“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Empat Belas
"Untuk apa kamu pergi ke dokter bedah plastik?”
Suara Kevin terdengar rendah, tapi penuh ledakan yang ditahan. Angin laut berembus kencang, daun-daun kelapa bergesekan, tapi tidak ada yang lebih keras dari ketegangan di antara mereka.
Davina menelan ludah. Tak tahu harus menjawab apa, apakah jujur atau berbohong saja.
Angin pantai berembus kencang, tapi hening yang tercipta justru terasa lebih menyesakkan daripada suara ombak yang memecah karang. Davina berdiri terpaku, rambutnya terurai ditiup angin, jantungnya berdetak begitu keras hingga terasa menusuk rusuknya sendiri.
Kevin menunggu jawabannya. Namun, Davina hanya diam.
Ia tidak berani menatap mata Kevin, mata yang sejak dulu terlalu mudah membaca dirinya. Mata yang kini penuh badai yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Hening itu bertahan beberapa detik yang terasa seperti menit. Kevin menggertakkan gigi.
“Davina.” Suaranya berat. “Aku nanya baik-baik.”
Davina masih diam. Bibir Kevin menegang. Napasnya memburu.
“Jawab!” bentak Kevin tiba-tiba.
Davina tersentak, tetapi tubuhnya tetap terpaku. Ia ingin bicara, namun lidahnya seperti terikat.
Ketika Davina masih tak mengeluarkan sepatah kata pun, Kevin maju satu langkah dan mendorong tubuh gadis itu hingga bersandar keras pada pintu mobil yang dingin. Dorongan itu tidak sampai melukai, tapi cukup membuat Davina mengeluarkan napas terputus.
Mata mereka bertemu. Tatapan Kevin menikam.
“Aku bilang jawab.” Suaranya dalam, nyaris bergetar menahan emosi. “Untuk apa kamu ke sana?”
Davina mengerjapkan mata. Pipi dan telinganya panas. Tangannya bergetar karena ketakutan dan marah.
“Kau tahu,” lanjut Kevin, kini dengan nada yang lebih mengancam, “Aku bisa telusuri apa pun. Jangan anggap abang bodoh.”
Davina menggigit bibir. Ia sudah berada di ujung kesabarannya.
“Bang Kevin .…” Ia menelan ludah, suaranya masih bergetar, “Ini semua bukan urusan Abang.”
Sekilas, waktu seperti berhenti. Kevin menatapnya lama. Sangat lama.
“Bukan urusanku?” Ulang Kevin dengan suara pelan tapi tegas, tapi tatapannya berubah tajam. “Bukan urusanku!” Kembali Kevin mengucapkan itu. Kali ini dengan tersenyum miring.
Davina mengangguk pelan, meski jelas ia sedang memaksakan keberanian.
“Ya,” jawab Davina lirih namun tegas. “Bukan urusan Abang.”
Rahang Kevin mengeras begitu kuat hingga garisnya terlihat jelas. Napasnya terdengar seperti hembusan dari seseorang yang menahan amukan di dalam dada.
“Oh, jadi begitu.” Ia mendekat sedikit lagi. “Kamu pikir Abang nggak ngerti? Kamu pikir Abang nggak tau alasan kamu ke sana?”
Davina membuang muka, menatap ke laut. Dia sebenarnya yakin kalau pria itu tahu semua yang dia lakukan. Selama ini, ia masih berpikir saja, sudah langsung Kevin bisa tahu isi kepalanya.
“Abang tau,” kata Kevin rendah. “Kamu mau memperbaiki selaput dara, kan?”
Davina meremas tangannya sendiri. Jantungnya seperti mau copot.
Kevin tertawa sinis, tawa yang justru terdengar lebih menyakitkan dibanding amarahnya.
“Kamu takut Shaka tau kamu sudah tidak perawan lagi.”
Tatapannya menusuk, menyiksa. Davina tak mau menjawab.
“Apa segitunya kamu mau menikah sama dia sampai rela melakukan apa pun?”
Angin menghantam wajah Davina, tapi dinginnya kalah jauh dari rasa perih yang menusuk hingga dadanya.
Ia mengangkat wajah. Matanya merah, tapi bukan karena air mata. Karena marah.
“Ya,” jawab Davina akhirnya.
Suara itu pelan, tapi mantap seperti palu yang dijatuhkan ke meja. Kevin mematung. Tak menyangka Davina berani menjawab begitu. Gadis yang selama ini selalu bergantung dengannya, sudah berani membantah.
“Ya,” ulang Davina, lebih keras. “Aku mau menikah. Aku mau bebas. Aku mau hidup tanpa Abang atur. Tanpa Abang larang ini itu. Tanpa Abang awasi setiap langkahku.”
Ia menatap Kevin secara langsung, untuk pertama kalinya hari ini.
