Haii…
Jadi gini ya, gue tuh gay. Dari lahir. Udah bawaan orok, gitu lho. Tapi tenang, ini bukan drama sinetron yang harus disembuhin segala macem.
Soalnya menurut Mama gue—yang jujur aja lebih shining daripada lampu LED 12 watt—gue ini normal. Yup, normal kaya orang lainnya. Katanya, jadi gay itu bukan penyakit, bukan kutukan, bukan pula karma gara-gara lupa buang sampah pada tempatnya.
Mama bilang, gue itu istimewa. Bukan aneh. Bukan error sistem. Tapi emang beda aja. Beda yang bukan buat dihakimi, tapi buat dirayain.
So… yaudah. Inilah gue. Yang suka cowok. Yang suka ketawa ngakak pas nonton stand-up. Yang kadang galau, tapi juga bisa sayang sepenuh hati. Gue emang beda, tapi bukan salah.
Karena beda itu bukan dosa. Beda itu warna. Dan gue? Gue pelangi di langit hidup gue sendiri.
Kalau lo ngerasa kayak gue juga, peluk jauh dari gue. Lo gak sendirian. Dan yang pasti, lo gak salah.
Lo cuma... istimewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoe.vyhxx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
liburan part 1
Matahari belum tinggi, tapi suara motor udah rame di depan rumah Kian. Hari ini jadwalnya: Renang Ceria. Abel datang paling heboh, lengkap dengan pelampung bebek kuning yang melingkar di pinggang. Menggendong tas kecil dan botol air besar.
“Kita ke kolam renang, bukan taman air anak TK, Bel,” kata Adip sambil ngakak ngeliat gaya Abel.
“Gue cuma antisipasi. Gue trauma kejebur waktu lebaran kemarin,” bela Abel sambil mendorong helmnya ke kepala Kian biar cepat naik motor.
Rohit yang membawa motor paling depan, sudah pakai kacamata hitam dan playlist di speaker bluetooth-nya memutar lagu-lagu summer vibes. “Let’s go, squad! Hari pertama harus epic!”
Sesampainya di kolam, mereka langsung nyebur. Cipratan air, suara tawa, dan teriakan Abel yang nggak bisa berenang bikin suasana bener-bener hidup. Tapi di antara semua kegilaan itu, Kian terkadang diam. Matanya menatapi air... atau lebih tepatnya, sesekali ngeliatin Rohit dari pinggir kolam.
“Ngapain lo bengong?” tanya Rohit tiba-tiba, muncul dari belakang, rambut basah menempel di jidat.
“Enggak. Lagi mikir… air ini asin atau kayak air mata,” jawab Kian asal, bikin Rohit geleng-geleng sambil dorong Kian ke kolam.
"Kampret!!" Teriak kian
Setelah puas berenang, mereka duduk santai di bawah payung besar pinggir kolam. Minuman dingin di tangan, dan badan yang sudah mulai terasa capek.
“Eh, lo semua pernah suka sama orang yang gak mungkin bisa lo punya gak?” tanya Kian tiba-tiba, matanya mandang langit.
Semua langsung terdiam. Bahkan Abel pun gak jadi gigit kentang gorengnya.
“Serius nih?” tanya Adip.
“Serius,” jawab Kian singkat.
Rohit yang duduk sebelah Kian cuma nyender dan jawab pelan, “Pernah. Tapi bukan soal bisa punya atau enggaknya. Kadang… cuma pengen deket aja udah cukup.”
Mata Kian langsung mencuri pandang ke arah Rohit. Tapi dia tahan. Diam. Senyum tipis aja.
Tentu saja dengan Abel yang diam diam menatapi kian . “Yah… kalo gue sih mending langsung tembak. Daripada digantung gak jelas,” celetuk Abel sambil ngunyah.
“Mau tembak juga... kalo dia liat lo aja enggak, sama aja kayak nembak tembok,” sahut Adip Yang melirik Abel. Abel yang ditatap adip seperti mengejek perasaannya segera menendang pahanya pelan.
Mereka semua ketawa. Tapi dalam tawa itu, ada satu hati yang masih terdiam, menunggu waktu yang pas.
......................
.
.
