Siapa yang ingin bercerai? Bahkan jika hubungan pelik sekalipun seorang wanita akan berusaha mempertahankan rumah tangganya, terlebih ada bocah kecil lugu, polos dan tampan buah dari pernikahan mereka.
Namun, pada akhirnya dia menyerah, ia berhenti sebab beban berat terus bertumpu pada pundaknya.
Lepas adalah jalan terbaik meski harus mengorbankan sang anak.
Bekerja sebagai sekertaris CEO tampan, Elen tak pernah menyangka jika boss dingin yang lebih mirip kulkas berjalan itu adalah laki-laki yang menyelamatkan putranya.
laki-laki yang dimata Satria lebih pantas dipanggil superhero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 - BERTEMU SATRIA
Siang itu, panas terik membuat Divine urung meminta keluar kamar. Namun, hal lain mengejutkannya karena tiba-tiba Morena masuk ke kamarnya bersama seorang bocah yang saat ini sedang ia rindukan, Satria.
Setengah jam yang lalu,
Morena meminta izin langsung pada Keyra untuk membawa Satria. Meski ragu, tapi Keyra tetap mengizinkan terlebih Morena menceritakan semua siapa dirinya dan anaknya.
Merasa berdosa, Keyra pun mengirim pesan pada Elen sebab tak ingin kejadian sebelumnya kembali terulang.
"Jadi gimana?" tanya Morena setengah memohon.
Keyra mengangguk, "boleh, Tante! Asal dipulangkan tepat waktu sebab Momy-nya Satria pulang kerja langsung menjemput."
"Oke, saya mengerti. Terima kasih sudah sangat membantu, oh ya tolong alamatnya?" tanya Morena, agar nanti ia tahu harus mengantar Satria kemana.
"Ini," ujar Keyra menyodorkan kartu namanya, dimana ada alamat toko kuenya disana.
"Makasih ya, saya janji tidak akan lama!" ujar Morena lalu mengulurkan tangannya pada Satria.
"Ayo, Satria!" ajak Morena.
Satria mengangguk, ia ikut bersama Morena sebab wanita seumuran Omanya itu akan mempertemukannya dengan Om baik. Bocah kecil itu sempat melambaikan tangan pada Keyra, sebelum akhirnya benar-benar menghilang bersama mobil hitam milik Morena.
"Ini rumah siapa, Bu?" tanya Satria berdecak kagum saat memasuki halaman rumah Wijaya.
"Rumah Ibu dong, kamu suka? Kalau suka boleh tinggal disini," ujar Morena santai.
"Rumahnya kebesaran Ibu," gumamnya pelan.
Morena tersenyum, ia salut akan sikap polos Satria. Pantas saja, jika Divine sangat menyukai bocah itu.
"Itu karena kamu masih kecil, kalau sudah besar nanti pasti akan terbiasa. Ayo turun sayang," ajak Morena diangguki kepala oleh Satria.
***
"Om baik," panggil Satria, bocah itu sedikit terkejut lantas menatap ke arah Morena seolah berkata bahwa Ibu paruh baya itu tak membohonginya.
"Satria, apa kabar? Kamu sehat kan?" tanya Divine tak kuasa menarik sudut bibirnya ke atas, tersenyum karena kedatangan Satria yang lebih seperti sebuah kejutan.
"Aku sehat. Kata Ibu, Om sakit?" Satria menelisik wajah Divine, tak terlihat sedang sakit, bahkan di dahinya tidak sedang tertempel plaster penurun demam lalu bocah itu mendekat dan mendaratkan punggung tangannya di pipi Divine.
"Tidak panas," gumamnya.
"Memang tidak panas, karena Om tidak sedang demam!" jelas Divine merasa terkekeh gemas saat melihat Satria memeriksanya bak Dokter.
"Om pura-pura sakit ya?" tanyanya dengan mata menyipit.
Divine tertawa.
Sedikit mengubah posisinya yang terbaring menjadi bersandar di ranjang.
"Om beneran sakit, Satria! Tapi bukan demam, bukan juga pilek," aku Divine.
"Om baik sakit apa?" tanya Satria.
"Kaki Om gak bisa jalan, gimana dong? Apa kamu masih mau temenan sama Om?" tanya Divine. Meski terbilang pertanyaan konyol, ia sungguh ingin mendengar pendapat bocah kecil itu tentang keadaannya.
"Mau lah! Kata momy, kita harus menerima teman-teman kita apa adanya. Gak boleh pilih-pilih," ujar Satria sekali lagi.
"Wah, hebat kamu." puji Divine, lalu mengusap-usap kepala Satria.
"Momy lebih hebat, Om. Walau masih cengeng."
"Momy-mu cengeng?" tanya Divine.
"Kadang-kadang nangis, tapi pas aku tanya Momy bilang gak apa-apa," aku Satria.
"Hebat," gumam Divine tanpa sadar mendengar ucapan Satria.
***
Siang itu, Divine kembali melakukan terapi. Namun, ada yang berbeda hari ini sebab ada Satria di sisinya. Hingga sore hampir tiba, waktunya Morena mengantar Satria pulang akan tetapi sepertinya Divine masih tak rela berpisah dengan bocah kecil itu.
