Ganesha percaya Tenggara adalah takdir hidupnya. Meski teman-temannya kerap kali mengatakan kepada dirinya untuk sebaiknya menyerah saja, si gadis bersurai legam itu masih tetap teguh dengan pendiriannya untuk mempertahankan cintanya kepada Tenggara. Meski sebetulnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa dia hanya jatuh cinta sendirian.
"Sembilan tahun mah belum apa-apa, gue bisa menunggu dia bahkan seribu tahun lagi." Sebuah statement yang pada akhirnya membuat Ganesha diberikan nama panjang 'Ganesha Tolol Mirella' oleh sang sahabat tercinta.
Kemudian di penghujung hari ketika lelah perlahan singgah di hati, Ganesha mulai ikut bertanya-tanya. Benarkah Tenggara adalah takdir hidupnya? Atau dia hanya sedang menyia-nyiakan masa muda untuk seseorang yang bahkan tidak akan pernah menjadi miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 22
Gebrakan yang Kafka buat seakan tidak pernah ada habisnya. Dimulai dari sok ngide membuntut sampai ke Surabaya, memesan kamar di hotel yang sama (berseberangan dengan milik Tenggara dan Ganesha pula), sampai kini tiba-tiba mengumumkan tidak ingin pulang dulu ke Jakarta. Lelaki itu mengatakannya di menit-menit terakhir, ketika Tenggara sudah packing dan siap check out untuk kemudian pergi ke bandara.
Masalahnya, kamar Tenggara dan Ganesha sudah dibooking untuk tamu lain dan demi Tuhan, sekarang ini peak season. Tak ada sisa kamar yang bisa Tenggara pesan untuk extend semalam lagi.
Di depan pintu kamar yang tertutup rapat, Tenggara lagi-lagi harus menarik napas dalam-dalam demi menekan emosinya. Dia memejamkan matanya sejenak, berusaha tetap waras menghadapi Kafka yang menjelma menjadi anjing gila.
"Gue ikut," ucapnya kemudian.
Tak perlu susah-susah menebak, sudah jelas Kafka menolak keras dan seketika mencak-mencak. Wajahnya bahkan sudah merah padam, dua tanduk iblis muncul di kedua sisi kepala, dan tatapan lelaki itu berubah seperti monster kelaparan.
"Gue sama Ganesha ke sini bareng, mana bisa lo suruh gue balik duluan ke Jakarta?" Susah payah Tenggara menahan diri agar tetap tenang pada batasnya.
Kafka berkacak pinggang. Wajahnya semakin terlihat antagonis. Mirip Hades di serial Disney, Hercules. Pokoknya keputusannya bulat, tak boleh ditentang, tak bisa diganggu gugat.
Tapi, Kafka juga lupa kalau Tenggara itu sama keras kepalanya. Jadi semakin kelihatan marah, Tenggara juga semakin kekeuh menentang keputusannya yang semena-mena.
Ganesha dan Selena selaku perempuan lemah lembut berhati baik bak malaikat dibuat pusing oleh kelakukan dua lelaki itu. Pada akhirnya, Ganesha harus lagi-lagi jadi penengah supaya perang tidak pecah.
Dengan suaranya yang lemah lembut (cenderung sudah lelah), dia menarik pelan lengan Kafka, membawanya mundur dan berusaha agar api amarah yang berkobar di dadanya bisa sedikit mereda.
"Jangan bilang lo mau izinin dia ikut?" tembak Kafka, tepat sasaran.
Ganesha memaksakan senyum. Menunjukkan raut wajah yang mewakili perkataan, "Udah, iyain aja daripada terjadi keributan." Yang ujung-ujungnya membuat Kafka kembali mendesah keras.
"Ah, elah, gue kira udah sembuh tololnya. Ternyata belum!" semprotnya.
Sekian lama tak dikatai tolol, ternyata Ganesha rindu juga. Alih-alih kesal, dia malah hanya menganggukkan kepala pelan-pelan. Dada bidang Kafka dia usap berkali-kali, ditepuk sesekali seolah berkata, "Sabar, sabar. Orang sabar disayang Anisa Bahar."
Kafka kesal setengah mati. Tapi pada akhirnya dia tak punya pilihan selain mengalah. Dengan berat hati, dia biarkan koper Tenggara dioper kepadanya, dimasukkan kasar ke dalam kamar. Masa bodoh body mulusnya lecet karena terbentur dinding. Anggap saja itu harga yang setimpal untuk menggantikan tubuh Tenggara yang tak jadi dia cakar-cakar.
Tatapan tajam Kafka masih menghujani Tenggara ketika tubuhnya menyingkir dari sisi pintu, membiarkan pintu berat itu tertutup otomatis hingga terdengar bunyi klik.
Kafka masih mendelik penuh amarah sampai beberapa saat setelahnya. Nadinya masih berdetak kencang, dan kalau bisa, dia ingin mengunci Tenggara di kamar lalu membuang kuncinya ke Selat Madura. Biarkan saja, biar lelaki itu membusuk di dalam kamar, mati dalam kesepian dan tak ada yang bisa membawanya keluar!
