perjalanan seorang remaja yang mencari ilmu kanuragan untuk membalaskan dendam karena kematian kedua orang tuanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bang deni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kuil Naga Langit
Setelah kejadian di Desa Cahaya Bulan, Raka tidak berlama-lama. Ia melanjutkan perjalanannya ke arah Utara, tempat yang konon katanya menyimpan banyak perguruan tua tersembunyi
dalam perjalanannya Beberapa kali Raka berbentrokan lagi dengan kelompok perampok atau pendekar lokal yang arogan. namun Raka berhasil mengatasinya
Tenaga dalamnya yang terus meningkat selama dua tahun di Macan Terbang menjadi modal utamanya. Jurus-jurus perguruan Harimau Terbang memang luar biasa dalam hal kecepatan, kekuatan, dan ketepatan serangan balik, bahkan untuk tangan kosong.
Raka melanjutkan perjalanannya hingga ia mencapai sebuah pegunungan yang tertutup kabut tipis, sebuah ironi mengingat musuh bebuyutannya. Di sana, ia menemukan sebuah kuil tua yang tersembunyi, yang dikenal sebagai Kuil Naga Langit yang Terlupakan. Kuil itu sepi, hanya dihuni oleh seorang biksu tua, Pendeta Agung Shi.
Raka memutuskan untuk tinggal dan berdiam diri di kuil tersebut selama beberapa minggu, berharap bisa merenungkan balas dendamnya dan mencari tahu lebih banyak tentang ilmu persilatan selain ilmu yang ia dapat di perguruan Harimau Terbang.
“Mengapa kau datang kemari, Anak Muda?” tanya Pendeta Agung Shi, yang matanya tampak seperti bisa menembus jiwa Raka.
“Aku mencari cara untuk meningkatkan ilmuku, Guru” jawab Raka jujur.
“ ilmu tidak hanya ditingkatkan dengan mencari jurus baru, tapi dengan memahami gerak dasar yang sudah kau miliki,” ujar Pendeta Shi, sambil tersenyum misterius.
Selama di Kuil Naga Langit, Raka tidak diajari jurus baru. Ia diminta untuk melakukan meditasi dan latihan dasar yang sangat sederhana seperti mengangkat air, membersihkan halaman, dan berlatih jurus yang ia punya di halaman kuil.
“Kau terlalu mengandalkan kecepatan dan kekuatan, Raka,” kata Pendeta Shi suatu malam, saat Raka sedang berlatih jurus Tapak Harimau.
“Ilmumu kuat, tetapi kosong. Ia seperti pedang tajam yang terburu-buru menghunus. Jika kau ingin mengalahkan kabut, kau harus menjadi angin yang tidak terlihat, bukan badai yang mudah diprediksi.” ucap Pendeta itu memberi petunjuk
Kata-kata Pendeta Shi sangat mengena di hati Raka. Ia menyadari bahwa selama ini, ia selalu fokus pada keunggulan jurus. Ia belum mengerahkan tenaga dalamnya dengan gerakan jurusnya secara sempurna. Ia mulai berlatih jurus-jurusnya dengan lebih lambat, lebih fokus pada aliran Tenaga Dalam di setiap gerakan, bukan hanya pada hasil akhir pukulan.
Setelah sebulan di Kuil Naga Langit, Raka merasa ada perubahan besar dalam dirinya. Tenaga dalamnya terasa lebih terarah dan halus. Ia tidak lagi hanya kuat, tapi juga bijaksana dalam menggunakan kekuatannya.
“Pergilah, Anak Muda. Jalanmu masih panjang. Kau tidak akan berkembang di sini, tapi di tengah orang-orang,” pesan Pendeta Shi saat Raka berpamitan.
Raka kembali berkelana kali ini perjalanannya membawanya ke sebuah lembah sungai yang sering dilalui pedagang. Di sana, ia menemukan sekelompok besar—sekitar dua puluh orang—bandit yang sedang menjarah karavan dagang yang cukup besar. Kali ini, para bandit itu tidak mengenakan pakaian compang-camping, melainkan seragam hitam dan membawa senjata yang lebih baik. seperti sebuah perguruan
“Cepat! Ikat semua orang ini! Harta karun ini milik Pemimpin kita!” teriak seorang bandit bertubuh kurus dengan kumis melengkung, yang tampaknya menjadi pemimpin regu.
Raka merasa tidak bisa berpaling. Para pedagang itu sudah dipukuli dan diancam dengan pedang.
Raka melangkah maju, di tangannya sebuah tongkat pendek tergenggam
“Berhenti!” seru Raka.
Seluruh dua puluh bandit menoleh. Mereka melihat Raka, seorang remaja berusia 16 tahun, yang berani mengancam mereka.
Pemimpin regu bandit, si Kumis Melengkung, tertawa terbahak-bahak.
“ Ha ha ha, anak kecil, jangan kau campuri urusan kami, kau ingin mati!"
