Di Shannonbridge, satu-satunya hal yang tidak bisa direncanakan adalah jatuh cinta.
Elara O'Connell membangun hidupnya dengan ketelitian seorang perencana kota. Baginya, perasaan hanyalah sebuah variabel yang harus selalu berada di bawah kendali. Namun, Shannonbridge bukan sekadar desa yang indah; desa ini adalah ujian bagi tembok pertahanan yang ia bangun.
Di balik uap kopi dan aroma kayu bakar, ada Fionn Gallagher. Pria itu adalah lawan dari semua logika Elara. Fionn menawarkan kehangatan yang tidak bisa dibeli dengan kesuksesan di London. Kini, di tengah putihnya salju Irlandia, Elara terperangkap di antara dua pilihan.
Apakah ia akan mengejar masa depan gemilang yang sudah direncanakan, atau berani berhenti berlari demi pria yang mengajarkannya bahwa kekacauan terkadang adalah tempat ia menemukan rumah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chrisytells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 2 : Kopi, Scone dan Kecepatan Dial Up
“Kau yakin ini adalah ‘kedai kopi’, dan bukan gudang kayu yang dihias dengan buruk?” tanya Elara, berdiri di ambang pintu ‘The Crooked Spoon’.
Fionn, yang sudah lebih dulu masuk, menoleh sambil tertawa, jaket flanelnya yang usang mengeluarkan aroma pinus dan kopi. Biscotti berlari masuk dan langsung melompat ke atas kursi sofa yang terlihat sangat empuk di sudut ruangan.
“Ini adalah jantung Shannonbridge, Nona O’Connell. Di sinilah keputusan politik desa dibuat. Di sinilah gosip tersebar lebih cepat daripada sinyal 5G-mu,” jawab Fionn, menyambut seorang pria tua yang sedang menyesap teh.
Elara membiarkan Fionn berjalan ke balik meja konter kayu yang berat. Dia mengamati sekeliling. Dinding-dindingnya dipenuhi rak buku yang tidak rapi, peralatan pertanian antik, dan pot-pot bunga yang entah bagaimana berhasil bertahan hidup di musim dingin. Di salah satu dinding, tergantung sebuah sweter rajutan Natal yang besarnya seperti spanduk.
“Aku sudah pernah melihat suasana rustic di Dublin, Fionn. Itu dilakukan secara estetis, dengan pencahayaan yang tepat dan harga yang mahal,” komentar Elara, melepas mantel cashmere-nya dengan hati-hati. “Ini… ini terasa seperti Bibi O’Malley menumpahkan laci antik ke mana-mana.”
“Itu karena rustic yang kami punya adalah rustic yang otentik. Bukan rustic yang dibuat-buat, Nona,” balas Fionn, sambil membersihkan mesin espresso tua yang berdecit. “Sekarang, apa yang kau butuhkan? Espresso double-shot yang kuat?”
“Ya, dan bisakah kau menunjukkan di mana kata sandi Wi-Fi-nya? Aku harus segera mengecek email.” Elara mengeluarkan tablet-nya, matanya mulai memancarkan ketegangan.
Fionn mengambil sebuah kapur dan menulis sesuatu di papan tulis yang sudah penuh dengan pesanan dan gambar domba. "Ask for a scone, not the signal."
“Itu kata sandinya?” tanya Elara, tidak percaya.
Fionn tertawa. “Itu filosofi kami. Tapi, baiklah. Kau ingin sinyal? Coba hubungkan dengan jaringan ‘Shannon_Free_WiFi’. Jangan khawatir, kata sandinya hanya ‘irelandisgreat’.”
Elara segera mencoba menghubungkan tablet-nya. Wajahnya tegang menunggu loading. Setelah dua menit yang terasa seperti dua jam, tablet itu menampilkan ikon "Connection Timed Out".
“Oh, ayolah!” Elara membentak.
“Tenang, Nona. Mungkin koneksinya sedang sibuk membantu domba mengunduh lagu-lagu Natal,” Fionn mencoba bercanda, sambil menyerahkan espresso double-shot panas di cangkir keramik besar.
Elara mengabaikan lelucon itu. Ia kembali mencoba. Dia berpindah tempat, mencoba posisi di dekat jendela. Tidak ada perubahan.
“Fionn, ini serius. Aku tidak bisa bekerja tanpa internet. Apakah ini kecepatan dial-up dari tahun 90-an? Aku bahkan tidak melihat ada kabel fiber-optik di desa ini.”
