan semu. Di ruangan mewah penuh gemerlap, ia bersandar santai di sofa, ditemani seorang wanita berpakaian mencolok yang tengah menggodanya.
Tawa ringan dan musik lembut mengisi ruangan, menyamarkan sisi gelap dari kesepian yang tersembunyi di balik kenikmatan sesaat.
Di tengah kesenangan semu bersama wanita sewaan, suara dering ponsel memecah suasana. Pria itu menoleh sekilas, lalu menjawab tanpa menghentikan apapun yang terjadi di sekitarnya.
Desahan samar terdengar di latar, namun ia tampak tak terganggu.
"Sialan kau, Nat. Di mana kau sekarang?" suara Justin terdengar dari seberang sambungan.
"Sedang bersenang-senang. Jangan ganggu," balas Nathan santai, bibirnya melengkung kecil.
"Nanti dulu. Mateo menyuruhku menanyakan soal perkembangan kasus CCTV itu. Ada kabar?"
Nathan mendesah panjang, terlihat terganggu. "Aku sedang sibuk sekarang. Kita bahas nanti saja."
Tanpa menunggu tanggapan Justin, ia memutuskan sambungan, lalu melempar ponselnya ke sofa sambil kembali larut dalam pelariannya.
"Nathan sialan, malah asyik bersenang-senang," gerutu Justin sembari melempar ponselnya ke meja.
Mateo yang duduk di depannya hanya menghela napas, wajahnya tampak dingin namun pikirannya sibuk.
"Lalu sekarang bagaimana?" tanya Justin, menatap sahabatnya dengan serius.
"Dia sudah memilih jalannya sendiri," balas Mateo datar. "Aku tidak akan melepaskannya sampai semua dendamku pada dia, dan pada siapa pun yang menjebakku tuntas."
Justin menyandarkan punggung ke sofa, lalu tertawa kecil. "Kau terlalu keras, bro. Apalagi dia sedang hamil, perempuan di masa itu butuh perhatian. Lagipula, dia istri sahmu. Kenapa tak kau perlakukan seperti seharusnya? Daripada adik kecilmu nyasar ke tempat yang salah," ujarnya menggoda, Mateo.
Justin memang sedang berkunjung ke rumah Mateo karena merasa bosan di apartemennya. Saat itu pula Mateo sempat menceritakan soal Livia yang ingin berpisah, dan sikap kerasnya selama ini.
Mateo termenung, membiarkan kata-kata Justin mengendap dalam pikirannya. Ada benarnya juga tentang kebutuhannya sebagai pria. Selama ini, ia terlalu sibuk membenci Livia, hingga melupakan satu kenyataan penting: perempuan itu adalah istrinya yang sah. Ia membencinya, benar, tapi hubungan mereka tetap terikat dalam ikatan pernikahan. Dan itu berarti, Livia memiliki kewajiban termasuk dalam hal yang satu itu.
Mateo menghela napas panjang. Ia tidak suka mengakui, tapi terus-menerus mencari pelampiasan di luar juga bukan solusi. Ia bukan pria bodoh yang tak tahu resiko. Dan Livia... meski menyebalkan di matanya, setidaknya perempuan itu bersih dan masih miliknya.
"Sepertinya kau benar," gumam Mateo akhirnya.
Justin menoleh cepat, tersenyum penuh arti. "Tentu saja. Aku ini teman yang masuk akal."
Mateo meneguk sisa sampanyenya, matanya menatap kosong ke arah gelas. "Kalau begitu, mungkin sudah saatnya aku menagih hakku."
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/