Setelah mengorbankan dirinya demi melindungi benua Tianlong, Wusheng, Sang Dewa Beladiri, seharusnya telah tiada. Namun, takdir berkata lain—ia terlahir kembali di masa depan, dalam tubuh seorang bocah lemah yang dianggap tak berbakat dalam seni bela diri.
Di era ini, Wusheng dikenang sebagai pahlawan, tetapi ajarannya telah diselewengkan oleh murid-muridnya sendiri, menciptakan dunia yang jauh dari apa yang ia perjuangkan. Dengan tubuh barunya dan kekuatannya yang tersegel, ia harus menemukan jalannya kembali ke puncak, memperbaiki warisan yang telah ternoda, dan menghadapi murid-murid yang kini menjadi penguasa dunia.
Bisakah Dewa Beladiri yang jatuh sekali lagi menaklukkan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15 Ancaman Mu Xie: Suasana Keluarga Wu Yang Hangat
Malam menjelang di Sekte Phoenix. Langit berwarna ungu tua, dan bulan menggantung pucat di antara awan-awan tipis.
Di salah satu sudut halaman belakang yang remang-remang, terdengar tawa riuh memenuhi udara. Beberapa murid berkumpul mengelilingi meja batu, menikmati makanan, tawa, dan keangkuhan seorang pemuda di tengah-tengah mereka.
Mu Xie duduk paling santai di antara semuanya, menyilangkan kaki di atas tubuh gemuk Bao Gu yang dijadikannya sebagai kursi hidup. Tangan kirinya menggenggam cawan anggur, sementara tangan kanannya menunjuk-nunjuk ke arah salah satu anak buahnya sambil tertawa keras.
“Haha! Dan kalian tahu? Hanya dengan satu pukulan—satu pukulan saja—bocah dari keluarga Tan itu langsung mencium tanah! Dasar lemah!”
Tawa meledak dari sekelilingnya.
“Seperti yang diharapkan dari Tuan Muda Mu!” seru salah satu anak buahnya.
“Ranah Pejuang Bela Diri Tingkat 7 di usia tujuh belas tahun—siapa yang bisa menyaingimu di tingkat ini?”
Mu Xie menyeringai, seolah semua pujian itu adalah haknya yang mutlak. Ia menyipitkan mata, memiringkan kepala, lalu berkata dengan nada malas, “Tentu saja. Itu hanya pemanasan. Setelah aku menang di turnamen nanti, aku akan diangkat sebagai Murid Teladan dan mendapat akses ke Paviliun Api Ungu… Hahaha!”
Bao Gu mengerang pelan. Keringatnya menetes, bukan hanya karena berat tubuh Mu Xie di punggungnya, tetapi juga karena satu hal yang membayangi pikirannya sejak siang tadi.
“Hm? Gemuk, kenapa kau terus gemetaran sejak tadi? Masakan kita terlalu pedas, ya?” Mu Xie menoleh sedikit, menyadari Bao Gu yang tak seperti biasanya.
Beberapa anak buahnya kembali tertawa.
Bao Gu membuka mulut perlahan, suaranya serak dan kecil. “T-Tuan Muda… a-aku… a-ada… pesan…”
“Hah?” Mu Xie menurunkan kakinya dan menatap Bao Gu dengan satu alis terangkat. “Pesan? Dari siapa? Jangan bilang dari—”
“…Wu Shen,” gumam Bao Gu, hampir tak terdengar.
Suasana mendadak senyap. Beberapa anak buah saling berpandangan ketika tawa mereka terhenti seketika.
Mu Xie tertawa… namun nadanya berubah. Bukan karena geli, tapi karena heran.
“Haha… kau bercanda, kan?”
Bao Gu menunduk dalam-dalam, tubuhnya kaku. “Dia… dia muncul di taman sore tadi. Aku… aku tak sengaja menabraknya. Dia melihatku.”
“Dan kau masih hidup?” tanya salah satu anak buah Mu Xie dengan nada tak percaya.
“Dia tidak membunuhku…” Bao Gu menelan ludah, lalu mengangkat wajahnya sedikit. “Tapi… dia bilang… dia akan datang… mencarimu, Tuan Muda.”
Mu Xie terdiam, cawan anggurnya berhenti di tengah perjalanan ke bibirnya.
“Dia juga bilang…” Bao Gu menarik napas panjang. “Sampaikan pada Mu Xi… siapkan kursi roda… karena dia akan… membuatmu lumpuh. Selamanya.”
Beberapa anak buah menahan napas.
Sejenak, hanya suara dedaunan yang bergesekan dengan angin malam yang terdengar.
Tiba-tiba—KRAK!
Mu Xie menghantamkan cawan anggurnya ke tanah hingga pecah berkeping-keping.
“Apa kau bilang tadi?” suaranya pelan, namun tajam seperti pisau yang menggores tenggorokan.
Bao Gu membeku. “A-aku hanya menyampaikan… dia terlihat berbeda… lebih… menyeramkan.”
Salah satu anak buah mencoba mencairkan suasana. “Mungkin… mungkin saja dia memang belum mati saat itu, Tuan Muda. Mungkin hanya sekarat?”