“Lumpuhkan dia! Jangan bunuh! Kita jadikan dia pesuruh kita!” perintah Kumis Melengkung.
" Hiaaaat"
" Hiaaat"
Lima bandit maju serentak, pedang terhunus.
Raka bergerak. Ia menggunakan gabungan Tapak Macan Mengejar Angin dengan Jurus Pedang Bayangan Macan. Gerakannya halus, cepat, dan mematikan.
" Wush"
" Wush"
Ia mengelak dari dua tebasan, lalu menggeser tubuhnya ke samping, membalas dengan serangan ke arah leher salah satu bandit
" Wut"
"Bugh!" Bandit yang terkena pukulan langsung pingsan di tempat
" Wuut"
melihat temannya di rubuhkan yang lain mencoba menusuk. Raka memutar tongkatnya, menangkis serangan itu, lalu dengan cepat menusukan ujung tongkatnya ke tangan bandit itu.
"wuuut"
" Tuk"
" akh"
" Klontraaang"
" senjata bandit itu terjatuh ia sendiri mengaduh sambil memegangi tangannya yang terkena tusukan tongkat Raka.
Dalam waktu kurang dari satu menit, lima bandit pertama sudah dilumpuhkan. Semua bandit lain terdiam, mata mereka penuh ketakutan dan keheranan.
“Tenaga dalamnya begitu kuat! Anak ini berbahaya!” seru Kumis Melengkung.
Kumis Melengkung menyadari bahwa ini bukan pemuda biasa, tetapi seorang pendekar muda yang luar biasa.
“Serang dia semua! Jangan biarkan dia bernapas!” teriaknya panik.
"Hiaaaaat"
" Hiaaaat"
" Hiaaaaat"
Bandit yang tersisa menyerang Raka dari segala arah.
Raka melompat ke tengah kepungan. Ia menggunakan Jurus Harimau Melompat ke Langit, yang ia improvisasi setelah mendapat petunjuk dari Pendeta Shi. Jurus itu tidak hanya cepat, tetapi juga halus, mengalir, dan memanfaatkan kelenturan tongkat bambu di tangannya
Setiap gerakan tongkat Raka selalu diarahkan pada senjata lawan atau titik tekan yang membuat lawan tak berdaya. Ia tidak membunuh, ia melumpuhkan.
" Clang! Clang!"
Suara benturan tongkat dan pedang terdengar beruntun. Beberapa pedang bandit terlempar ke udara karena benturan yang kuat.
Raka berputar, menggunakan bagian tongkatnya untuk memukul punggung atau kepala lawan.
"Wuuut"
"Wuut"
"Brak!"
"Buk!"
" Aaargh"
"aaaaaahk"
Dalam waktu singkat, semua bandit terkapar di tanah, beberapa mengerang kesakitan, yang lain pingsan. Raka menarik napas dalam-dalam. Ia berhasil melumpuhkan seluruh kelompok besar itu sendirian.
Para pedagang, yang menyaksikan pertarungan itu, terdiam membisu, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Rasa takut mereka perlahan berubah menjadi rasa hormat dan kekaguman yang mendalam.
Kumis Melengkung, yang masih berdiri gemetar, akhirnya menjatuhkan pedangnya, berlutut, dan bersujud.
“Ampun, Pendekar Muda! Kami menyerah! Kami tidak akan mengganggu siapa pun lagi!” ucapnya memohon
Raka menatapnya. “Aku tidak butuh permohonan kalian. Berikan semua barang curian itu kembali, dan kalian harus meninggalkan lembah ini selamanya. Jika aku melihat kalian melakukan kejahatan lagi, aku tidak akan segan untuk menghancurkan kalian hingga ke akar-akarnya.”
Raka kemudian membantu para pedagang membebaskan diri dan mengumpulkan kembali barang-barang mereka yang berserakan. Para pedagang berterima kasih tiada henti, menawarkan berbagai hadiah hadiah, namun Raka menolak.
“Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan,” kata Raka sekali lagi, kata-kata yang dulu ia pelajari dari gurunya, Ketua Badra.
Setelah memastikan para bandit diikat dan ditinggalkan untuk dijemput oleh pengawal kota, Raka melanjutkan perjalanannya. Ia kini tahu bahwa ia sudah cukup kuat untuk menghadapi sebagian besar tantangan di rimba persilatan, bahkan dalam jumlah besar.
Namun, ia juga tahu, Hantu Berkabut bukanlah perampok biasa. Ia adalah master racun dan ilusi. Raka harus mencari ilmu yang mampu menahan racun dan membedakan ilusi dari kenyataan.
“Aku harus mencoba mencari Pegunungan Langit Biru,” gumam Raka pada dirinya sendiri, mengingat sebuah legenda tentang tempat di mana seorang biksu Tao menguasai ilmu penangkal racun dan penglihatannya.
Dengan hati yang lebih teguh dan pemahaman yang lebih dalam tentang ilmu kanuragan