Winter Alzona, CEO termuda dan tercantik Asia Tenggara, berdiri di puncak kejayaannya.
Namun di balik glamor itu, dia menyimpan satu tujuan: menghancurkan pria yang dulu membuatnya hampir kehilangan segalanya—Darren Reigar, pengusaha muda ambisius yang dulu menginjak harga dirinya.
Saat perusahaan Darren terancam bangkrut akibat skandal internal, Winter menawarkan “bantuan”…
Dengan satu syarat: Darren harus menikah dengannya.
Pernikahan dingin itu seharusnya hanya alat balas dendam Winter. Dia ingin menunjukkan bahwa dialah yang sekarang memegang kuasa—bahwa Darren pernah meremehkan orang yang salah.
Tapi ada satu hal yang tidak dia prediksi:
Darren tidak lagi sama.
Pria itu misterius, lebih gelap, lebih menggoda… dan tampak menyimpan rahasia yang membuat Winter justru terjebak dalam permainan berbeda—permainan ketertarikan, obsesi, dan keintiman yang makin hari makin membakar batas mereka.
Apakah ini perang balas dendam…
Atau cinta yang dipaksakan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 — “Aturan yang Tidak Lagi Berlaku”
Sejak insiden di restoran dengan Ethan Wray, energi di antara Winter dan Darren berubah menjadi sesuatu yang terasa seperti medan magnet. Kehadiran Darren di penthouse tidak lagi berupa bayangan yang mengganggu, melainkan tekanan fisik yang konstan. Meskipun pintu penghubung dikunci dan master key telah disita, Darren menemukan cara untuk selalu berada di dekatnya.
Winter mulai menghindari ruang tamu bersama, menghabiskan waktunya di ruang kerjanya yang dingin dan steril di ujung penthouse. Namun, Darren selalu berhasil mengganggunya, tanpa melanggar Master Access Control yang baru dipasang Winter.
Pukul 22.00, Winter sedang mendalami laporan keuangan Reigar, mencoba mencari celah baru untuk menuntut Wray. Keheningan malam di SCBD terasa berat.
Tiba-tiba, ada ketukan di pintu ruang kerjanya. Itu bukan ketukan Adrian yang terburu-buru, melainkan ketukan yang santai, percaya diri, dan tahu bahwa ia akan mendapatkan izin masuk.
Winter mengerutkan dahi. Ia tidak ingat pernah memberikan Darren akses ke ruangan itu.
“Siapa?” tanya Winter, suaranya tajam.
“Aku. Suamimu. Ada masalah dengan koneksi server pusat Reigar. Aku butuh akses internet berkabelmu yang lebih cepat. Aku tidak bisa membiarkan kerentanan jaringan ini terbuka semalaman,” balas Darren dari luar, nadanya profesional, logis, dan sangat mendesak.
Winter ragu. Ruang kerjanya adalah zona sucinya. Tapi ia tahu, jika ada masalah dengan server Reigar, itu bisa menghancurkan momentum yang ia dapatkan di pengadilan. Darren telah memancingnya dengan alasan yang tidak bisa ditolak.
“Aku akan membukanya. Tapi jangan sentuh apa pun,” perintah Winter.
Winter membuka pintu, dan mundur cepat ke belakang mejanya, menjaga jarak maksimal.
Darren masuk. Ia mengenakan celana lounge dan kaus hitam, rambutnya terlihat berantakan karena ditarik-tarik—tanda bahwa ia memang sedang bekerja keras. Ia membawa laptop ramping dan beberapa kabel.
Ruangan kerja Winter dirancang untuk satu orang. Kehadiran Darren, yang tinggi dan berotot, segera memenuhi ruang itu.
“Aku butuh lubang ethernet di belakang meja kerjamu,” kata Darren, tanpa melihat Winter. Ia berjalan di sepanjang sisi meja Winter, jalannya begitu dekat hingga Winter harus menahan napas.
Saat Darren membungkuk di bawah meja, tubuhnya diposisikan sedemikian rupa sehingga Winter hanya bisa melihat bahu lebarnya dan punggung yang tegang. Winter merasakan kakinya kaku di bawah meja, tidak berani bergerak sedikit pun.
