Sya yang merupakan fresh graduate tahun ini telah diterima bekerja di PT Santoso Group. Di hari pertamanya bekerja dia dikagetkan dengan seorang bocah berusia 3 tahun yang memanggilnya " Bunda".
" Dunda.. Dunda.. Kendla mau pipis. " seorang bocah laki-laki menarik celana kerjanya saat Sia berdiri di lobi kantor.
Maureen Calisya Putri ( 23 )
Sungguh mengejutkan ternyata bocah yang memanggilku Bunda adalah anak dari pemilik perusahaan tempatku bekerja.
Raditya Diko Santoso ( 30 )
Kamu hanya akan menjadi ibu sambung untuk anakku karena dia menginginkannya.
Bagaimana perjalanan kisah mereka disaat salah satu diantara mereka melanggar perjanjian yang sudah disepakati?
Akankah terus bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggi Dwi Febriana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruangan Direktur
Sia memutuskan untuk masuk ke dalam mobil Radit setelah bosnya itu berkata akan mengurus motor miliknya.
Sebenarnya Sia merasa tidak nyaman duduk disebelah Radit. Tapi mau bagaimana lagi, Andre lebih dulu membukakan pintu mobil belakang.
Dalam perjalanan yang terjadi hanya keheningan. Andre tidak sedikitpun berbicara kepada Siapa setelah mereka masuk ke dalam mobil. Jika Andre saja begitu, lalu apa yang dia harapkan dari bosnya yang saat ini duduk tepat disampingnya? Tidak mungkin Sia berharap jika Radit mau berbicara dengannya bukan?
Saat Sia melihat ke arah bosnya, terlihat Radit sedang asik dengan tabletnya.
Tiba-tiba Sia teringat dengan kejadian tadi malam dimana Radit membayarkan barang belanjaannya. Untung saja saat ini Sia membawa uangnya dan tanpa sengaja justru malah satu mobil dengan Radit.
Sia bimbang apakah ini waktu yang tepat untuk mengembalikan uang Radit atau tidak.
" Tapi kalau tidak sekarang nanti malah uangnya dia pakai lagi. Lagian disini cuma ada Pak Radit sama Mas Andre. Dari pada nanti ngasih di kantor malah bikin salah paham karyawan lain ya kan." Ujar Sia di dalam hati. " Lagian uang 200 ribu kan lumayan kalau buat dia, bisa buat makan 3 hari." Tambah Sia lagi.
Akhirnya Sia memberanikan diri berbicara kepada Radit.
" Pak Radit, saya mau mengembalikan uang yang kemarin. " Ujar Sia bersuara pelan.
Radit menolehkan kepalanya ke arah Sia seraya mengerutkan dahinya tanda bingung dengan perkataan Sia.
" Uang apa? " Tanya Radit dingin.
Sia langsung mendongakkan kepalanya yang sedari tadi memang menunduk. Begitu mendengar jawaban Radit, Sia langsung mengambil uang di tasnya yang memang sudah dia siapkan tadi malam.
" Yang tadi malam bapak bayarin belanjaan saya di supermarket." Sia langsung mengulurkan tangannya dan menyodorkan uang 200 ribu.
Yang terjadi sungguh diluar dugaan Sia. Dengan entengnya Radit menjawab santai seraya tersenyum seperti mengejeknya.
" Buat kamu saja, saya masih kaya." Kembali Radit fokus dengan tablet tangannya.
" Ya Tuhan! Aku tau dia kaya raya, kalau nggak mau uangnya tinggal bilang aja buat aku gak usah bawa-bawa kaya segala." Ingin rasanya Sia menjawab seperti itu, namun keberanian tidak sedang ada dipihaknya. Jadi hanya tersalurkan di dalam hatinya.
" Tapi Pak... " Belum sempat Sia menyelesaikan bicaranya Radit sudah menjawab terlebih dulu.
" Buat saya uang 200ribu itu kecil. Jadi kamu nggak usah merasa berhutang sama saya. Saya sama semua karyawan juga begitu. Bukan sama kamu doang." Radit berkata seperti itu tanpa mengalihkan pandangannya dari tablet di tangannya.
" Sombong amat." Ternyata gerutuan yang Sia pikir hanya ada didalam hatinya justru tanpa sengaja terucap dengan suara dari bibirnya.
" Kamu bilang apa? " Radit langsung menolehkan pandangannya ke arah Sia. Matanya terlihat membesar begitu mendengar jawaban dari Sia.
" Eehh, kenapa Pak? " Sia yang terkejut dengan bibirnya yang asal ngomong langsung berpura-pura terkejut dengan pertanyaan Radit.
" Tadi kamu bilang apa? Saya sombong? Iya begitu? " Tanya Radit dengan suara dingin.
" Ihh, Pak Radit salah denger kali, nggak mungkin dong saya berani ngomong begitu ke Bapak." Ujar Sia mengelak.
