Annisa jatuh cinta pada Iman, seorang montir mobil di bengkel langganan keluarganya.
Sang Papa menolak, Nisa membangkang demi cinta. Apakah kemiskinan akan membuatnya sadar? atau Nisa akan tetap cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Nisa tidak menyangka, aksinya mencuri uang Iman itu tersebar ke seluruh keluarga Iman. Mereka juga tahu Nisa membayar hutang pada mamanya.
Mereka mulai menghasut Hasby.
"Abang di kasih berapa sama Iman?" Hasby menggeleng.
"Iman itu banyak duitnya, Bang. 'Kan pakai tanah Abang, harusnya Abang dapat bagian, dong?"
"Iman baru merintis. Mungkin nanti." jelas Hasby. Tapi ia mulai terpancing. Ia memang mendapat jatah berupa sembako tiap bulan dari Nisa. Iman juga membayarkan listriknya jadi ia tidak pernah dipusingkan lagi dengan urusan bayar listrik.
"Apaan sih, Bang! Si Nisa tuh ngasih Mak nya satu setengah juta sebulan! Sekarang mereka bisa beli TV juga!"
Hasby diam. Hatinya mulai panas. Pemancingan itu 'kan tanahnya? Kenapa Dia tidak mendapat bagian?
Iman pun di panggil. Lagipula Iman ini terlalu terbuka pada saudara saudaranya itu. Kalau bukan ia yang memberitahu mereka mengenai Nisa yang membayar hutang pada mamanya, darimana mereka tahu?
Akhirnya ia pusing sendiri.
"Iman.." bla bla bla..
Intinya bang Hasby meminta Iman membuat pembukuan. Ia ingin tahu dengan pasti berapa keuntungan pemancingan tiap bulan. Ia ingin mendapatkan haknya.
Iman pulang dengan kepala pusing. Itu pemancingannya, mengapa ia harus melaporkannya pada bang Hasby?
"Makanya kalau ada lebih tuh mikirin saudara dulu!" cicit Yanah.
"Jangan orang lain di kasih duit, yang di sini nggak kebagian!" tentu saja Nisa tidak terima.
"Nisa bayar hutang, Teh. Bukan ngasih Mama."
"Pikirin saudara dulu, jangan orang lain."
"Itu Mama Nisa, Teh! Bukan orang lain!"
"Kamu tuh usaha numpang sama Abang! Tau dirilah sedikit!" Iman menahan Nisa yang masih ingin menjawab kakak iparnya itu.
Setelah menumpahkan kata kata julidnya, Yanah pun berlalu dengan santainya. Ia sudah puas melihat Nisa tersakiti dengan kata katanya.
"Sudah." bisik Iman. Nisa mengerucutkan bibirnya.
"Tapi Aku beliin sembako buat Abang itu nggak sedikit, Pah." itu juga karena Nisa tahu diri. Bukan permintaan Iman.
Bagaimana kelanjutan pemancingan mereka?
Iman yang tidak mengerti pembukuan melemparkan tugasnya itu pada Nisa.
"Mamah pegang duit ikan juga sekarang." Ia mengulurkan beberapa lembar warna biru.
"Duit ikannya memang cuma segini?" kata Nisa setelah menghitung uang itu.
"Iya. Habis belanja pelet 1 karung."
Nisa mulai mencatat.
"Mamah tulis duit dari Papah hari ini segini, ya." Ia menunjukkan catatan itu pada suaminya. Iman tidak mau melihatnya.
"Ya udah." hanya itu ucapnya. Ia tidak mau dipusingkan dengan catatan catatan.
Hati Iman mulai tidak tenang. Entah kenapa, sejalan dengan perasaan hatinya, pemancingan pun mulai sepi. Yang tadinya siang malam selalu ramai sekarang tidak lagi.
"Yang siang udah nggak ada yang mancing." keluh Iman. Lagi lagi ia mulai tidak bersemangat.
Iman ini tipe orang yang mudah patah semangat, ya? Apalagi ia tidak lagi memegang duit ikan, itu sebutannya untuk pendapatan dari pemancing. Pemancingan sepi, otomatis warung pun sepi. Nisa mengurangi pegawai warungnya. Yang semula 3 orang menjadi 2 orang saja.
"Belagu sih jadi orang!" begitu komentar Mumu dan istrinya.
"Mudah mudahan biar tambah sepi." Tapi di depan Iman dan Nisa mereka terlihat prihatin.
"Ya Allah, pada kemana pemancing itu ya, Man?"
"Sekarang banyak pemancingan yang baru buka, Bang. Mungkin mereka pada nyobain ke sana."
"Ah, di mana mana nggak ada pemancingan yang bagus kayak gini, Man. Memang pada buta kali matanya, ya?"
Dalam hati mereka tertawa.