Fionn bersandar di konter, meminum kopinya dengan tenang. “Nona O’Connell, desa ini dibangun sebelum ada ide tentang kecepatan internet. Di sini, kecepatan yang penting adalah kecepatan angin dan kecepatan reaksi anjingku. Dial-up dari tahun 90-an? Kau beruntung masih ada sinyal edge.”
“Edge? Kau bercanda?” Elara mengambil napas dalam-dalam. Ia harus menenangkan dirinya. “Dengar, Fionn. Aku seorang city planner. Proyek yang sedang kutangani bernilai jutaan euro. Aku harus merespons dalam hitungan jam, bukan menunggu sinyal merangkak selama sepuluh menit.”
“Lalu kenapa kau ada di sini, Nona Jutaan Euro?” Fionn bertanya dengan lembut, tetapi ada ketegasan di matanya. “Bosmu mengirimmu ke sini untuk bernapas, bukan untuk mempercepat koneksi. Coba letakkan benda itu sebentar. Coba rasakan kopi ini.”
Elara akhirnya mengambil tegukan besar dari espresso-nya. Matanya terpejam sejenak. Kopi itu... sungguh luar biasa. Kaya, gelap, dan memiliki rasa aftertaste madu yang mengejutkan.
“Ini... enak sekali,” bisik Elara, hampir tidak rela.
Fionn tersenyum penuh kemenangan. “Aku tahu. Aku berinvestasi pada hal-hal yang penting: kopi, anjing, dan kenyamanan. Tidak perlu kabel fiber-optik untuk membuat kopi yang baik.”
...****************...
Setelah menenangkan diri dengan kopi, Elara mulai menyalurkan energinya yang tegang ke hal yang ia kuasai: Organisasi dan Kritik.
Ia menunjuk ke rak buku yang tidak beraturan, tempat buku-buku resep bercampur dengan buku sejarah traktorfarm dan novel thriller usang.
“Oke, Fionn. Aku menghargai kopimu. Tapi, bisakah kita bicara tentang tata letak ruangan ini? Sebagai seorang perencana kota, aku melihat banyak sekali potensi yang terbuang.”
Fionn mengangkat alis. “Potensi terbuang? Aku melihat ruang yang nyaman, Nona. Apa masalahnya?”
“Masalahnya? Pertama, rak bukumu. Harus dikategorikan. Resep di sini, fiksi di sana. Kedua, alur kerja. Kenapa cangkir kotor harus dibawa sejauh ini ke belakang? Ini tidak efisien. Ketiga, perhatikan pencahayaan. Di sudut sana terlalu gelap, seharusnya ada spotlight untuk menonjolkan bingkai foto tua yang kusam itu.”
Fionn meletakkan lapnya. Ia berjalan ke arah Elara, tangannya bersedekap.
“Nona O’Connell, kau sedang merencanakan sebuah kota atau kedai kopi kecil di desa terpencil?”
“Aku menerapkan prinsip perencanaan ke mana pun aku pergi. Prinsip dasar: efisiensi menciptakan kebahagiaan. Jika kau mengatur kedaimu lebih efisien, kau akan lebih bahagia dan punya waktu lebih banyak untuk, misalnya, mengurus anjingmu dengan benar.”
Biscotti, yang mendengar namanya, menyalak bangga.
Fionn tersenyum masam. “Kebahagiaan? Kau terdengar sangat bahagia dengan semua spreadsheet dan jadwalmu yang sempurna, Nona. Kedai ini tidak diatur. Kedai ini tumbuh secara organik. Setiap benda yang kau lihat di sini, dari cangkir yang retak sampai sweter di dinding, punya cerita.”
“Aku yakin ceritanya panjang, Fionn. Tapi ceritanya akan lebih enak didengar jika disimpan di ruang penyimpanan yang rapi, bukan dipamerkan di ruang publik seperti ini. Lihat meja ini! Penuh remahan!” Elara menunjuk meja terdekat.
“Remahan scone buatan Ibuku. Remahan itu adalah bukti cinta dan kepuasan pelanggan,” Fionn membela. “Kau tahu, di Dublin, semua kafe terlihat sama. Baja, beton, minimalis. Semuanya dingin. Di sini, kami hangat. Kami kacau. Tapi kami punya karakter.”
“Karakter tidak menghasilkan laba, Fionn. Organisasi yang menghasilkan laba,” balas Elara, nadanya berubah menjadi profesional.
“Dan laba tidak menghasilkan senyum, Elara. Jujur padaku, kapan terakhir kali kau benar-benar tertawa? Bukan tawa profesional di rapat. Tawa yang membuat air mata keluar, tawa yang nyata.” Fionn mencondongkan tubuhnya, menatap lurus ke mata Elara. Pertanyaannya menusuk.