" Terus kamu pikir saya tuli? Begitu?. Dan satu lagi, saya bukan Bapak kamu." Ujar Radit masih tidak terima dengan perkataan Sia.
" Eehh, kok gitu sih, bukan gitu Pak Radit." Sia mulai bingung bagaimana cara menjelaskannya. Sia takut kalau Radit akan semakin tersinggung. Sia melirik ke arah Andre melalui kaca untuk meminta bantuan. Sedangkan Andre hanya tertawa lirih.
" Maaf Pak Radit dan Mbak Sia, kita sudah sampai kantor." Mendengar perkataan Andre, Sia langsung bisa bernafas lega. Setidaknya dia bisa buru-buru keluar dari mobil ini.
" Makasi tumpangannya Pak. Pak Radit baik kok. Dan Terima kasih juga buat uang 200 ribunya, saya terima ya Pak." Setelah berkata seperti itu Sia langsung membuka pintu mobil dan berlari masuk ke dalam kantor.
Sedangkan Radit hanya bisa terbengong dengan tingkah karyawannya itu.
Tanpa sadar Radit menyunggingkan senyumnya. Sedangkan Andre sudah tertawa kecil.
" Mbak Sia gadis yang menarik kan Pak." Ujar Andre kepada Radit.
" Maksud kamu apa? " Tanya Radit bingung dengan pernyataan Andre.
" Itu Mbak Sia bisa bikin Pak Andre tersenyum."
Radit yang tersadar akan hal itu langsung melenyapkan senyum dari wajahnya.
" Biasa saja." Jawab Radit dingin.
" Kenapa kamu memanggil gadis itu Sia? Bukankah namanya Maureen? " Tanya Radit yang memang sejak tadi merasa penasaran karena Andre memanggilnya Sia.
" Teman-temannya memanggil dia Sia." Jawab Andre tenang.
" Memangnya kamu temen dia? " Suara Radit terdengar tidak suka dengan jawaban Andre.
" Mbak Sia sendiri yang meminta saya untuk memanggilnya seperti itu, dan memang saya sedikit lebih akrab dengan Mbak Sia di banding Pak Radit." Ujar Andre menjelaskan.
Sebenarnya Radit merasa tidak terima dengan jawaban Andre. Tapi yang dikatakan Andre ada benarnya. Dia memang tidak seakrab itu dengan Sia. Justru sangat jauh dari kata akrab. Saling berbicara saja hanya kemarin malam dan baru saja. Akhirnya Radit hanya memilih untuk diam.
.
.
.
Sia POV~
Sia langsung berlari begitu keluar dari mobil Pak Radit. Sungguh jantung ini rasanya terasa ingin copot saat ada di dekatnya. Auranya membuat semua orang merasa terintimidasi.
Begitu sampai sampai loby Sia langsung melakukan absensi dan naik ke lantai 5.
" Assalamu'alaikum." Ujar Sia begitu masuk ke ruangannya.
" Wa'alaikumsalam, Lo baru sampe Si." Tanya Leo yang kebetulan ada di dekat pintu.
" Iya Mas, hujan lupa bawa mantel. " Jawab Sia seraya memakai sepatunya yang memang sengaja dia tinggal di loker. Setiap berangkat dan pulang dari kantor Sia selalu menggantinya dengan sandal jepit. Lebih nyaman menurutnya.
" Sia, lo udah sampe? Emang ujannya udah reda? Naik apa tadi? " Dian yang baru masuk setelah keluar dari ruang fotokopi langsung bertanya kepada Sia.
" Iya ini baru sampe. Masih hujan sih sebenernya, tadi aku naik taksi online terus motornya aku titipin di parkiran umum." Sia sengaja berbohong kepada Dian dan teman-temannya yang lain. Tidak mungkin bukan dia bilang yang sejujurnya kalau tadi nebeng mobil Pak Radit, Direktur perusahaan di kantor mereka. Dan kalaupun dia bercerita pun pasti tidak akan ada yang percaya.
" Lah emang aman kalo nitipin motor di parkiran umum? " Tanya Dian lagi.
" Aman, InshaAllah. Minta doanya aja biar tetep aman." Jawab Sia.
Setelah selesai dengan sepatunya, Sia berjalan menuju pantry untuk membuat secangkir kopi susu. Badannya terasa agak dingin karena tadi sedikit terkena air hujan.
Selesai dengan kopi, barulah Sia fokus dengan pekerjaannya.
Tidak terasa sudah pukul 10.30, tiba-tiba Pak Sean datang memanggil Sia.
" Sia, kamu di panggil ke ruangan Pak Direktur."
selalu ngalamin itu, karena nama asli saya juga panjang banget 😂
kali ini Lo salah sya, gimana kalau keadaannya di balik?
mengingat sifatnya diawal bagaikan freezer 😂