••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15: Di bawa Kemana?
"Kau jahat, Kak!" seru Raya, suaranya penuh emosi yang tertahan. Tapi di balik keberaniannya, dia tahu semua yang Arka katakan benar adanya. Kenyataan pahit itu menelannya bulat-bulat, membuatnya tak mampu berkata-kata lagi.
"Berhenti bicara dan ikut sama gue!" ujar Arka tegas, tatapan matanya tajam menusuk. Dia kembali menggenggam tangan Raya dengan kasar, menariknya tanpa sedikit pun memedulikan perasaan wanita itu.
Di dalam mobil, keheningan mendominasi. Suasana begitu canggung, seolah mereka adalah dua orang asing yang dipaksa berbagi ruang sempit. Raya menatap keluar jendela, matanya memandang kosong ke arah jalanan yang berlalu. Sementara itu, Arka tetap fokus pada kemudi, wajahnya tanpa ekspresi, seakan tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Setelah sekitar 20 menit berkendara, mobil berhenti di parkiran sebuah pusat perbelanjaan mewah di Jakarta. Bangunan megah dengan dinding kaca yang memantulkan sinar matahari pagi berdiri angkuh di hadapan mereka.
"Cepat turun!" ujar Arka tanpa basa-basi, membuka pintu mobil dengan gerakan cepat. Raya menurut, meskipun hatinya penuh tanya. Apa yang sebenarnya diinginkan Arka? Kenapa dia membawanya ke tempat ini?
Mereka berjalan memasuki mal dengan suasana elegan, lantainya berkilau seperti cermin, dan udara dingin dari pendingin ruangan menyeruak. Arka memimpin langkah dengan percaya diri, sementara Raya mengikuti dari belakang, merasa kecil di antara keramaian yang penuh dengan orang-orang berpakaian mahal.
Tak butuh waktu lama, mereka tiba di sebuah toko pakaian mewah. Rak-rak dipenuhi koleksi busana elegan yang tertata rapi, manekin-manekin berdiri dengan pakaian yang tampak seperti hasil karya seni. Aroma parfum mahal menguar di udara, memberikan kesan eksklusif.
"Selamat pagi, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?" sambut seorang pelayan toko, tersenyum ramah.
"Pilihkan baju untuk dia. Kalau bisa, sekalian heels dan aksesoris lainnya," perintah Arka singkat, tanpa sedikit pun menoleh ke arah Raya. Dia langsung duduk di sofa yang disediakan untuk pelanggan VIP, menyilangkan kaki dengan santai.
"Tentu saja, Tuan. Mari, Nona," ujar pelayan itu, mengisyaratkan agar Raya mengikutinya.
Namun, Raya tetap diam di tempatnya, menatap Arka dengan tatapan penuh kebingungan. Wajahnya berbicara lebih banyak daripada kata-kata—ada protes, ada ketidakpastian, dan ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan. Arka, yang merasa tatapan itu, hanya memalingkan wajah, pura-pura tak peduli.
"Pergi lah," ucapnya dingin.
"Aku mau kembali saja. Aku tidak membutuhkan apa pun," ucapnya dengan nada tenang namun tegas, lalu berbalik menuju pintu keluar. Namun baru saja dia melangkah dua langkah, suara berat Arka menghentikannya.
"Lo berani keluar dari pintu itu, terima akibatnya sendiri," ancamnya dengan nada rendah, namun penuh tekanan.
Langkah Raya terhenti. Ancaman itu bagai tali yang melilit erat di lehernya. Dia membalikkan badan dengan perlahan, menatap Arka sekali lagi, berharap pria itu berubah pikiran. Tapi harapan itu hanyalah kesia-siaan.
"Buruan, gue nggak punya banyak waktu," desak Arka tanpa sedikit pun memperlihatkan belas kasihan.
Dengan enggan, Raya mengikuti pelayan toko tersebut, meninggalkan Arka yang tetap duduk santai di sofa. Sementara itu, pikirannya terus bergumul dengan ketidakadilan yang dia rasakan.
Kenapa Arka selalu memperlakukannya seperti ini? Apa salahnya? Dan sampai kapan dia harus bertahan?
Suasana di dalam toko begitu tenang, namun bagi Raya, semua terasa bising—bising oleh tekanan yang terus menghimpitnya.
....