Elara terdiam. Ia tidak bisa mengingatnya.
...****************...
Fionn menyadari ia telah keterlaluan. Ia memundurkan langkah dan menghela napas.
“Baiklah, Nona O’Connell. Kau benar. Ada banyak trouble di sini. Tapi di sinilah keajaibannya. Cobalah scone-nya dulu. Lalu, mari kita buat kesepakatan.”
Fionn mengambil dua scone besar yang mengepul hangat dari balik kaca display dan meletakkannya di piring. Dia menyerahkan satu pada Elara.
Elara menggigit scone itu. Teksturnya yang lembut, rasa buttermilk yang kuat, dan sentuhan jam stroberi buatan rumahan—itu meleleh di mulutnya. Ia harus mengakui, itu adalah scone terbaik yang pernah ia makan.
“Ya Tuhan,” desah Elara.
“Kan? Aku bilang juga apa.” Fionn tersenyum, kali ini tulus.
“Ini… ini melanggar semua aturan baking sehat, tapi ini luar biasa,” aku Elara.
“Bagus. Sekarang, kesepakatannya. Kau ingin efisiensi? Kau ingin membuktikan bahwa planning itu penting?”
“Tentu saja.”
“Baik. Mulai sekarang, kau akan melupakan laptopmu. Lupakan jadwal unpacking dan email untuk hari ini. Aku menantangmu. Tantangan Detoks Shannonbridge. Selama 24 jam ke depan, kau hanya boleh memikirkan apa yang ada di depanmu. Kau harus menikmati ketidaksempurnaan ini.”
Elara mengerutkan kening. “Dan imbalannya?”
“Imbalannya adalah, jika kau berhasil bertahan 24 jam tanpa mengeluh tentang Wi-Fi atau mencoba merencanakan kedai kopiku, aku akan menuruti satu permintaan perencanaanmu besok. Aku akan merombak satu sudut yang paling kau anggap buruk di kedai ini. Terserah padamu. Bagaimana?”
Itu adalah godaan yang kuat. Elara membayangkan sudut gelap yang penuh dengan sapu dan ember tua yang bisa ia sulap menjadi area baca yang rapi.
“Hanya satu sudut?”
“Hanya satu. Dan jika kau gagal, Nona, jika aku melihatmu menyentuh laptop atau cemas, kau harus menghabiskan satu hari penuh besok, membantuku di kandang domba. Sepatu stiletto dan semuanya.”
Elara melihat stiletto mahalnya, lalu membayangkan dirinya berlumpur bersama domba. Sebuah taruhan yang kejam.
“Aku terima tantanganmu, Fionn Gallagher,” kata Elara, menyeka remah scone dari sudut mulutnya. “24 jam. Tanpa perencanaan, tanpa gadget.”
“Bagus sekali. Nah, sekarang setelah kita menetapkan aturan permainan, mari kita nikmati sisanya. Biscotti butuh jalan-jalan. Mau ikut?”
“Ke mana?”
“Ke ladang, di mana salju mulai turun, dan di mana kau tidak akan menemukan sinyal apa pun,” jawab Fionn, nadanya kembali riang.
Elara memandang ke luar jendela. Butiran salju turun semakin deras, dan cahaya senja yang keemasan di atas padang rumput terasa memikat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, tablet dan spreadsheet-nya terasa sangat jauh.
“Baiklah, Fionn. Aku akan ikut. Tapi jika aku terpeleset dan merusak lututku, aku akan menagih asuransi dari The Crooked Spoon,” ancam Elara.
Fionn tersenyum lebar. “Aku akan bertanggung jawab penuh, Elara. Aku akan membawakanmu kopi gratis seumur hidup jika itu terjadi. Ambil jaketmu. Dan, jangan lupa, kenakan sesuatu yang hangat. Sweter itu juga mode di sini, Nona.”
Elara mendengus. “Jangan harap. Aku tidak akan pernah memakai sweter konyol itu.”
“Kita lihat saja,” balas Fionn, matanya berkilat menantang, sebelum mengikat tali Biscotti.
Saat mereka melangkah keluar, Elara menyadari bahwa dia baru saja menukar jadwal yang teratur dengan sebuah tantangan gila, yang dipimpin oleh seorang pria yang mengenakan sweter berlampu. Namun, anehnya, jantungnya berdebar, bukan karena cemas, melainkan karena... antusiasme yang telah lama hilang.