Sialan. Kafka benar-benar benci Tenggara.
Tanpa sepatah kata pun, dia melangkah pergi, menyeret lengan Ganesha menjauh sebelum penyakit bulol-nya kambuh lagi.
Langkahnya besar-besar dan terburu. Dadanya masih naik turun penuh gejolak. Tapi setelah berjalan beberapa meter, dia menoleh ke belakang dan mendapati Selena yang masih berdiri canggung di lorong. Kafka menghentikan langkah, berbalik, dan dengan gerakan cepat menarik tangan gadis itu.
"Ngapain malah bengong!" semprotnya, suaranya masih sekeras desisan ular kobra yang baru bangun dari tidur panjang.
Kembali dengan langkah terburu, Kafka menggandeng para gadis di kedua tangannya. Bak seorang Raja yang sedang ingin mengajak jalan Ratu dan Permaisurinya.
Sementara Tenggara, dia hanyalah pelayan kerajaan yang tak punya kuasa untuk memberontak. Pada akhirnya yang bisa dia lakukan hanyalah mengekor tanpa banyak protes, hanya mendesah sekali dan menggerutu pelan kepada diri sendiri.
......................
Liburan dadakan mereka dimulai dengan mengelilingi Tunjungan Plaza. Para gadis asyik berbelanja, sedangkan para lelaki mengekor dengan ketegangan yang tak kunjung reda.
Berjam-jam mereka berkeliling. Belasan tas belanja sudah memenuhi kedua tangan para gadis, tetapi mereka seakan kompak tidak mau berhenti. Seperti sudah berencana menguras habis isi kartu debit milik Kafka yang lelaki itu sodorkan sebelumnya.
Kafka sih tidak masalah uangnya dihambur-hamburkan untuk berbelanja, asal dua kesayangannya senang. Hanya saja, jika boleh jujur, dia sudah kelelahan. Kakinya serasa mau copot. Kesenggol sedikit saja, tubuhnya bisa jadi meleyot.
"Masih banyak yang mau dibeli?" tanyanya dengan nasa putus asa. Dia berhenti di depan toko baju branded, bersisian dengan manekin botak tempat mendisplay setelan kasual pria.
Ganesha terdiam dan pura-pura berpikir, hanya untuk berakhir menyengir kuda. Dengan santainya dia menganggukkan kepala, betulan tak merasa berdosa.
Rasa-rasanya, Kafka ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tak habis pikir dari mana para gadis itu mendapatkan kekuatan untuk berkeliling mal yang besarnya hampir mendekati jagad raya (ini lebay, biarkan saja).
"Kalau capek, tunggu di mobil aja," usul Selena.
Kafka menatap gadis itu dengan sorot mata lelah dan putus asa. Lalu bagaimana dengan Tenggara? Apa dia harus menunggu di mobil dan membiarkan si kunyuk itu mengekor pada dua kesayangannya?
Tentu saja tidak!
"Nggak," tolak Kafka. Kepalanya menggeleng ribut. Copot, copot, deh, kakinya. Daripada harus menitipkan Ganesha dan Selena pada Tenggara. Kali terakhir dia membiarkan Ganesha dibawa pulang oleh lelaki itu, hasilnya kan tidak baik.
"Udah, tunggu di mobil aja." Ganesha dengan bisikan setannya. Entah kenapa hari ini dia berubah menjadi sangat tidak ada akhlak. Dengan entengnya dia memindahkan tas belanja miliknya dan Selena ke tangan Kafka, lalu menggamit lengan partner in crime-nya untuk diajak berkeliling dan kembali berbelanja.
Kafka hanya bisa melongo, tapi tetap harus menerima dengan lapang dada. Tak butuh semenit, Ganesha dan Selena sudah kembali berlenggak-lenggok seperti supermodel dalam acara peragaan busana.
Ketika dia menyadari Tenggara di sebelahnya hendak ikut mengayun langkah, Kagak seketika berseru heboh, "Mau ke mana lo? Enak aja main pergi! Bantu bawa nih!" Lalu mengoper sebagian tas belanja pada Tenggara.
Langkahnya kemudian terayun lebih dulu. Lebar-lebar, meski kakinya sudah terasa pegal dan mulai keram.
"Buruan dikit jalannya, mulut gue udah asem pengen nyebat."
Tak ada sahutan.
Tapi Kafka tahu Tenggara patuh mengekor ketika suara langkahnya turut terdengar.
Di belakang, kepala Tenggara sudah penuh sumpah serapah. Entah kapan bisa direalisasikan, yang jelas dia kini punya satu keinginan baru: mengikat tubuh Kafka di kursi, menyumpal mulutnya, lalu menggelitik seluruh tubuhnya sampai lelaki itu mati lemas.
Demi apa pun, Tenggara benci sekali pada Kafka!
Bersambung.....
Weh, Kafka jengkel setengah mampus inu😅