“Kau tahu, Winter,” ujar Darren, suaranya teredam dari bawah meja. “Meskipun kau menaruh Adrian di mana-mana, dia tidak bisa mengurus detail teknis seruwet ini. Hanya aku yang tahu cara kerja server Reigar dari luar ke dalam.”
Kata-kata itu adalah pengakuan kekuasaan. Winter membutuhkan Darren, dan fakta itu adalah pil pahit.
“Lakukan saja, Darren. Dan segera keluar,” desis Winter.
Darren menarik kembali kabel itu. Ia menegakkan tubuh, dan ia tidak segera kembali ke sisi lain meja. Ia berdiri di sana, di dekat Winter.
Jarak fisik di antara mereka kini tinggal beberapa sentimeter. Winter bisa mencium aroma body wash maskulin yang lembut bercampur dengan mint.
“Sudah selesai,” kata Darren. Tapi matanya tidak melihat laptopnya. Matanya mengunci mata Winter.
Winter melihat kelelahan di mata itu—kelelahan karena melawan, bukan karena bekerja.
“Bagus. Sekarang, aku butuh privasi,” ujar Winter, berusaha menjaga suaranya tetap stabil.
Darren mencondongkan tubuh sedikit, memegang tepi meja Winter dengan kedua tangannya. Posturnya benar-benar mengurung Winter di kursinya.
“Kau tahu, privasi adalah hal pertama yang hilang saat kau menikahiku,” bisik Darren. “Terutama setelah konferensi pers itu. Semua orang di Jakarta sekarang percaya kita tidur di ranjang yang sama, Winter.”
Winter merasa panas. Ia tahu ia tidak bisa bergerak tanpa menabrak dada bidang Darren.
“Itu akting. Dan akting itu sudah selesai. Keluar dari ruanganku,” perintah Winter.
Darren tersenyum. Kali ini, itu bukan senyum sinis yang ia gunakan di depan Ethan, melainkan senyum lelah, namun menggoda.
“Kau terlihat sangat indah saat marah,” katanya, suaranya berubah menjadi lebih lembut, lebih menggoda. “Aku ingat dulu, saat kita berdebat tentang laporan, kau selalu….”
Darren berhenti. Ia mengangkat tangan kanannya, dan Winter merasakan napasnya tertahan lagi. Ia berpikir Darren akan menyentuhnya, dan ia siap untuk menampar tangan itu.
Tetapi Darren tidak menyentuhnya.
Tangan itu hanya meraih pena di saku kemeja Winter—pena mahal dari Montblanc yang selalu Winter bawa. Darren mengambilnya.
“Kau selalu menggigit ujung pena ini saat sedang frustrasi,” lanjut Darren, matanya tetap menatap intens ke mata Winter. “Ini adalah pena yang sama yang kuberikan padamu saat wisuda.”
Winter tidak bisa berkata-kata. Tiba-tiba, ia teringat semua hal. Semua detail yang ia pikir sudah ia lupakan. Pena itu, kebiasaannya menggigit ujung pena saat stres, bahkan aroma body wash yang Darren gunakan.
Darren memegang pena itu, ujungnya menyentuh bibir bawah Winter, perlahan. Itu adalah sentuhan yang tidak disengaja, namun sangat sensual.
“Berhenti. Ini melanggar klausul 10,” bisik Winter.
“Aku tidak menyentuhmu,” balas Darren, suaranya serak. “Aku menyentuh pena. Pena yang kau sentuh. Kau tidak melarang aku menyentuh barang-barangmu, Winter. Aku hanya menenangkanmu, seperti yang kulakukan sembilan tahun lalu.”
Sentuhan pena itu, yang dikendalikan oleh tangan Darren, kini terasa seperti ciuman yang dipaksakan. Winter memejamkan mata, merasakan tubuhnya bereaksi di bawah piyama sutra. Amarahnya terkikis habis oleh rasa rindu yang tak terduga dan sensasi panas yang familiar.
Tiba-tiba, Darren menjatuhkan pena itu ke meja. Bunyi dentingannya memecah ketegangan.