"Bunda, biar Rafael dan Elen aja kesini jemput Satria," ujar Divine.
Morena seketika mengerutkan keningnya, "Elen?" memastikan pendengarannya sama sekali tak salah.
Divine mengangguk, "iya Elen. Satria ini putranya Elen," ujar Divine.
"Astaga, jadi dia anaknya Elen. Pantes bisa bikin seorang Divine..."goda Morena.
"Bunda!" potong Divine cepat.
"Om kenapa?"
"Gak apa-apa. Nanti Momy-mu akan kesini menjemput," ujar Divine.
"Benarkah?"
Divine mengangguk,
Benar saja, dalam hitungan kurang dari satu jam mobil milik Rafael sudah memasuki gerbang masuk rumah, beriringan dengan mobil Wijaya di depannya.
Saat melihat kembali wajah Elen, Divine diam-diam menarik sudut bibirnya tipis.
"Bu Morena, maaf karena Satria jadi merepotkan."
"Kamu ini bilang apa? Kan aku sudah anggap Satria seperti cucu sendiri," ujar Morena pelan.
"Ah iya, sekali lagi makasih, Bu!"
"Sama-sama Elen."
"Mom, aku kira momy gak akan nemuin aku disini," ujar Satria lantas melihat kehadiran Rafael, bocah itu berlari dan menghambur.
"Dad."
"Hallo Boy, gimana? Seru gak main ke rumah Om Divine?" tanya Rafael menyunggingkan senyum, lantas menggendong Satria tinggi-tinggi.
"Seru!" ujarnya antusias.
Di jarak cukup jauh, Wijaya memperhatikan sang putra.
"Kamu menyukai Elen?" bisiknya agar tak didengar oleh orang lain.
"Ayah ngomong apa, sih?"
"Ngaku aja! Kalian, kamu dan Rafael tidak sedang bersaing bukan?" tanyanya sekali lagi melirik Divine.
"Tidak!" jawab Divine singkat.
Setelah berpamitan, Elen, Rafael dan Satria masuk ke dalam mobil kemudian pulang. Meninggalkan megahnya kediaman Wijaya.
"Div, bagaimana terapi hari ini? Apa meningkat?" Tanya Wijaya ketika mereka sudah duduk bersantai di ruang tamu.
Morena datang meletakkan dua teh untuk suami dan anaknya lalu ikut duduk.
"Masih sama, Yah."
"Eh sama apa? Divine sudah bisa mulai menggerakkan kakinya Ayah, bahkan sebentar lagi bisa jalan meskipun pakai tongkat!"
"Syukurlah, kamu harus semangat sembuh, Div."
"Hm," gumam Divine lesu.
"Oh iya, Bund! Lusa, Noah akan bertunangan, bagaimana menurutmu!" tanya Wijaya.
"Ya baguslah, Yah. Dari pada sama Divine, bunda gak suka! Cassandra itu terlalu banyak mendominasi," jawab Morena.
"Namanya juga pasangan, Bund!" Divine angkat bicara, ia memang sudah usai dengan Cassandra, tapi tak menyangka jika sang bunda masih sangat membenci wanita yang pernah ia cintai itu.
"Pasangan itu dua hati yang saling menerima, Divine! Kamu lihat kan buktinya, setelah Cassandra tahu Noah lebih berkuasa, dia berpaling. Coba kamu telaah maksud bunda? Dia bukan hanya mau mendominasi kamu, bisa jadi setelahnya dia yang akan mendominasi harta kamu," jelas Morena panjang lebar.
"Wanita matre itu wajar Bunda," ucap Divine yang tahu maksud penjelasan Morena.
Wijaya menghela napas, jika sudah menyangkut wanita bernama Cassandra! Sulit rasanya mendamaikan Divine dan Morena.
"Wajar Divine, yang gak wajar itu wanita yang gila harta, gila tahta! Bunda nggak ngerasa ada bilang wanita matre itu salah, karena bunda sendiri juga wanita. Tapi, yang bunda maksud itu, hanya karena kamu bukan penerus perusahaan kakek saja dia sudah berpaling. Apalagi jika suatu saat nanti kita jatuh miskin? Pikirkan itu," ujar Morena sekali lagi.
"Sudahlah, Bunda mau mandi." Morena bangkit, tak ingin marah-marah karena wanita yang terus menerus putranya bela, hanya akan membuatnya semakin emosi.
"Divine, maklumi saja pendapat bundamu." Wijaya menghela napas, melonggarkan dasinya kemudian meraih cangkir yang sedari tadi belum tersentuh.
Aroma wangi teh melati yang menenangkan membuat Wijaya segera menyeruput pelan teh buatan istri tercintanya. Menatap Divine, putranya kembali muram setelah berdebat dengan Morena.
"Divine, bagaimana dengan Elen?" tanya Wijaya, berusaha mengalihkan apa yang ada di pikiran sang putra saat ini.
RAHIM ELEN JUGA SUBUR....