“Sekarat?!” Mu Xie menoleh tajam, matanya menyala penuh amarah.
Ia berdiri dan berjalan perlahan ke arah anak yang bicara tadi, menunjuk dadanya penuh ancaman.
“Aku menghajarnya sampai dia tidak bisa bergerak. Tiga tulangnya patah, wajahnya hancur, dan aku sendiri yang menyeretnya ke Hutan Bayangan. Kau tahu apa itu Hutan Bayangan, hah?!”
Anak buah itu menunduk cepat. “T-tempat terlarang…”
“Benar. Bahkan aku, di ranah tingkat tujuh, tak berani berlama-lama di tempat itu. Hutan itu penuh dengan beast buas yang kelaparan, energi jahat yang menyerap jiwa… Kalau Wu Shen masih hidup saat itu—dia tidak akan bertahan bahkan hanya untuk semalam.”
Mu Xie mendesis pelan, menatap langit malam. “Tapi sekarang dia kembali… dengan wajah yang bisa tersenyum padaku dan mulut yang bisa mengancam?”
Ia mengepalkan tangannya.
“…Menarik.”
Ia kembali duduk, kali ini bukan di atas Bao Gu, tapi di kursi batu. Wajahnya serius—bukan karena takut, tapi tertarik.
“Baiklah, Wu Shen… kalau kau benar-benar kembali dari neraka, maka aku akan mengirimmu kembali ke sana.”
Ia menyeringai. “Kali ini… tanpa kesempatan untuk bangkit lagi.”
...
Matahari pagi menyelinap di antara sela-sela dedaunan pohon aprikot, menciptakan bayangan-bayangan lembut di halaman depan rumah keluarga Wu.
Angin membawa aroma embun dan kayu basah, menyatu dengan bau bubur hangat yang mengepul di atas meja kayu sederhana.
Wu Shen duduk di depan meja makan, mengenakan pakaian sederhana berwarna abu-abu. Di hadapannya, semangkuk bubur jagung dan sepiring acar sayur menemani aroma teh hangat yang diseduh ayahnya.
Wu Ruoxi, mengenakan jubah tempur setengah terbuka dengan rambut masih basah, masuk dari halaman depan sambil menguap kecil.
“Hmm~ pagi yang cerah, dan akhirnya aku bisa pulang dan makan masakan rumah lagi,” ucapnya begitu memasuki rumah.
Ini bukan pertama kalinya Wu Ruoxi pulang pagi karena tugas beratnya sebagai pemimpin kelompok elitnya.
Wu Guan—yang masih mengenakan celemek dapur—tersenyum sambil menuangkan teh ke cangkir istrinya.
“Sarapan dulu, setelah itu kau bisa istirahat,” ujar Wu Guan dengan ramah kepada istrinya sambil mengusap rambut Wu Shen. "Maaf, ayah hanya bisa memasak masakan sederhana."
Wu Shen tertawa kecil. “Asalkan tidak gosong, aku bisa makan apa saja.”
Ruoxi duduk sambil meregangkan tubuhnya, lalu melirik ke arah putranya dengan tatapan menyipit. “Ngomong-ngomong, Shen’er... kau sudah dengar pengumuman dari Patriark, kan?”
Wu Shen mengangkat alis, masih mengunyah makanannya pelan. “Tentang pertandingan bela diri antar murid itu?” Ia meneguk teh sebelum melanjutkan. “Ya, aku sudah tahu.”
Wu Guan menoleh. “Dengar-dengar kau juga dapat hukuman dari Guru Ye Jiang, ya?” Nada suaranya setengah penasaran, setengah prihatin. “Dia itu memang... bukan guru yang baik. Terlalu kasar pada murid-muridnya.”
Wu Shen mengangguk setuju. “Guru Ye Jiang punya temperamen seperti kuda liar. Dia mengadu seperti anak kecil hanya karena aku—eh—‘menyentuh’ punggungnya saat latihan kuda-kuda.”
Wu Guan mengerutkan dahi. “Menyentuh?”
Ruoxi mengangkat alis. “Apa maksudmu ‘menyentuh’?”
Wu Shen mengangkat bahunya dengan ekspresi polos. “Aku menendangnya, tepat di punggungnya untuk menguji apakah kuda-kudanya jauh lebih baik dari milikku.”
CLANG!
Sendok Wu Guan jatuh ke lantai bersamaan dengan suara clink dari garpu Ruoxi yang terpental dari jarinya.
Wu Shen melirik mereka berdua. “Apa? Dia lebih dulu memukulku saat latihan, padahal aku tidak salah. Aku cuma membalasnya.”
Wu Ruoxi menggeleng pelan, meletakkan tangannya di dahinya. “Anak ini... punya mulut santai, tapi tangan pembunuh.”
Wu Guan mendesah. “Kau tahu, Shen’er… lain kali kalau kau marah, jangan menendang gurumu. Itu bukan cara menyampaikan kritik.”
Wu Shen mengangkat bahu lagi, seolah tak peduli. “Aku akan memperbaiki diri, tenang saja.”