Jeevan masih duduk di mejanya, tenggelam di antara tumpukan berkas yang seakan terus memanggil namanya. Tapi pikirannya melayang entah ke mana, bukan ke pekerjaan, tapi ke seseorang Ia memikirkan beberapa waktu untuk mengisi setidaknya sehari dua hari bersama dengan kian.
"Bian. Tolong panggil darell keruangan saya." Panggilnya melalui interkom.
"Kenapa bang?" Panggil darel diruangan Jeevan.
Dareel adalah salah satu orang kepercayaan Jeevan. Karena keberadaan darel yang sudah berada dikeluarga Jeevan sejak kecil dan merawat Jeevan serta menjadi teman main Jeevan sejak lama. Bahkan Jeevan menyuruh darel untuk memanggilnya kakak saat sedang berdua.
Darel yang merupakan sopir pribadi Jeevan sekaligus orang yang Jeevan percaya dan ia menganggap bahwa darel adalah keluarga dekatnya. Jadi bisa dibilang darel adalah orang yang posisinya sama dengan asisten Jeevan. Usia darel dibawah Jeevan 3 tahun. Dan usia kian dibawah darel 7 tahun. Jadi bisa dilihat perbedaan usia Jeevan dan kian.
Sambil melepaskan jasnya. Jeevan menghela nafas. "Aku harus gimana ya?" Tanya Jeevan
Darel mengernyit bingung "Gimana apanya bang ?"
"Kamu tau kian kan ?" Tanya Jeevan memastikan.
Darel mengangguk.
"Dia lagi liburan sama temennya. Dan gak mengirim pesan sama sekali" Jeevan seperti ABG galau . Menunggu kekasihnya memberikan kabar gembira.
Sambil duduk darel menelisik raut wajah orang yang sudah ia anggap sebagai kakak kandungnya. "Katanya bang Jeevan gasuka. Risih. "
"Siapa yang bilang begitu, aku.. enggak"
"Oh" darel mendelik " bukannya seneng ga digangguin terus?"
"Rasanya aneh. Kayak ada yang kurang"
"Kurang nyaman ya bang?"
Jeevan menoleh kearah darel yang sedang menahan tawanya. "Kamu kenapa?"
" Gapapa bang.. lucu aja " darel menutup mulutnya menahan tawa.
"Udah bang.. kalo suka ya suka aja. Takutnya diambil orang. Masih muda lho anaknya. "
" Yang aku tahu bang Jeevan ga mempermasalahkan orientasi seksual orang tuh" Belanya.
" Harus dipikirin kedepannya juga. Dia kalau pengen pacaran gapapa. Tapi dia minta nikah darell., bisa gila saya "
Darell sontak kaget. "Nikah?" Tanyanya membeo.
"Ya mana boleh. Dia aja belum 17 tahun. " Tolaknya.
Jeevan kembali mengingat percakapan pertama yang tengah ia bicarakan dengan kian ditaman sore itu. Mata berbinar yang mendadak serius itu tidak mungkin sedang bercanda.
"Terus ini gimana ? Abang mau nyusulin dia liburan ?" Tanyanya penasaran.
Niat awal memang seperti itu. Tapi sepertinya malah mengganggu kesenangan kian dan teman temannya.
"Enggak. Siapa yang bilang begitu" tolak Jeevan.
Darel tahu Jeevan sedang berbohong.
"Iya iya oke. Terus gimana bapak Jeevan yang terhormat. Haruskah kita pergi kesuatu tempat? Biar darel antarkan dengan selamat" ejeknya .
" Kamu pernah pacaran gak?" Tanya Jeevan melirik darell.
"Pernah. Sama Aris teman lama Abang "
"Kalau itu tahu. Yang lain"
" Gak pernah. Orang saya kerja terusssss.. gak pernah dapat libur yang bener bener libur. Pasti ada aja gebrakannya. "
"Yang nganterin dokumen, perwakilan meeting, Dann yang lebih ribetnya, udah jauh jauh datang ke Dubai malah salah jadwal. Posisi pesawat delay 5 jam. Gak ngotak emang si bian"
" Nah. Salahin aja si bian. Kan yang ngurus jadwal dia. "
" Ya salah Abang juga. Ngapain double double jadwalnya."
Jeevan yang mendapat marah dari darel segera terdiam. Karena kalau darel sudah cerewet sedikit susah untuk meredamnya. Apalagi yang dilontarkan adalah semua unek unek yang ia pendam.
