carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Sekretarisnya langsung menunduk ke arah Anton, dan Anton merasa kaget ketika melihat sekretarisnya melakukan hal tersebut.
"Maafkan saya, Pak, sudah berbicara lancang kepada Bapak. Tidak seharusnya saya berbicara seperti itu. Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Kalau Bapak tidak mau memaafkan saya pun tidak apa-apa. Bapak mau memecat saya juga saya terima, karena saya sudah berbicara tidak pantas kepada Bapak."
"Kamu bicara apa sih? Orang saya nggak berpikir apa-apa tentang kamu. Emangnya kamu berpikir apaan tentang saya?"
"Bukannya Bapak marah sama saya karena saya udah berbicara lancang kepada Bapak?"
"Saya cuma merasa canggung aja sama topik yang tadi. Soalnya saya nggak pernah merasakan hal itu. Ketika saya punya istri dulu, saya harus melihat riasannya yang terlalu tebal sampai-sampai saya nggak bisa punya pandangan seperti itu. Makanya saya lagi berpikir, apakah anak-anak ABG kayak anak saya memang sukanya kosmetik begitu?"
Sekretarisnya mulai diam dan memahami maksud dari perkataan Anton. Ternyata bukan dirinya yang salah, melainkan Anton memang tidak memiliki figur istri yang bisa dijadikannya panutan.
"Maafin saya ya, Pak. Harusnya saya nggak berbicara begitu. Cuma saya memang orangnya spontan, jadi suka ngomong apa aja, padahal hal-hal itu nggak perlu tapi tetap saya bicarakan."
Sekretarisnya merasa bersalah dan tidak tahu harus berbicara apa lagi. Akhirnya ia menundukkan kepala dan tidak berani melihat ke arah Anton.
Anton hanya tersenyum dan menepuk pundak sekretarisnya, tetapi sekretarisnya malah takut melihat Anton.
"Nggak apa-apa kok. Saya juga nggak merasa terbebani dengan hal itu. Malah saya berterima kasih sama kamu, karena kamu sudah perhatian sama anak saya. Pokoknya bonus kamu tahun ini akan saya tambahkan, dan gaji kamu juga akan saya naikkan mulai bulan ini."
Sekretarisnya mendengar itu merasa senang dan tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin memeluk Anton, tapi tidak berani. Takutnya nanti malah gajinya dipotong gara-gara meluk Anton.
Akhirnya Anton dan sekretarisnya pergi untuk rapat bertemu dengan klien-klien yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Karena semua sudah diatur oleh sekretarisnya, Anton tinggal mengikuti arahan darinya saja.
Sampai di mobil, Anton hanya diam dan bekerja. Lalu anaknya mengirim pesan kepada papanya:
"Papa, hari ini pulang apa tidak?"
Saat Anton tersenyum dan hendak membalas pesan itu, orang tua Anton tiba-tiba mengirim pesan kepadanya. Anton bingung, karena biasanya mamanya tidak pernah mengirim pesan tiba-tiba.
"Sayang, lagi apa?"
"Lagi mau ke kantor, Ma. Ada apa, Ma?"
"Mama ganggu kamu ya? Mama minta maaf ya, sayang."
Anton tidak merasa terganggu, malah senang karena mamanya peduli padanya.
"Tidak, Ma. Mana ada ganggu. Mama ada apa? Sudah makan, Ma?"
"Sudah, tadi dimasakin sama bibi yang kamu suruh. Masakannya enak, lebih enak daripada mama. Mama iri."
Anton yang mendengar itu merasa terhibur. Ia tidak menyangka mamanya akan berkata seperti itu, padahal tidak berharap apa-apa.
"Masakan mama juga enak kok, jadi mama jangan merasa tersaingi. Lagian, siapa juga yang bilang masakan mama nggak enak?"
Mama hanya tersenyum membaca pesan itu. Tak lama, Anton menelepon mamanya, dan mamanya pun menjawab telepon tersebut.
"Halo sayang, ada apa kok telepon mama? Bukannya kamu lagi di kantor?"
"Tidak, aku lagi di luar kantor, makanya aku telepon mama, hehe. Mama lagi apa?"
Mama merasa tidak enak pada anaknya. Padahal sudah tahu Anton sibuk, tapi masih juga mencarinya tanpa memikirkan perasaannya.
"Anton, kalau kamu sibuk nggak apa-apa, Nak. Jangan dipaksa. Mama nggak mau kamu ngorbanin waktu kamu demi mama, sayang."
"Nggak apa-apa, Ma. Aku senang kok melakukannya. Jadi tenang aja, aku nggak merasa terbebani. Selama mama senang, aku juga senang."
