kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku mau tinggal sama Mak
Siang menjelang sore yang mendung. Tiwi baru saja terlelap lagi setelah meminum obat dari bu Bidan. Sekarang Tiwi tidur di atas dipan kayu dengan kasur tipis karena sudah lapuk itu. Di tangan kanannya tertancap infus yang baru saja dipasang beberapa saat yang lalu oleh bu Bidan setelah melalui persetujuan pak Tarmo dan bu Tarmo serta disaksikan pak RT dan bu Guru Sri. Karena panas Tiwi yang tinggi hingga menggigil hebat, dikuatirkan jika tidak dibawa ke Klinik atau rumah sakit akan semakin parah. Tapi Tiwi tidak mau dan mengancam akan lari, akhirnya setelah berunding, para orang tua itu pun memutuskan merawat Tiwi dirumah dengan pantauan bu Bidan Dwi.
“ Kasihan anak itu, dia benar- benar tidak mau pulang ke rumahnya. Sepertinya dia mengalami trauma yang berat dengan perlakuan di keluarganya sana,” ujar bu Tarmo memandangi gadis kecil yang agak pucat itu.
“Iya Bu, tapi jika kita membiarkan dia tinggal disini tanpa izin dari orang tuanya, maka kita yang akan kena masalah nantinya. Seandainya orang tuanya lapor ke polisi, dan ada yang tau jika Tiwi tinggal disini, bisa jadi kita dituduh menyembunyikan anak orang lain, parahnya lagi kita dianggap menculiknya…” keluh pak Tarmo lirih.
Bu Tarmo terdiam. Dia sedih membayangkan akan berpisah dengan gadis kecil yang sudah merebut hatinya itu.
Tiba-tiba sebuah mobil kijang bak terbuka berhenti di depan rumah pak Tarmo. Sang pengemudi memarkir mobilnya di tepi jalan. Diikuti pak Heri sang ketua RT yang membawa motornya masuk ke halaman rumah yang tidak seberapa itu. Dari dalam mobil turunlah dua pria yang salah satunya adalah seorang paruh baya yang masih terlihat gagah di usianya menjelang senja itu. Dengan mengenakan Pesa'an, busana khas madura yang berwarna hitam dengan dalaman kaos belang-belang merah hitam dan Odheng atau penutup kepala serta lengkap dengan Katemang atau sabuk warna hijau itu Pak Parman melangkah menuju ke rumah pak Tarmo. Sementara di sebelahnya Yitno mendampingi sang Bapak dengan setia.
“Mari Pak Inggi, silahkan masuk, ini rumah Pak Tarmo, orang yang telah menemukan cucu Njenengan,” pak RT Heri mempersilahkan.
Tarmo dan istrinya segera beranjak dari duduknya dan berdiri mendekat ke arah tamunya, mereka saling berjabat tangan. Setelah semua orang duduk di bangku ruang tamu yang menjadi satu dengan ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang tivi dan ruang keluarga itu, akhirnya pak Parman membuka suara.
“Sebelumnya perkenalkan, nama saya Parman, dan ini anak bungsu saya Yitno. Saya adalah Kakek dari Tiwi, anak kecil yang menurut info yang saya terima sedang berada di rumah anda. Saat ini ibunya Tiwi sedang menjaga neneknya Tiwi yang sakit begitu tau cucu kesayangannya menghilang dari rumah. Saya telah mendengar cerita dari pak RT Heri, tentang bagaimana anda menemukan cucu saya itu. Saya mewakili keluarga mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan yang telah anda berikan kepada cucu saya itu,” ungkap pak Parman panjang lebar.
Pak Tarmo dan bu Tarmo saling pandang. Kemudian pak Tarmo berkata pelan,
“Alhamdulillah jika akhirnya Tiwi dapat ditemukan oleh keluarganya Pak. Karena kami masih belum bisa membujuknya agar memberitahu alamat rumahnya agar kami dapat mengabari orangtuanya. Tiwi benar-benar tidak mau pulang Pak. Dia sepertinya sangat ketakutan. Entah apa yang menyebabkannya. Bahkan saat akan kami bawa ke rumah sakit dia berkeras tidak mau Pak, dan mengancam akan lari. Hingga akhirnya terpaksa dia di infus didalam rumah ini dengan pengawasan bu Bidan Dwi.”
“Apa? Tiwi sakit ? Dimana dia sekarang Pak? Bu?” tanya Yitno kuatir.
Bu Tarmo bangkit dari duduknya, kemudian mengajak dua tamunya mengikuti ke kamar dimana Tiwi sedang tidur dan diinfus. Yitno dan Parman sangat trenyuh melihat gadis kecil yang terbaring lemah dan pucat dengan tangan kanannya tertancap jarum infus. Boneka monyet kesayangannya ada dipelukan gadis yang dahi dan keningnya penuh keringat itu.
“Mmbaah.. mmbaahh.. Tiwi kangen..mbbah..” gumam gadis kecil itu lirih.
Siapapun akan trenyuh melihatnya. Setetes airmata jatuh dipipi bu Tarmo yang sedang mengelap keringat dingin di dahi Tiwi dengan handuk kecil.
