Wira, pria pemalas yang sering membuat orang tuanya marah. Selain pemalas, Wira juga seorang pengangguran dan hobby menyaksikan film dewasa.
Suatu hari, Wira mengalami peristiwa yang membuatnya tiba-tiba berada di dunia lain dan terjebak dalam masalah tujuh wanita cantik yang menganggap mereka adalah bidadari.
Untuk memecahkan misteri keberadaannya di dunia itu, mau tidak mau Wira harus menjadi pelindung tujuh bidadari tersebut.
Berbagai masalah pun menghampiri Wira, termasuk masalah asmara terlarang antara manusia dan para bidadari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terpaksa Sandiwara
Tercengang, itulah reaksi yang ditunjukkan oleh Wira dan ketujuh bidadari, saat mendapat pertanyaan dari sang Kakek. Untuk beberapa saat, mereka saling diam dan saling pandang satu sama lain.
Mereka bingung, apa yang harus mereka jawab. Para bidadari mendadak diserang dilema.
"Memangnya, yang boleh memiliki bulu Angsa Emas itu, hanya kaum bidadari saja, Kek?" tanya Wira dengan sikap yang dibuat setenang mungkin.
Pikirannya sungguh bekerja dengan sangat cepat untuk menyangkal pertanyaan sang kakek yang menyebut soal hubungan bidadari dan bulu emas di tangannya.
"Memangnya wanita biasa tidak boleh memiliki bulu seperti itu?" lanjut Wira.
Untuk sejenak, si Kakek tertegun begitu mendengar jawaban yang keluar dari mulut Wira. Namun tak lama setelahnya, Kakek mengulas senyum sambil mengalihkan pandangannya ke arah bulu yang dia pegang.
"Yang kamu katakan memang benar. Kakek hanya ingin tahu saja, apakah mungkin ..."
"Sudah cukup lah, Kek," si Nenek tiba tiba bersuara, menghentikan ucapan suaminya, lalu dia merebut kembali bulu yang Kakek pegang. "Tinggal diberikan saja apa susahnya. Lagian yang menemukan juga Nenek, kenapa Kakek yang ceweret, tanya ini itu segala?"
Si Kakek terperangah. Dia tidak menduga istrinya akan bereaksi seperti itu. "Kakek kan cuma pengin tahu, apa salahnya sih, Kakek tanya?" protes Kakek dengan wajah cemberut.
"Ya salah," Nenek berkata dengan tegas dan tidak mau kalah. "Mereka itu tamu dan mereka juga bukan penjahat. Jangan membuat tamu kita tidak nyaman karena pertanyaan Kakek yang seperti sedang menyelidiki. Lagian kalau mereka bidadari, Kakek mau apa? Mau nikah lagi sama mereka? Iya?"
Kakek semakin ternganga tak percaya mendengar ucapan istrinya. Pria tua itu memilih diam dengan hati yang mengumpat. Sedangkan Wira dan ketujuh bidadari hanya mampu tersenyum tipis, menyaksikan sikap Nanek dan Kakek yang berdebat hanya karena bulu.
"Ya udah, kalau bulu ini memang milik kalian, Nenek akan memberikannya," ucap si Nenek sambil menyodorkan bulu itu kepada Wira yang duduknya paling dekat dengan sepasang kakek nenek tersebut. Dengan senang hati, Wira menerima bulu itu.
"Terima kasih, Nek," ucap Wira setelah bulu berada di tangannya. Wira lalu menolah ke arah tujuh bidadari dan menyerahkan bulu itu kepada mereka. "Apa benar ini bulunya?"
Salah satu bidadari menerima bulu itu dengan senang hati. Begitu bulu sudah berada di tangan bidadari, bulu tersebut tiba-tba mengeluarkan cahaya.
Sayang sekali yang bisa melihat cahaya hanya para bidadari. Wira dan sepasang Kakek dan Nenek itu tidak bisa melihatnya.
"Iya benar, bulu ini milik Dewi Merah," ucap Dewi hijau yang kebetulan memegang bulu angsa tersebut.
"Dari mana kamu tahu kalau itu adalah milik Dewi Merah?" tanya Wira yang tadi sempat terkejut dengan ucapan Dewi hijau. "Emang ada tandanya?"
Dewi hijau tersenyum. "Kan ini barang kesayangan, pasti kita bakalan tahu, bulu ini milik siapa," jawab dewi hijau dusta.
Karena di sana ada manusia lagi selain Wira, Dewi hijau tidak jujur, soal tanda yang bisa menunjukan identitas pemilik bulu tersebut.
Bulu tersebut sebenarnya bisa mengeluarkan cahaya untuk menentukan siapa pemiliknya. kebetulan, tadi cahaya yang memancar dari bulu itu adalah cahaya berwarna merah.
"Ya sudah, urusan bulu sudah selesai," ucap Nenek. "Sekarang sudah malam, mending kalian tidur. Kalian, biasa tidur bersama atau bergiliran?"
