Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.
Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.
Namun Wijaya bukan lelaki biasa.
Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.
Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wajah di Selebaran
Lorong puskesmas kecamatan itu terasa lebih dingin dari biasanya. Bau obat menyengat bercampur aroma karbol membuat kepala Lia berdenyut. Ia duduk di bangku plastik yang warnanya mulai pudar, tangannya gemetar. Di balik tirai hijau pada ruang perawatan, Wijaya masih terbaring tanpa sadar, napasnya naik turun berat.
Setiap kali Lia mencoba berdiri, lututnya melemah.
“Mas… jangan tinggalin aku,” gumamnya lirih, entah untuk yang keberapa kali.
Perawat lewat tergesa-gesa. Orang-orang keluar masuk. Namun suara dunia terasa seperti sayup-sayup air sungai di kejauhan. Yang benar-benar nyata hanya rasa takut, tajam, menusuk, seperti duri yang tertahan di dada.
Dokter tadi bicara terlalu banyak, terlalu cepat.
Sakit serius.
Perlu dirujuk.
Kemungkinan operasi.
Biaya besar.
Kata-kata itu berputar seperti angin puyuh.
Ia berdiri pelan, berjalan tanpa arah, sekadar menenangkan dada yang terasa sesak. Di papan pengumuman dekat ruang pendaftaran, tempelan selebaran warna mencolok berjejal. Ada pengumuman imunisasi, jadwal posyandu, brosur obat, dan di antara semuanya—selembar kertas putih dengan foto wajah lelaki berjas rapi.
Langkah Lia terhenti.
Dadanya seperti dipukul sesuatu dari dalam.
Ia mendekat. Matanya tak salah lihat.
Garis rahang itu.
Tatapan mata itu.
Bibir itu.
Bukan mirip.
Itu Wijaya.
Tidak ! Nama yang tercetak tebal di bawah foto itu:
KRISNA KUSUMA
Tangan Lia otomatis menutup mulutnya. Selebaran itu sedikit kusut di sudutnya, tanda sudah lama dipasang. Ada tulisan besar-besar:
ORANG HILANG
Keluarga mencari sejak tiga bulan terakhir.
Di bawahnya tercantum:
CEO Kusuma Group
Kata itu membuat Lia goyah. Ia berpegangan pada papan pengumuman agar tak jatuh. CEO. Lelaki yang dipungut dari pinggir jalan desa, yang bekerja serabutan, yang selalu tersenyum kikuk saat dihujat warga… ternyata pemilik dunia yang tak pernah Lia bayangkan.
Ingatannya melompat ke momen-momen kecil:
tangan kasar Wijaya yang sering membantu menimba air, cara lelaki itu tertawa melihat anak kecil mengejar layangan, dan malam ketika lelaki itu menggenggam tangan Lia terlalu erat seakan takut kehilangan apa pun. Semua terasa sederhana. Terlalu sederhana.
“Mas…” bisiknya. “Kamu siapa sebenarnya?
Tangannya menyentuh foto di selebaran itu. Dingin. Jauh. Terasa bukan milik orang yang selama ini tidur di ranjang bambu mereka.
Di bagian bawah selebaran, tercantum nomor kontak:
Ibu: Ana Kusuma
Nama itu seperti pisau tumpul yang menekan pelan ke hatinya.
Ibu.
Keluarga.
Dunia yang tak pernah Lia kenal.
Tiba-tiba suara langkah tergesa memecah lamunannya. Seorang ibu setengah baya duduk tak jauh darinya, terisak menunggu anaknya di ruang tindakan. Lia refleks melipat selebaran itu, entah mengapa seakan itu benda terlarang.
Dokter tadi sempat berkata:
“Kalau operasi berhasil, ada kemungkinan besar memorinya kembali.
Tapi ingatan yang sekarang… bisa hilang.
Ingatan yang sekarang.
Ingatan tentang Lia. Tentang desa. Tentang janji pelan di tepi sawah. Tentang senyum yang mungkin hanya sementara.
Lia menunduk, mengusap wajahnya. Begitu orang tuanya datang mendekat, Lia memperlihatkan selebaran itu. Kedua orang tua itu tercengang tidak percaya.
Bu Surti duduk di sebelah Lia, meremas jemarinya yang gemetar. Tatapan Lia kosong, tertuju pada pintu ruang perawatan tempat Wijaya masih terbaring dengan oksigen dan infus.
“Lia…” suara Bu Surti bergetar, seperti takut menyentuh luka yang masih terbuka, “kowe kuat, ya. Gusti ora sare.”
Lia menggeleng pelan. “Bu… kalau operasi itu gagal, dia bisa…,” suaranya terputus, tenggorokannya tercekat. “Kalau berhasil, dia… mungkin nggak ingat aku lagi.” Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh juga.
