Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Siasat Sang Ular
Senin pagi kembali menyapa. Hujan rintik-rintik membasahi jendela lantai 15 Rahardian Tower.
Nayla datang dengan semangat yang lebih cerah dari cuaca di luar. Kenangan akhir pekan di Ragunan masih membekas manis di benaknya. Foto Adit yang menggendong Nando kini menjadi wallpaper ponselnya—meski hanya foto punggung, itu sudah cukup membuat Nayla tersenyum setiap kali membuka kunci layar.
Saat Nayla duduk di kubikelnya, ia merasakan aroma parfum yang berbeda. Bukan aroma floral menyengat seperti biasa, tapi aroma musk yang lebih elegan dan sensual.
Vina sudah datang lebih dulu. Penampilannya hari ini luar biasa "niat". Baju kerjanya berganti menjadi dress pas badan berwarna navy dengan belahan leher sedikit rendah, rambutnya ditata wavy ala salon mahal, dan riasannya lebih bold namun flawless.
"Pagi, Nay," sapa Vina ramah. Terlalu ramah.
Nayla mengerjap kaget. Biasanya Vina hanya akan mendengus atau menyindir. "Pagi, Mbak Vina. Tumben Mbak dateng pagi banget?"
Vina tersenyum manis, memutar kursi kerjanya menghadap Nayla. "Iya dong, harus semangat. By the way, gimana weekend kamu? Jalan sama pacar ya?"
"Eh? Nggak kok, Mbak. Cuma sama temen," jawab Nayla jujur namun defensif.
"Temen..." Vina mengangguk-angguk, matanya berkilat licik. "Temen yang waktu itu makan di pantry ya? Yang namanya Adit itu?"
Jantung Nayla berdegup. "Mbak Vina tau dari mana namanya?"
"Denger-denger gosip aja. Katanya dia staf Pengawas Umum ya?" Vina memancing.
"Iya, Mbak."
Vina tertawa kecil. Tawa yang sulit diartikan. "Menarik. Staf Pengawas Umum tapi selera makannya di pantry sama kamu. Cocok deh. Sederhana ketemu sederhana."
Meski kata-katanya terdengar memuji, nada bicaranya menyiratkan ejekan halus. Namun, Nayla memilih berpikir positif. Mungkin Vina sedang mencoba berdamai.
Pukul 11.30 WIB.
Adit muncul di lantai 15. Seperti biasa, ia mengenakan kemeja standar dengan lengan digulung, tanpa jas, kartu identitas dimasukkan ke saku. Ia berjalan santai menuju kubikel Nayla, berniat mengajak makan siang (lagi).
Namun, sebelum ia sampai di meja Nayla, sesosok tubuh menghalangi jalannya.
"Halo, Mas Adit," sapa Vina dengan suara mendayu.
Adit berhenti. Ia menatap wanita di hadapannya. Ia ingat ini Vina, si senior toxic yang mem-bully Nayla minggu lalu. Naluri Adit langsung waspada.
"Ya? Mbak Vina, kan?" jawab Adit datar.
"Wah, senengnya diinget," Vina melangkah maju satu langkah, menipiskan jarak personal mereka. "Kebetulan banget ketemu di sini. Mas Adit lagi sidak ya?"
"Iya. Biasa, cek AC," Adit berbohong malas.
Vina terkekeh, tangannya seolah tak sengaja menyentuh lengan Adit. "Rajin banget sih. Padahal AC di sini dingin lho. Eh, ngomong-ngomong, jam tangannya bagus Mas."
Mata Vina melirik ke pergelangan tangan kiri Adit. Hari ini Adit lupa mengganti jamnya. Ia memakai Patek Philippe Nautilus—jam yang harganya bahkan lebih gila dari Rolex kemarin.
Adit reflek menyembunyikan tangannya ke belakang punggung. "Oh, ini... jam KW kok, Mbak. Beli di Mangga Dua. Murah."
Vina tersenyum penuh arti. "Masa sih KW? Kok kilauannya beda ya? Saya suka cowok yang low profile kayak Mas. Pura-pura sederhana padahal... berisi."
Adit menatap Vina tajam. Kalimat itu terdengar ambigu. Apakah Vina tahu? Atau cuma menggoda karena mengira Adit anak orang kaya yang gabut?
"Saya cuma staf biasa, Mbak. Nggak ada isinya," Adit mencoba menghindar, melirik ke arah Nayla yang menatap mereka dengan wajah bingung dari balik kubikel. "Permisi, saya mau ke meja Nayla."
Vina tidak menyingkir. Ia justru menahan langkah Adit.
"Mas Adit, siang ini makan bareng yuk? Saya lagi pengen traktir nih. Di restoran Jepang lantai bawah. Bosen kan makan nasi kotak terus di pantry? Sekali-kali makan yang layak lah sesuai... kelas Mas."
Nayla yang mendengar itu merasa tertohok. Makan yang layak? Apakah bekal yang ia bawa selama ini tidak layak?
Adit merasakan ketidaknyamanan Nayla. Wajahnya mengeras.
"Maaf, Mbak Vina. Lidah saya lidah kampung. Saya lebih suka nasi kotak pantry daripada sushi. Dan saya sudah janji sama Nayla."