Mamanya berpikir, apakah Anton benar-benar senang dari lubuk hati atau hanya terpaksa karena mamanya berkata begitu.
"Aku beneran, Ma. Nggak apa-apa. Malah kalau bisa ketemu mama dan papa, aku mau banget, kalau mama juga mau."
Mama yang mendengar itu merasa anaknya pasti sangat rindu pada mereka. Mereka dulu tega membuang Anton di saat susah. Padahal anaknya jarang meminta, tapi bisa bertahan sejauh ini — berarti Anton sudah membuktikan bahwa ia anak yang hebat.
"Ya sudah, kalau kamu sudah selesai kerja nanti baru kita ketemu, ya. Selesaikan dulu kerjaan kamu biar nggak ada utang pekerjaan, sayang."
"Siap, Mama."
Anton mengakhiri telepon tersebut karena mamanya sudah lebih dulu menutupnya. Ia merasa senang bisa berbicara dengan mamanya, sehingga bisa bekerja lebih tenang dan sempat melupakan pesan anaknya.
Sementara itu, Carol — anak Anton — yang sedari tadi menunggu pesan papanya merasa bingung. Kenapa papanya belum membalas? Apa papanya baik-baik saja? Apa papanya sudah sampai di tempat meeting? Biasanya papanya selalu memberi kabar.
Bu Fitri, guru Carol, melihat muridnya tidak fokus dan langsung menghampirinya.
"Carol, Nak, perhatikan ke depan ya. Jangan main handphone terus. Nanti handphonenya Ibu sita loh."
"Baik, Bu. Maaf."
Carol langsung menaruh handphonenya ke dalam tas. Ia bingung dan merasa bersalah karena bermain ponsel saat jam pelajaran. Ia berniat, saat istirahat nanti, akan mencoba menghubungi papanya kembali. Bila tidak ada jawaban, Carol berencana pergi dari sekolah untuk ke kantor papanya.
Namun ketika berpikir lagi, Carol sadar: papanya pasti sedang di luar, bukan di kantor. “Pfft… kenapa aku jadi gelisah begini ya,” gumamnya.
Bu Fitri kembali mendekati Carol.
"Carol, kamu kenapa?"
"Saya nggak apa-apa, Bu. Memangnya kenapa?"
"Ibu lihat kamu kayak lagi banyak pikiran. Ada apa, Carol? Bilang aja, siapa tahu Ibu bisa bantu."
Carol hanya menggeleng kepala dan tersenyum. Ia tidak mau terlalu dekat dengan Fitri, karena tahu maksud Fitri tidak sebaik itu.
"Saya permisi ya, Bu. Mau makan."
Fitri hanya diam dan tersenyum kepada Carol. Tak lama, sahabat Fitri datang menghampirinya.
"Fit, lu kenapa?"
"Nggak kenapa-kenapa."
"Tumben si Carol jauh-jauh dari lu. Dia kenapa?"
Fitri hanya diam, tidak bisa menjawab. Ia sendiri tidak tahu apa salahnya sampai Carol berubah terhadapnya.
"Ya udah deh, gue ke kelas dulu ya. Masih ada tugas yang mau gue selesain. Lu sendiri nggak mau ngajar?"
"Gue udah selesai ngajar hari ini. Ada urusan, jadi mau pulang cepat."
"Oh gitu. Ya udah, hati-hati ya."
Dinda tersenyum, lalu pergi tanpa banyak bertanya lagi. Fitri pun tidak menahannya. Namun setelah itu, Fitri baru sadar — ia tadi berpapasan dengan Dinda, dan tidak ingat apa yang sebenarnya dibicarakan.
Pikiran Fitri sedang kacau. Ia merasa Carol membencinya, padahal ia hanya ingin mendekat. Fitri memang sudah sangat ingin menikah, dan menurutnya, pasangan terbaik adalah papa Carol. Walau belum tahu apakah Carol punya mama atau tidak, Fitri tetap berusaha mendekati gadis itu dulu.
Ia berharap masih punya harapan untuk mendapatkan duda tampan itu, walaupun tidak tahu bagaimana reaksi Carol nantinya.
Sore hari, Anton baru selesai meeting bersama klien. Ia baru sadar kalau belum membalas pesan dari anaknya.
"Astaga, aku belum bales pesan anakku. Pasti dia lagi mikirin aku sekarang," ucapnya pelan.
Anton merogoh saku celananya, menemukan ponselnya, dan segera membuka pesan dari anaknya. Ia langsung membalas pesan itu agar Carol tidak khawatir lagi.
lah