Pak Wiryo berdiri kaku di hadapan mereka. Topinya ia remas di kedua tangan, wajahnya keruh, keriputnya seperti bertambah dalam malam itu. Ia menarik napas panjang sebelum bicara.
“Lia… bapak dan ibumu sudah mikir berkali-kali sepanjang jalan ke sini,” katanya dengan suara berat. “Masalah biaya operasi di kota besar itu… jumlahnya gedhé sekali. Lebih dari yang keluarga kita pernah bayangkan.”
Lia menunduk makin dalam. “Aku tahu, Pak.”
Bu Surti tak kuasa menahan tangisnya sendiri. Ia memeluk bahu Lia, tetapi pelukan itu pun terasa rapuh.
“Kalau jual sawah sebiji pun ora nyandak, Lia,” katanya terbata-bata. “Bapakmu wis tau tanya-tanya ke sedulur, ke tetangga, ke tengkulak… ora ana sing sanggup nuku sawah. Ibu… ibu pengin nolongmu, nak. Tapi tangan iki kosong…”
Kalimat terakhir itu pecah bersama isakannya. Sunyi menyelimuti mereka bertiga. Hanya suara langkah perawat dan bunyi alat medis dari balik pintu yang memecah keheningan.
“Bu, Pak…” Lia berbisik. “Kalau aku hubungi nomor di kertas ini… berarti aku harus siap… melepaskan dia, ya?”
Pak Wiryo menutup mata sejenak, lalu mengangguk pelan. “Mungkin itu jalan paling selamet untuk nyawanya.”
“Cinta itu ora mung soal ‘memiliki’, Lia,” tambah Bu Surti dengan suara serak. “Kadang justru kudu berani merelakan.”
Lia terisak tanpa suara. Hatinya seperti disayat antara ingin mempertahankan lelaki yang memanggilnya “istriku” dengan hangat, dan menyelamatkan nyawa yang sama… meski berarti ia akan dilupakan.
Namun bayangan Wijaya terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit kembali terlintas. Bibirnya pucat, napasnya berat, dan mesin kecil di samping tempat tidur menjadi saksi betapa nyawanya digantungkan pada keputusan yang harus Lia ambil malam itu.
Ia mengusap air matanya, meski tak ada satu pun yang benar-benar berhenti. “Aku… aku nggak mau dia mati hanya karena aku egois,” katanya pelan. “Kalau setelah operasi dia lupa aku… setidaknya dia masih hidup. Masih bisa ketemu keluarganya.”
Bu Surti mendekapnya lebih erat lagi, sementara Pak Wiryo memalingkan wajah, menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca.
Desa terasa jauh, kota terasa asing, dan di tengah keduanya Lia duduk sendirian, dipaksa dewasa oleh nasib, dipaksa memilih oleh cinta.
Air mata Lia akhirnya jatuh tanpa suara.
Ia menatap tirai ruang perawatan. Di balik sana, lelaki itu masih bernapas tanpa tahu badai apa yang menunggunya.
Jika ia tak dioperasi… mungkin kehilangan nyawa.
Jika ia dioperasi… mungkin kehilangan Lia.
Pilihan mana pun terasa seperti menukar jiwanya sendiri.
Perutnya tiba-tiba menegang.
Ada kehidupan kecil di sana.
Separuh dirinya—separuh lelaki di ruangan itu.
“Maaf ya, Nak…” bisiknya pada perutnya sendiri. “Ibu nggak kuat egois.”
Ia membuka lipatan selebaran itu lagi. Kali ini lebih tenang—namun pasrah.
CEO.
Orang hilang.
Dicari keluarga.
Ia mengusap nama Ana Kusuma, huruf demi huruf.
Baru tadi siang ia masih takut memikirkan masa depan. Sekarang masa depan itu berdiri di hadapan besar, asing, tak terjangkau.
Namun cintanya pada lelaki itu tidak berkurang sedikit pun.
Justru karena cinta itulah ia merasa harus kehilangan.
Tangannya gemetar saat meraih ponsel bututnya. Tombol 0-nya agak keras ditekan, layarnya retak di sudut. Ia mengetik nomor yang tertera di selebaran, namun tak kunjung menekan tombol panggil.
Kalau ia menelepon, segalanya berubah.
Kalau ia diam, mungkin justru membunuhnya.
Kursi plastik kembali berderit saat ia duduk. Dunia terasa sunyi meski puskesmas penuh orang.
Ia menatap foto itu sekali lagi, lalu berbisik:
“Kalau kamu benar Krisna… pulanglah. Meski itu berarti kamu pergi dariku.”
Jempolnya akhirnya menekan tombol hijau.
Nada sambung berdering panjang.
Di balik tirai hijau itu, mesin monitor detak jantung berdetak stabil, namun setiap detiknya terasa seperti hitungan menuju perpisahan.