Adit melangkah melewati Vina, menghampiri Nayla. "Nay, yuk. Kita makan di kantin karyawan aja hari ini. Laper."
Nayla buru-buru berdiri, mengambil dompetnya. "Ayuk, Mas."
Mereka berdua berjalan cepat meninggalkan area kubikel.
Vina berdiri mematung di tempatnya. Ditolak mentah-mentah di depan rivalnya membuat darahnya mendidih. Tapi di saat yang sama, keyakinannya makin kuat.
"Patek Philippe Nautilus," desis Vina. "Harga pasarannya 1,5 Milyar. Staf Pengawas gajinya UMR beli jam 1,5 Milyar? Fix. Kamu Aditya Rahardian."
Vina memutar tubuhnya, menatap punggung Adit dan Nayla yang menjauh.
"Oke, Mas Adit. Kamu boleh jual mahal sekarang. Tapi laki-laki sekaya kamu nggak akan bertahan lama main rumah-rumahan sama janda miskin itu. Kamu butuh pendamping yang sepadan. Dan itu aku," gumam Vina penuh ambisi.
Di kantin karyawan yang bising.
Adit dan Nayla duduk berhadapan sambil menyantap soto ayam. Suasana agak canggung.
"Mbak Vina kenapa ya Mas?" tanya Nayla pelan, mengaduk kuah sotonya. "Kok tiba-tiba agresif banget sama Mas Adit? Padahal kemarin dia sinis."
Adit menghela napas. "Mungkin dia tipe orang yang liat casing. Tadi dia liat jam tangan saya, dikira saya orang kaya."
"Emang Mas orang kaya?" tanya Nayla polos.
Adit tersedak kuah soto. "Uhuk! Ya... kaya hati, Nay. Aamiin."
Nayla tertawa. "Iya sih. Mas Adit emang kaya hati. Tapi hati-hati lho Mas, Mbak Vina itu kalau mau sesuatu biasanya dikejar terus. Jangan sampe Mas tergoda rayuan maut dia."
Ada nada cemburu yang terselip di kalimat Nayla, meski Nayla sendiri tidak menyadarinya.
Adit tersenyum, menatap Nayla lekat. "Tenang aja. Mata saya udah kekunci."
"Kekunci sama siapa?"
"Sama soto ayam ini. Enak banget," elak Adit.
Nayla mencibir main-main. Namun dalam hatinya, ia merasa was-was. Ucapan Vina tentang "kelas" tadi terus terngiang. Sederhana ketemu sederhana. Apakah di mata orang lain, Adit terlihat terlalu bagus untuknya?
Sore harinya, saat jam pulang kantor.
Nayla sedang menunggu lift sendirian. Adit masih ada urusan (rapat direksi dadakan di lantai 40), jadi ia tidak bisa menemani Nayla turun.
Vina berdiri di samping Nayla.
"Nay," panggil Vina. Nadanya tidak lagi sinis, tapi terdengar seperti 'nasihat' sesama wanita.
"Iya, Mbak?"
"Kamu deket banget ya sama Mas Adit?"
"Temen deket aja kok, Mbak."
"Hati-hati lho, Nay," Vina membetulkan letak rambutnya. "Cowok kayak dia itu... misterius. Kamu nggak ngerasa aneh? Bajunya emang biasa, tapi auranya, barang-barangnya... kadang keliatan mahal."
Nayla mengerutkan kening. "Maksud Mbak?"
"Ya... jangan terlalu baper (bawa perasaan). Takutnya dia itu sebenernya orang yang 'ketinggian' buat kita. Atau mungkin dia punya rahasia gede yang disembunyiin. Kalau ternyata dia bukan sekadar Staf Pengawas gimana? Kalau ternyata dia itu... pangeran yang lagi nyamar?"
Vina tertawa seolah itu lelucon, tapi matanya menatap tajam reaksi Nayla.
Nayla terdiam. Pangeran yang menyamar? Imajinasi Vina terlalu liar. Tapi Nayla teringat kejadian Pak Darmawan di lift, Pak Ujang OB yang ketakutan, dan pengetahuan Adit yang luas tentang perusahaan.
"Ah, Mbak Vina kebanyakan nonton drama korea," jawab Nayla mencoba santai. "Mas Adit itu orang biasa kok. Makanannya aja soto kantin."
"Ya, semoga aja," Vina tersenyum miring. Lift datang. "Inget ya Nay, kalau jatuh dari tempat tinggi itu sakit. Mending sadar diri dari sekarang."
Vina masuk ke lift duluan, meninggalkan Nayla yang terpaku di lobi lantai 15.
Kalimat itu menancap di hati Nayla. Sadar diri.
Tanpa Nayla ketahui, benih keraguan yang ditanam Vina mulai berakar. Dan di lantai 40, Adit sedang pusing tujuh keliling karena Pak Darmawan baru saja melaporkan bahwa ada rumor beredar di kalangan direksi tentang "CEO yang sering main ke lantai 15".
Lingkaran rahasia Adit semakin mengecil. Waktu bermain-main hampir habis.
...****************...
Bersambung...
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️