Menunggu sekitar lima belas menit, akhirnya Raya keluar dari ruang ganti. Gadis itu mengenakan dress putih sederhana dengan tali emas berkilau yang melingkari pinggang rampingnya. Potongan dress tersebut jatuh sempurna hingga tepat di bawah lutut, memberikan kesan elegan namun tetap anggun. Di kakinya, heels setinggi 8 sentimeter yang senada dengan warna emas tali dress melengkapi penampilan itu. Jangan lupakan kalung emas putih yang melingkar di lehernya, mempertegas sisi elegan gadis muda tersebut.
Arka, yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya, segera mengalihkan pandangan begitu mendengar suara langkah kaki mendekat. Mata tajamnya terpaku pada sosok Raya. Seketika, ekspresinya berubah. Dia tertegun, menelan ludah pelan, tak menyangka penampilan gadis itu bisa berubah sedrastis ini. Wajahnya tetap polos tanpa riasan, tetapi kecantikan alaminya berhasil membuat Arka, yang biasanya acuh, terdiam sesaat. Dalam pikirannya, dia tidak bisa memungkiri bahwa Raya terlihat begitu... memesona.
"Tuan, apa ada yang kurang?" ulang pelayan toko dengan nada sopan, sedikit heran karena pria di depannya hanya diam seperti terhipnotis. Hal itu membuat Arka tersadar dari lamunannya.
"Ah, tidak... sudah cukup!" ucapnya sembari bangkit dari sofa. Gerakannya cepat, namun tatapan matanya masih sekilas menyapu sosok Raya. Dia mengalihkan pandangan dan berjalan menuju kasir.
"Tunggu di sini, gue mau bayar dulu," katanya sambil berlalu, meninggalkan Raya yang masih berdiri kaku, merasa tak nyaman dengan perhatian yang mendadak ia dapatkan. Proses pembayaran berlangsung cepat. Dalam waktu kurang dari lima menit, Arka sudah kembali ke hadapan Raya.
"Ayo!" katanya tegas, tanpa memberi ruang untuk penolakan, sambil tiba-tiba menarik tangan Raya.
Langkah mereka kali ini membawa mereka ke sebuah salon kecantikan, salah satu yang paling terkenal di area tersebut. Ruangan salon dipenuhi aroma wangi dari berbagai produk perawatan, dengan interior mewah dan modern. Beberapa pelanggan lain yang berada di sana sempat melirik mereka sejenak, sebelum kembali fokus pada aktivitas masing-masing.
"Selamat siang, Kak. Ada yang bisa kami bantu?" seorang pekerja salon menyambut mereka dengan ramah. Arka menjawab tanpa ragu.
"Tolong perbaiki sedikit riasannya, tapi jangan terlalu tebal. Saya mau yang natural aja."
"Baik, Kak. Mari Ikut kesini," ujar pekerja salon itu, tersenyum sambil menunjukkan kursi khusus untuk perawatan. Namun Raya menahan langkahnya. Wajahnya yang sedari tadi diam kini menegang.
"Kak, aku nggak mau pakai make-up. Katakan mau kamu apa? Kenapa kamu melakukan ini padaku?" tanyanya dengan nada putus asa, menatap Arka penuh kebingungan. Arka menatap balik dengan dingin.
"Lo nggak perlu banyak ngomong. Lo cuma perlu lakuin apa yang gue mau. Gue nggak suka cewek cerewet," balasnya dengan nada rendah, tapi cukup tajam untuk membungkam Raya.
Dengan berat hati, Raya akhirnya mengikuti arahan pekerja salon. Dia duduk di kursi yang sudah disiapkan, meski ada perasaan gusar yang terus membuncah di dadanya. Pekerja salon mulai sibuk dengan rambut dan wajahnya, melakukan makeover sesuai instruksi Arka.
Di tengah kesibukan itu, pikiran Raya melayang jauh. Dia bertanya-tanya, kenapa dia harus menuruti semua perintah pria itu? Apa bedanya jika dia menolak dan membiarkan Arka atau siapapun yang membencinya menyakitinya?.
Mental dan batinnya terasa remuk. Bayangan kata-kata menyakitkan dari orang tuanya sendiri, yang dengan mudah menyebutnya anak haram, terus menghantuinya. Dan kini, kehadiran Arka di hidupnya hanya memperburuk semuanya.
Namun, di balik semua itu, ucapan Liu kembali terngiang di telinganya. Wanita yang pernah menyelamatkan hidupnya itu , membuat dia sedikit banyak berpikir tentang dunia ini . "Bangkit. Jangan biarkan mereka menang." Raya mengepalkan tangannya di atas pangkuannya. Mungkin Liu benar. Dia harus membuktikan pada semua orang, termasuk pada dirinya sendiri, bahwa kehadirannya di dunia ini bukan sesuatu yang sia-sia. Bahwa dia bisa lebih kuat dari apa yang mereka pikirkan.
"Sudah selesai, Kak," ujar wanita yang tadi sibuk menata wajah dan rambut Raya. Suaranya lembut, mengisyaratkan bahwa makeover sudah berakhir.
Raya perlahan mendongakkan kepalanya, memandangi pantulan dirinya di cermin besar salon itu. Mata cokelatnya yang biasanya tampak suram kini terlihat lebih bercahaya, dihiasi riasan natural yang mempertegas keindahan wajahnya tanpa terlihat berlebihan. Rambutnya yang ditata dengan rapi dan elegan membuatnya tampak lebih dewasa.
Dia berdiri perlahan, membiarkan pandangannya menjelajahi seluruh tubuhnya yang kini tampak seperti milik orang lain. Dress putih, heels elegan, dan aksesoris mahal itu semua membuatnya merasa seperti masuk ke dalam peran yang bukan dirinya. Namun di balik keindahan itu, hatinya tetap gelisah dia bingung dan bertanya - tanya kemana Arka akan membawa nya .
"Ini bukan aku," batinnya berkata pelan. Tapi dia tak mengucapkan apa-apa. Arka, yang berdiri tak jauh dari tempatnya, berjalan mendekati kasir sambil mengeluarkan dompet.
"Apa pembayaran bisa pakai kartu?" tanyanya singkat.
"Tentu, Kak. Mohon tunggu sebentar," jawab pelayan salon dengan ramah, lalu segera memproses pembayaran. Arka menyelesaikan semuanya dengan cepat. Setelah itu, tanpa banyak bicara, dia melangkah keluar dari salon, melirik Raya yang masih berdiri mematung.
"Ayo," ujarnya datar sambil berjalan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana. Raya mengikutinya perlahan, tapi sebelum masuk ke dalam mobil, dia menghentikan langkahnya.
"Kak, tolong katakan sekali saja. Aku mau dibawa ke mana? Setidaknya beri tahu aku. Aku penasaran," ujarnya, menatap Arka yang sudah duduk di kursi pengemudi. Arka mendesah panjang. Dari balik kaca mobil yang setengah terbuka, dia berkata dengan nada rendah namun tegas
"Masuk," ucap nya tak ingin di bantah.Raya menggeleng, menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Aku nggak mau. Sebelum Kakak bilang mau bawa aku ke mana, aku nggak akan masuk," tegasnya, menunjukkan sedikit keberanian. Arka menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya, yang hampir meledak karena menghadapi tingkah menyebalkan dari wanita di hadapannya.
"Masuk. Nanti juga lo bakal tahu," jawabnya, kali ini dengan nada yang lebih dalam. Namun Raya tetap bergeming, membuat pria itu akhirnya kehilangan kesabaran. Ia menatap Raya tajam dari dalam mobil, rahangnya mengeras.
"Raya Calista Maharani, gue bilang masuk! YA MASUK! Lo nggak budeg, kan?! Kesabaran gue nggak setebal itu, jadi jangan coba-coba mengujinya. Kalau lo tetap nggak mau masuk, gue bakal seret lo sekarang juga!," Nada suara Arka yang meninggi, ditambah tatapan matanya yang tajam, berhasil membuat nyali Raya ciut seketika. Tangannya yang tadi melipat kini turun perlahan. Meski hatinya ingin melawan, tubuhnya bergerak sendiri, melangkah ke arah mobil dengan ragu.
Dia masuk ke kursi penumpang tanpa sepatah kata pun. Pintu mobil tertutup dengan suara kecil, namun atmosfer di dalam mobil terasa tegang. Arka tak lagi berkata apa-apa. Dia hanya menyalakan mesin dan langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, seolah melampiaskan amarah yang masih tersisa. Jalanan ibu kota yang lengang siang itu menjadi saksi bisu bagaimana kendaraan mereka membelah jalan dengan gesit.