"Nggak tau, Bang." Iman tertunduk lesu.
Jahat ya, mereka?
Mumu bahkan mabok di area pemancingan dengan teman temannya sesama pemancing. Itu membuat Iman marah besar. Mumu yang ia tegur lebih galak lagi darinya. Namanya juga orang mabok. Yang aslinya penakut pun jadi pemberani.
Iman akhirnya mengadukan kelakuan Mumu itu pada Hasby.
"Bang Mumu mabok di empang Saya, Bang!" "Yang bener, Man?" Hasby melotot. Ia sudah pernah memperingatkan sejak awal kalau pemancingan jangan dijadikan tempat untuk minum minuman keras. Apalagi sampai mabok.
"Bener, Bang. Masa ' Saya bohong?"
Hasby langsung menyuruh anak buahnya untuk memanggil Mumu.
"Ada apa, ya?" tanya Mumu heran. Ia baru saja pulang dari rumah Hasby. Tadi Abang seperti tidak ada masalah, kenapa sekarang Abang memanggilnya?
Sampai rumah Hasby ia berpapasan dengan Iman di depan pintu.
Plak!
"Ahh!" Mumu kontan memegang pipinya.
Itu sambutan dari Hasby.
"Apaan sih, Bang?!"
Plak!
Satu tamparan lagi. Kali ini Mumu tidak mengaduh atau protes. Ia menunduk takut di depan Hasby.
"Sudah sadar, belum?!" bentak Hasby. Mumu meringis. Ia tidak mengerti maksud abangnya ini, tapi ia juga takut untuk bertanya.
"Kamu mau jadi pendekar mabok di lingkungan sini? Nggak mandang Abang, ya!" Mumu tercekat. Sekilas bayangan Iman yang berpapasan dengannya di pintu berkelebat di pikirannya.
'Dasar tukang ngadu! Awas Kamu, ya!' dumel hati Mumu.
"Maaf, Bang." di depan Hasby, Mumu terlihat menyesal.
"Awas kalo Kamu berani minum minum lagi! Di manapun!"
"Iya, Bang."
Hati Mumu menjerit.
'Mana bisa, Baaang..!' Minuman keras sudah seperti belahan jiwanya. Mertua lewat juga akan ia abaikan kalau dia sedang bercumbu dengan botol minumannya. Yanti sudah menerima nasibnya menjadi istri seorang pemabok dan penjudi sabung ayam.
"Kalo Kamu masih berani begitu, Abang bukan cuma nabok Kamu lagi, Mu. Tapi Aku cincang Kamu buat campuran perkedel!" tentu saja Hasby tidak serius dengan ucapannya. Ia terlalu menyayangi adiknya ini. Mumu adik yang terlambat menikah seperti dirinya. Hasby juga terlambat menikah, bahkan ia sudah bercerai lagi.
Mumu hanya memiliki 1 anak yang masih kecil, hampir seumuran dengan anak Iman padahal umurnya lebih tua dari Edi yang sudah memiliki anak yang sudah menikah.
Hasby tercenung saat Mumu pamit pulang setelah permintaan maafnya yang berulang ulang.
Hasby sendiri tidak memiliki anak. Setelah kegagalan rumah tangganya ia tidak ingin menikah lagi. Ia bahkan tidak memiliki anak.
*****
"Ini, Pah." Nisa menyerahkan catatan pembukuannya. Iman hanya melihat nya sekilas. Angka angka di buku itu membuatnya pusing. Ia mendorong buku itu menjauh.
"Bilang aja keuntungan bersih bulan ini berapa?" Nisa menunjuk angka yang tertera di barisan paling bawah.
Iman menyipitkan matanya.
"Segini?" tanya Iman. Nisa mengangguk.
"Mamah minta buat nyicil Mama, ya."
"Nanti dulu. Papah buat beli ikan!"
"Beli ikan lagi? 'Kan udah banyak ikannya, Pah."
"Ikan lama udah susah makan, harus selalu ada ikan baru. Biar pemancing senang umpannya ada yang makan." Ooh.., begitu...
"Kalo umpannya nggak di makan, berarti ikannya nggak doyan." celetuk Nisa.
'Pemancingnya aja yang aneh. Ikannya nggak makan umpannya berarti umpannya yang nggak bagus.' gerutu hati Nisa. Ini kok malah nyalahin ikannya. Kalau ikannya kompak mogok makan, gimana?
"Kalo ikannya nggak mau makan, pemancing bisa pindah ke empang lain! Makanya harus ada ikan baru. Ikan baru selalu makan." karena ikan baru belum berpengalaman. Belum punya sertifikat bibir dower karena kaitan kail yang terus menerus.
'Memang aneh jalan pikiran para pemancing itu. Maunya menang, bukan hanya sekedar menyalurkan hobby memancing.'
********