Winter membuka mata, dan melihat Darren yang kini tidak lagi tersenyum. Wajahnya gelap, emosinya tak terbaca.
“Aku… Aku tidak bisa,” kata Darren. Suaranya serak, bukan karena hasrat, tetapi karena kelelahan emosional. Ia mundur satu langkah, membebaskan Winter dari kurungannya.
“Aku tidak bisa terus memperlakukanmu seperti ini, Winter. Berpura-pura aku hanya ingin pena ini. Atau hanya butuh akses ethernet.”
Ia mengambil laptopnya, bersandar di dinding. “Kau benar. Semua aturan yang kau buat… aku melanggarnya. Bukan dengan menyentuhmu, tapi dengan menginginkanmu, Winter. Aku tidak bisa tidur di kamar seberang, tahu kau hanya berjarak beberapa langkah.”
Winter bangkit dari kursinya, tubuhnya gemetar. “Kau harus bisa. Itu kontraknya. Kau yang membutuhkannya, Darren.”
Darren menatapnya, dengan tatapan yang penuh keputusasaan dan hasrat.
“Aku memang membutuhkan kontrak itu. Tapi aku lebih membutuhkanmu, Winter. Sejak aku melihatmu di Tokyo, aku tahu ini bukan lagi tentang perusahaan. Ini adalah perang yang kau mulai, tapi yang akan menghancurkan kita berdua.”
Dia berjalan mendekat lagi, langkahnya perlahan. Winter tidak mundur. Ia tidak bisa.
Kini mereka berhadapan di tengah ruang kerja. Jarak itu tipis, berbahaya.
Darren mengangkat tangannya lagi, kali ini, ia tidak menyentuh pena. Ia menyentuh tulang pipi Winter. Sentuhan itu lembut, hati-hati, seperti ia sedang menyentuh kristal rapuh.
Winter memejamkan mata. Ia menyerah. Ia tidak bisa menahan sentuhan itu lagi.
Darren mendekat, ia bisa merasakan napas Darren yang hangat di bibirnya. Mereka hanya terpisah beberapa milimeter. Hasrat itu begitu kuat, hampir menyakitkan.
Tepat saat bibir mereka hampir bertemu, Winter tersentak.
Aku adalah CEO yang kejam. Aku menikahinya untuk balas dendam.
Winter membuka matanya, dan segera mendorong dada Darren. Tidak keras, tetapi cukup untuk menciptakan jarak.
“Keluar,” bisik Winter, suaranya tegas dan dingin. “Aku bilang, keluar.”
Darren tidak melawan. Ia melihat keputusasaan Winter, tetapi ia juga melihat keputusasaannya sendiri. Ia tahu Winter tidak menolaknya, ia menolak dirinya sendiri.
“Baik,” kata Darren, suaranya rendah. “Aku akan keluar. Tapi kau tahu, aku tidak akan pergi jauh. Dan lain kali, aku tidak akan membiarkanmu lari dari ciuman ini.”
Darren berbalik dan berjalan keluar dari ruang kerja Winter, meninggalkan laptop dan kabelnya. Ia menutup pintu, dan Winter mendengar bunyi klik kunci dari sisi Winter.
Winter bersandar di pintu yang terkunci, napasnya memburu. Ia menyentuh bibirnya sendiri. Ia bisa merasakan sisa kehangatan Darren di sana. Ia tahu, jika Darren tidak mundur, mereka akan melewati batas.
Aturan itu telah dilanggar. Batasan fisik itu telah ditembus, meskipun hanya oleh dorongan singkat dari Winter sendiri. Darren benar: ia tidak bisa tidur di kamar seberang. Dan yang paling menakutkan, Winter juga tidak bisa.
Winter Alzona membenci dirinya sendiri. Ia membenci betapa lemahnya ia terhadap sentuhan dan pengakuan Darren. Ia merasa dirinya mulai kehilangan segalanya.
Ia berjalan ke mejanya, mengambil pena Montblanc yang terjatuh, dan menggigitnya dengan keras, berharap rasa sakit itu bisa mengembalikan fokusnya pada dendam, bukan pada hasrat.