Wira dan para bidadari kembali dibuat tertegun. "Maksudnya, Nek?" tanya Wira bingung.
"Loh, kok malah tanya maksudnya?" si Nenek malah heran dengan pertanyaan Wira. "Kalian kan suami istri. Kalau tidur itu, bareng jadi satu kamar atau bergantian. Masa gitu aja tidak maksud."
Wira sontak terperangah, begitu juga dengan ketujuh bidadari. Mereka tidak menyangka ucapan asal yang keluar dari mulut Dewi merah, membuat semuanya terjebak dalam situasi yang tidak terduga. Tentu saja mereka bingung untuk memberi jawabannya.
"Tidak usah malu," kini si Kakek kembali bersuara. Sepertinya Kakek mengerti dengan sikap para tamunya yang terlihat salah tingkah.
"Karena di sini ada kamar tiga yang akan kalian gunakan, mending dibagi. Yang kakinya terluka, lebih baik tidur dengan suaminya."
Wajah Wira seketika memerah. Saat itu juga Wira jadi salah tingkah. Bukannya Wira tidak senang berada dalam satu kamar dengan wanita. Apa lagi wanita itu memang wanita yang sangat cantik berpangkat bidadari, Wira jelas tidak ingin menolak kesempatan itu.
Tapi yang jadi pertanyaan besar dalam benak Wira adalah, apa dia mampu menahan diri melewati malam, dalam satu kamar dengan wanita cantik berpakain seksi itu.
"Benar itu," Nenek malah mendukung sang Kakek. "Sebagai suami, memang harus merawat istri yang sakit. Udah sana, kalian tidur. Nenek sama Kakek juga mau tidur."
"Baik, Nek," ucap Wira dengan suara agak tergagap. "Kalau begitu Nenek dan Kakek lebih baik masuk dulu aja ke kamar. Kami belum ngantuk, dan masih ingin ngobrol," kilah Wira.
Sepasang Nenek dan Kakek itu mengiyakan. Mereka berdua beranjak lalu masuk ke salah satu kamar yang sering digunakan oleh Kakek dan Nenek tersebut. "Kalian juga tidur sana," ucap Wira kepada tujuh bidadari.
"Lah kamu sendiri gimana, Kang? Kamu tidak tidur?" tanya Dewi Jingga.
"Ya tidur," jawab Wira. "Tapi aku tidur di sini saja."
"Loh!" para bidadari nampak terkejut. "Kenapa Kang Wira malah tidur di sini?" tanya Dewi hijau.
"Lah, emamg aku harus tidur dimana? Nggak mungkin, kan? Kalian setuju aku sekamar dengan Dewi kuning?"
Untuk sejenak ketujuh bidadari saling pandang. "Tapi kan Nenek dan Kakek tahunya kita suami istri, Kang. Nanti kalau mereka curiga gimana?" ucap Dewi Biru lirih.
"Udah sih, Kang, jangan dibuat bingung," ucap Dewi Kuning.
"Kan kita cuma tidur bareng, tidak melakukan apa-apa. Daripada kita ketahuan membohongi mereka. Nenek dan Kakek sudah baik loh sama kita. Kita diberi makan dan tumpangan untuk istirahat. Kalau mereka tahu, kita bohong, pasti mereka akan kecewa."
Wira semakin bingung harus menunjukan ekspresi seperti apa untuk saat ini. Meski jiwa laki lakinya girang bukan main karena tidak menyangka, akan tidur dengan wanita cantik.
"Baiklah. Coba kalau Dewi merah tadi nggak ngomong kalau kalian itu istri aku, pasti ..."
"Udah, nggak usah protes," potong Dewi merah. "Jujur aja deh, sebenarnya Kang Wira juga senang kan bisa sekamar sama bidadari? Ngaku aja."
Wira langsung celingukan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Dih, tinggal ngomong iya gitu, pakai protes segala. Dahlah, aku ke kamar dulu. Kang Wira, bantu Dewi kuning jalan ya?"
Wira kembali ternganga. Di saat dia hendak melayangkan protes, keenam bidadari malah melenggang begitu saja sambil menahan senyum dengan sikap Wira yang agak frustasi. Sekarang di ruang tengah rumah tersebut tinggal Wira dan Dewi kuning saja.
"Ayo, kang kita ke kamar," ajakan yang begitu lembut dari wanita cantik, membuat Wira gugup dan semakin salah tingkah.
berarti masih ada enam bidadari lagi yang mesti di cairkan...hahahhaa...
dengan keahlian jemarimu itu Thor, bisalah di selipkan nama nama pembaca cowok sebagai tokohnya, pastinya kan kami pasti mengagumi karyamu ini Thor..
Moso yoo cuma tokoh Wira saja toohh...hihihiiiiii ngarep banget sih saya yaaaa...🤭🤭🤭
..hemmm
wes, tambah lagi kopinya Thor, gulanya dikiiiiitt aja...
🤭