"Terus.. saya harus gimana ini?" Tanya Jeevan ragu
"Chat balik lah bang. Yang gentle gitu lho. Pasti kian juga punya rasa bosen diabaikan terus. "
"Aneh.. kekuasaannya banyak tapi ngadepin kian bingung"
'tapi kalau diliat liat.. ini emang pengalaman pertama bang Jeevan ditembak sama cowok. Statusnya dari dulu memang tidak pernah pacaran. Tapi dari dulu bang Jeevan selalu ditembak cewek. " Batin darell mendelik sembari menyilangkan kedua tangannya didepan dada, sambil berpikir keras bagaimana cara membantu orang yang tengah kebingungan karena sedang kasmaran.
" Kalau suka bilang aja bang. Nanti plong rasanya. Beneran.. ga bohong"
Belum sempat Jeevan merespons, pintu ruangannya terbuka. Bian masuk dengan membawa tablet dan beberapa dokumen di tangan.
“Pak Jeevan, sore ini Bapak memiliki pertemuan penting dengan klien,” ucapnya sambil menyodorkan jadwal.
“Jangan lupa juga untuk membawa buket bunga. Nanti akan saya siapkan, sesuai permintaan klien,” lanjutnya dengan nada profesional.
Jeevan hanya mengangguk pelan, pikirannya masih tertinggal pada percakapan sebelumnya bersama Darel. Namun, Darel tidak luput memperhatikan gerak-gerik Bian. Tatapan mata Bian saat memandang Jeevan terasa berbeda. Ada sesuatu yang tersirat, namun belum diucapkan.
Begitu jadwal telah disampaikan, Bian segera melangkah keluar dari ruangan.
“Saya permisi dulu, Pak,” pamitnya singkat.
Tanpa menunggu tanggapan Jeevan yang tampak masih tenggelam dalam lamunannya, Darell menyusul Bian ke luar ruangan.
"Udah kan bang? Aku mau pergi dulu. "
Pamit darel keluar tanpa persetujuan Jeevan yang masih melamunkan beberapa hal.
......................
.
.
"Buket bunga buat apaan ?" Tanya darel yang ternyata mengikuti bian dari belakang,
"Buat acara resmi anaknya pak Wira nanti sore" jelas bian.
"Pak Wira?" Tanya darel mencoba mengingat.
"Peresmian hotel "
"Ooohhh.. "
"Yahhh.. padahal nanti sore pak Jeevan mau ketemu sama pacarnya.. gajadi dong . " Sulutt darel
" Pacar ? Pak Jeevan punya pacar?"
Darel mengangguk sambil tersenyum.
"Akhirnya direktur kita ga menjomblo " kata darel agak keras.
"Jangan ngasih berita yang ga bener. Nanti denger pak Jeevan jadi gaenak." Gerutu bian.
"Ya belum pacar sih. Masih calon"
"Calon?" Tanya bian lagi.
"Iya. Calon istri" kata darel yang membuat bian sontak duduk lemas.
.. Sekilas, wajah Bian tampak pucat. Seperti tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Hatinya seperti dihempas ombak besar. Pria yang selama ini diam-diam ia kagumi ternyata telah memiliki seseorang di hatinya.
Namun, Darell tidak tinggal diam. Ia menikmati momen tersebut. Baginya, mengusik Bian yang diam-diam menyimpan rasa pada Jeevan adalah hiburan tersendiri. Ia tahu bahwa perasaan itu belum benar-benar hilang. Dan selama perasaan itu masih ada, Darell merasa berhak memainkan peran sebagai penggoda, pengganggu, dan penguji hati Bian.
Darrel segera pergi dari sana setelah tertawa puas.
"Apa jangan jangan si bocah cengeng kemarin itu?"
"Hah.. hahahaa.. " sambil tersenyum dan merapikan rambut dan bajunya, " kalo cuma dia gampanglah" guman bian kesal.
Ia membenarkan niatnya untuk mendekati Jeevan. Mungkin sekarang itu masuk ke opsi kedua, opsi pertamanya adalah merusak hubungan Jeevan dengan kian. Setelah itu. Baru ke opsi kedua,
"Hmmm... Kayaknya bakal seru nih!" Batin darel dibalik pintu ruangan bian.
.
.
.
.
...****************...