“Aku mau menikah supaya aku bisa melakukan apa pun sesuka aku. Tanpa Abang ikut campur.” Davina mengulang ucapannya untuk memberikan penegasan atas apa yang dia lakukan.
Jawaban itu membuat Kevin seakan kehilangan oksigen. Tangannya mengepal begitu kuat hingga urat di lengannya tampak jelas.
“Begitu …,” gumam Kevin.
Davina kembali menggigit bibir, menahan tubuhnya agar tidak goyah di bawah tatapan Kevin yang begitu menghancurkan. Beberapa detik kemudian, Kevin bergerak. Begitu cepat.
Ia mencengkeram lengan Davina, tidak kasar hingga menyakiti, tapi cukup kuat menunjukkan bahwa ini bukan permintaan.
“Masuk mobil.”
“Bang ....”
“Masuk!”
Nada itu membuat Davina tak berani membantah. Ia melangkah ke dalam mobil, duduk tanpa bersuara, dan merasakan pintu ditutup keras dari luar.
Kevin masuk ke kursi supir, menyalakan mesin, dan langsung memutar mobil tajam hingga ban berdecit, meninggalkan area pantai dengan kecepatan yang membuat Davina memegang sabuk pengamannya erat-erat.
“Bang, kita mau ke mana?” tanya Davina, ketakutan mulai merayapi tubuhnya lagi.
Tidak ada jawaban. Hanya deru mesin, dan napas Kevin yang terdengar berat.
Mereka melewati jalan pesisir, masuk ke jalan raya, lalu belok ke area kota yang lebih padat. Kevin menyetir cepat, namun tetap terkontrol, menunjukkan bahwa ia sadar betul apa yang ia lakukan, meski pikirannya kusut.
Setelah sekitar dua puluh menit, Davina mengenali area yang mereka masuki. Sebuah hotel besar. Tempat Kevin melangsungkan pertunangan waktu itu.
Hotel yang Kevin sering gunakan untuk urusan bisnis. Hotel yang sering ia datangi bersama klien. Hotel yang pernah membuat Davina cemburu ketika dulu mendengar kabar bahwa Kevin sering terlihat di sana dengan rekan-rekan wanita kantoran, meski itu hanya rumor.
Perut Davina terasa mulas karena takut. Ia lalu bertanya, “Bang … kenapa ke sini?”
Masih tidak ada jawaban. Kevin memarkir mobil di basement, mematikan mesin, lalu turun dan berjalan memutari mobil.
Ia membuka pintu Davina, menatap gadis itu dengan sorot mata yang tak bisa ditebak, bukan lagi sekadar marah. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih rumit, lebih luka.
“Ayo.”
Davina menggigit bibir. “Bang, tolong kasih tau ....”
Kevin tidak menunggu. Ia menarik tangan Davina, tidak sampai menyakitkan, tapi juga tidak bisa ditolak. Gerakan yang tegas.
Mereka masuk ke lift. Suasana terasa hening.
Lift bergerak naik. Davina berdiri di sudut, memeluk dirinya sendiri, menekan punggungnya ke dinding lift untuk menjaga jarak.
Sementara Kevin berdiri dengan rahang mengeras, tangan di saku, matanya hanya menatap pintu lift. Pintu terbuka.
Kevin melangkah keluar, masih menggenggam tangan Davina. Mereka berjalan menyusuri koridor hotel yang sunyi, hanya terdengar suara AC dan langkah kaki mereka.
Sampai Kevin berhenti di depan salah satu kamar. Ia mengeluarkan kartu akses, kartu yang jelas sudah ia miliki sejak lama, lalu membuka pintu.
Pintu terkuak. Ruangan itu luas, beraroma harum, dengan pencahayaan hotel yang lembut.
“Masuk!” Perintah Kevin.
Davina menatap Kevin, bingung, takut, campur aduk. “Bang, tolong jangan ....”
“Davina,” potong Kevin, suaranya rendah namun tegas. “Masuk!”
Akhirnya Davina masuk dengan langkah kecil. Tubuhnya tegang, napasnya pelan dan tak stabil.
Kevin menutup pintu. Hening beberapa detik.
Lalu tanpa peringatan, Kevin menarik lengan Davina dan mendorong tubuh gadis itu hingga jatuh terduduk di atas kasur, bukan terlempar, bukan kasar, tapi tetap cukup membuat Davina terkejut dan kehilangan keseimbangan.
Matanya melebar. “Bang Kevin … Abang mau apa?”
Suaranya pecah. Takut dan bingung.
Ia menggenggam sprei erat-erat, tubuhnya mundur sedikit, punggungnya merapat ke headboard.
Kevin berdiri di depannya. Nafasnya berat. Tatapannya gelap, bukan karena niat buruk, tapi karena emosi yang tidak bisa ia kendalikan.
kalau sudah salah jangan menambah kesalahan lagi.
berani menghadapi apapun resikonya.
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak