Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 15 Di Kampus
Andini memilih berlama-lama di dapur, dia membiarkan Edwin dan Bima bicara berdua karena dia tahu Edwin pasti bisa meyakinkan Bima untuk menerima keputusannya.
"Saya kira anda tulus menolong kami tapi ternyata ..." Bima tersenyum sinis pada Edwin.
"Anda licik," sambungnya.
Edwin tersenyum dia tak masalah Bima menganggap dirinya seperti itu karena itu memang kenyataannya meski awalnya dia tulus menolong Andini.
"Entah kamu percaya atau tidak yang jelas saat itu saya tulus menolong Andini tanpa berharap imbalan apapun darinya, tapi adikmu lah yang menawarkan imbalan pada saya sebagai ucapan terima kasihnya. Saya sudah memiliki segalanya, saya hanya butuh perhatian dari seseorang karena saya tak mendapatkannya dari istri saya dan saya rasa Andini lah yang mampu memberikan perhatian itu pada saya."
Bima terdiam dia tidak tahu apa yang Edwin rasakan selama menikah dengan istrinya tapi yang jelas dia ingin Andini tidak dipermainkan oleh pria itu.
Edwin menoleh pada Andini yang berada di dapur, dia lalu bangkit dari duduknya dan menghampiri gadis itu.
"Kenapa lama sekali, saya lapar," kata Edwin membuat Andini tersentak.
"Eh, Pak, anda disini?"
"Bukannya kamu mengajak saya sarapan?"
Andini menggangguk. "Bisa minta tolong bawakan piring ini ke sana." Andini memberikan piring yang sudah dia tumpuk pada Edwin.
"Bawa kemana?" tanya Edwin sambil menerima piring yang Andini berikan padanya.
"Bawa kedekat Kak Bima, Pak."
Edwin mengangguk lalu membawa piring tersebut kedekat Bima. Bima melirik tak suka pada Edwin namun Edwin justru tersenyum dan kembali menghampiri Andini dan membantu membawakan air minum beserta gelasnya, sementara Andini membawa mangkuk besar berisi nasi goreng.
Andini duduk diantara Bima dan Edwin, dia menyendokkan nasi goreng kepiring Bima lebih dulu barulah menyendokkan kepiring Edwin dan piringnya.
"Kenapa kamu tidak bilang, An, kalau jadi simpanan pria tua ini?" tanya Bima, dia melirik sinis pada Edwin yang makan dengan lahap.
Sepertinya dia benar-benar lapar.
"Maaf, Kak," ucap Andini lirih.
"Bagaimana bisa kamu memiliki hubungan dengan pria tua? Kamu lihat sendiri, An, dia seperti tidak makan tiga hari saja," sindir Edwin.
Andini menatap Edwin yang sedang menyuapkan nasi goreng kemulutnya, pria itu benar-benar makan dengan lahap membuat bibir Andini tersenyum. Semalam saat Edwin dan dirinya makan bersama diapartement, pria itu juga makan dengan lahap.
Andini jadi bertanya-tanya, apa Edwin biasa makan selahap ini?
"Saya buka tidak makan tiga hari tapi saya sangat menikmati nasi goreng yang sangat lezat ini," sahut Edwin membuat Bima berdecih.
Tak lama mereka selesai dengan sarapannya dan Andini langsung membereskan bekas makan mereka dengan dibantu oleh Edwin. Sungguh Edwin sangat menikmati ini seolah dia menjadi suami yang sedang membantu istrinya membereskan rumah.
Andini pergi dengan Edwin menuju kampus dimana dia pernah berkuliah, sementara Bima akan berangkat kerja dimana dia menjadi staf disana. Bima lebih beruntung ketimbang Andini karena dia sempat menyelesaikan kuliahnya sebelum ibunya jatuh sakit. Saat siang hari dia bekerja sebagai karyawan kantor dan malam hari dia bekerja sebagai bartender di Louis club. Semua Bima lakukan untuk biaya pengobatan sang ibu.
"Kamu pintar masak juga ternyata," ucap Edwin yang sedang menyetir. Mobil Edwin sudah berada dijalan raya sehingga Edwin berbicara tanpa menoleh pada Andini.
"Hanya masakan rumahan, Pak."
"Itu juga sudah luar biasa loh mengingat sekarang banyak wanita yang tidak bisa masak."
"Apa istri anda juga begitu?"
"Ya, istri saya juga begitu. Dia tidak bisa masak."
"Mungkin karena istri anda sibuk, Pak, jadi dia tidak sempat belajar masak."
"Dia memang tidak suka masak."
"Tapi anda mencintainya."
Edwin tersenyum, menoleh sebentar pada Andini lalu kembali fokus menyetir tanpa menyahuti perkataan Andini. Edwin merasa menjadi pria bodoh yang dibutakan oleh cinta hingga hampir sepuluh tahun menikah dirinya masih bertahan dengan Mona padahal dia selalu diabaikan dan tak dihargai.
Edwin membelokkan mobilnya menuju area parkiran kampus, menghentikan mobilnya disana lalu menoleh pada Andini.
"Saya temani daftar atau tunggu disini?" tanya Edwin.
"Tunggu disini saja, Pak, takut nanti ada yang lihat kita bersama."
"Ya sudah saya tunggu dimobil, kamu selesaikan urusanmu."
"Iya Pak."
Andini turun dari mobil Edwin lalu berjalan menuju kantor dimana dia bisa mendaftar kuliah. Tak jarang Andini menyapa orang-orang yang dia jumpai karena sikap ramahnya sudah melekat pada dirinya sejak dia masih kecil.
Edwin memainkan ponselnya sembari menunggu Andini kembali. Dia menghubungi bawahannya direstoran untuk mengatakan bila dia hari ini tidak datang ke restoran dan meetingnya dibatalkan.
Edwin menggulir ponselnya mencari nomor sang istri lalu menghubunginya. Dua kali dia menelpon Mona, wanita itu tak menjawab panggilan teleponnya membuat Edwin mendengus sebal.
Edwin memilih keluar dari mobilnya untuk mencari sesuatu yang bisa menyegarkan tenggorokannya tapi niatnya Edwin urungkan karena Andini menghubunginya.
"Pak, bisa anda datang kekantor?" tanya Andini disebrang telepon, suaranya terdengar berbisik membuat Edwin mengerutkan kening.
"Ada masalah?"
"Saya butuh anda untuk wali saya, Pak, katakan saja bila anda Om saya."
Edwin tertawa merasa lucu dengan permintaan Andini. Rupanya selain menjadi sugar daddy Andini, gadis itu akan memperkenalkan dirinya sebagai Om-nya.
"Kenapa anda tertawa. Cepat kemari, Pak."
"Iya saya kesana sekarang," kata Edwin lalu mematikan sambungan teleponnya.
Dia lalu berjalan memasuki area kampus untuk menuju kantor. Edwin menoleh kesana kemari tak tahu dimana letak kantor itu berada. Edwin memilih bertanya pada mahasiswa yang sedang berjalan tak jauh dari tempatnya berhenti.
"Maaf mengganggu waktunya. Bisa saya tahu dimana letak kantor kampus ini?" tanya Edwin.
"Kantornya ada di lantai tiga, Pak, kebetulan saya juga mau kekantor. Mari sekalian saya antar," kata mahasiswa itu.
Edwin mengangguk kemudian sama-sama berjalan menuju kantor. Mereka tak ada yang bicara karena tak saling mengenal, hingga saat tiba dilantai 3 pandangan Edwin melihat Andini sedang duduk sendiri menunggu kedatangannya.
"An."
Baru saja Edwin hendak memanggil Andini, mahasiswa yang mengantarnya itu justru memanggil Andini lebih dulu.
Andini menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya, namun seketika matanya melebar saat melihat Edwin bersama Angga.
Ya, mahasiswa yang mengantarkan Edwin itu ialah Angga teman Andini. Angga langsung mempercepat langkah kakinya dan menghampiri Andini.
"Kamu lagi apa disini?" tanya Angga.
"Aku mau kuliah lagi," jawab Andini lalu menoleh pada Edwin yang sudah sampai didekatnya. Edwin menghentikan langkah kakinya didekat Andini dan Angga, dia juga memperhatikan interaksi keduanya.
"Yang benar kamu mau kuliah lagi, An?" tanya Angga senang.
"Iya, Ga, aku mau kuliah lagi," ucap Andini menatap Angga sebentar lalu beralih menatap Edwin.
Sungguh jantung Andini berdegup kencang dia gugup melihat Edwin yang menatapnya penuh tanya.