“Tiap malam dia akan mengigau memanggil neneknya Pak, tapi tiap kali saya tawari untuk kami antar pulang jawabnya selalu sama, nggak mau, aku mau tinggal sama Mak saja,” bu Tarmo bercerita sembari menghapus air matanya pelan.
Pak Parman bertukar pandang dengan Yitno, seolah berkata, bagaimana ini?
Entah karena memang waktunya bangun ataukah karena merasa banyak orang yang berada didekatnya, akhirnya Tiwi pun membuka matanya perlahan. Dia melihat sekeliling, betapa kagetnya dia kala mendapati sang Kakek dan juga pamannya ikut berdiri di dekat ranjang tidurnya ini.
“Mbah Kung? Paman?” tanyanya serak.
Pak Parman mendekati cucunya ini, dipeluknya erat dan penuh kasih tubuh ringkih sang cucu. Diciumnya kening Tiwi yang terasa panas itu.
“Mbah Kung kangen kamu Ndhuk…” ucap pak Parman lembut.
Tiwi pun menangis di pelukan sang Kakek. Suara tangisannya begitu pilu dan menyayat hati. Kembali semua yang hadir ikut bersedih mendengarnya. Bu Tarmo pun terisak di dekapan suaminya.
“Tiwi nggak mau pulang Kung. Tiwi mau tinggal sama Mak saja. Bapak Ismawan jahat Kung, dia nyuruh Tiwi nyusul Bapak Fendi saja kalau Tiwi nakal..hiks.hiks.. ibu juga sudah ndak sayang lagi sama Tiwi Kung, seringkali Tiwi ditampar, dipukul dengan keras. Tiwi takut pulang Kung..hiks.hiks..” anak itu menangis dan mengungkapkan isi hatinya pada sang Kakek yang masih mengusap-usap kepalanya dengan lembut. Tiba-tiba Tiwi kejang, badannya kaku, kemudian pingsan.
“TIWI !!!” teriak Yitno dan Parman bersamaan.
Semua kaget dan bingung, pak RT segera berlari keluar menuju rumah Bidan Dwi dan membawanya ke rumah Tarmo. Bidan Dwi meminta semua keluar, untuk memberi udara bagi Tiwi, dia dibantu bu Tarmo berusaha menyadarkan gadis kecil yang semakin pucat itu.
Setelah berhasil sadar, bu bidan Dwi, memeriksa Tiwi dan membetulkan infusnya. Kemudian menyuruh bu Tarmo untuk mendampingi Tiwi. Dan dia melangkah keluar menemui keluarga anak itu.
“Bagaimana keadaan cucu saya Bu?” Parman bertanya dengan nada sangat kuatir.
“Sepertinya Tiwi harus segera dibawa ke rumah sakit Pak, butuh penanganan yang lebih intensif. Juga agar bisa diambil darahnya untuk diperiksa sakit apa yang diderita Tiwi secara pasti. Bisa Thypus, atau mungkin juga DBD. Saya sarankan segera dibawa saja Pak,” jawab bu Bidan Dwi.
“Baiklah Bu, akan kami bawa ke rumah sakit di Kota Malang saja, karena jika ke rumah sakit yang dekat dengan rumahnya Tiwi, jaraknya sangat jauh dari sini.” Ujar pak Parman memutuskan.
“ Saya akan mendampingi Pak, biar bisa memberikan keterangan kepada pihak rumah sakit mengenai tindakan medis dan juga obat yang sudah saya berikan padanya,” bidan Dwi menyatakan kesiapannya.
Sementara itu, bu Tarmo pun segera bersiap mengemasi baju gantinya, karena dia berniat akan menjaga Tiwi di rumah sakit nanti. Dia tidak tega membiarkan Tiwi sendirian. Pak Tarmo sangat setuju dengan keinginan istrinya itu. Dan bersama dengan Parman dan Yitno, bu Tarmo duduk memangku Tiwi di depan. Sedangkan pak Tarmo duduk di bak belakang. Pak RT berboncengan dengan bu Bidan menyusul dengan naik motor di belakang mobil Parman. Mereka menuju ke rumah sakit di kota.
—----------
Riyanti baru saja selesai mewaslap sang ibu. Kemudian dia menyuapi sang ibu dengan bubur dari rumah sakit.
“Cepat sembuh ya Bu, aku juga berharap agar anakku bisa segera ditemukan. Aku janji akan merubah sikap kerasku pada Tiwi jika dia sudah kembali nanti. Semua ini salahku yang malah menjadikan dia pelampiasanku dari segala tekanan hidupku, maafkan aku Bu…” ucap Riyanti penuh sesal.
Bu Mirah mengangguk lemah. Ada sedikit kelegaan mendengar tekad anaknya untuk berubah dan menyadari kesalahannya itu..
“Iya Ti, kita sama-sama salah.. membiarkan Tiwi mencari kenyamanan hatinya sendiri, tanpa mendampinginya seperti dulu. Semoga Tuhan segera mengembalikan cucu ku itu. Aku sudah sangat merindukannya..”
Bu Mirah menerawang langit-langit rumah sakit. Hatinya tak berhenti berdoa dan memohon pada Tuhan agar segera dipertemukan dengan cucu kesayangannya itu.
*************
Cepat sembuh ya Mbah..
Supaya bisa menjenguk Tiwi yang juga sedang dirawat di rumah sakit…