Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Malam itu, setelah keluar dari pesta, Chesna sempat mengatakan pada Arion bahwa ia ingin pulang lebih dulu.
Alasannya sederhana atau mungkin terlalu rumit untuk dijelaskan. Ia hanya ingin memastikan sesuatu yang tidak bisa ia pahami sejak tadi di balkon, perasaan Gideon.
Dan begitulah ia kini duduk di balik kemudi, menyusuri jalanan kota yang mulai sepi.
Lampu-lampu jalan memantul di kaca mobilnya, sementara di kejauhan, ia bisa melihat mobil hitam milik Gideon melaju pelan di depan.
“Sebenernya cewek itu siapa sih? Selalu melekat sama Deon?” gumamnya.
Namun, saat lampu merah menyala di persimpangan, ia melihat sosok gadis itu tertawa kecil sambil menoleh ke arah Gideon.
Hatinya Chesnamencelos.
" Haruka…”
Ia menelan ludah, menatap ke arah mereka yang tampak begitu alami.
Tidak ada jarak. Tidak ada canggung.
Bahkan Gideon yang selalu serius itu, sempat tersenyum tipis.
Rasa sesak itu datang tiba-tiba, seperti udara dingin yang menembus jantungnya.
Ia tidah tahu Haruka adalah orang dari negara asing yang tiba-tiba saja menjadi bagian dari keluarga Sanggana. Ia hanya tahu mereka dekat dan tapi melihat sendiri kebersamaan itu malam ini membuat pikirannya melayang terlalu jauh.
Mobil mereka terus melaju ke arah utara kota.
Dan ketika akhirnya memasuki kawasan rumah besar keluarga Sanggana, Chesna memarkir mobilnya agak jauh, bersembunyi di balik pepohonan di tepi jalan.
Chesna menggenggam setir erat, jemarinya gemetar. "Sebenarnya aku ini kenapa?"
“kami cukup berjarang selama dua belas tahun, waktu yang cukup untuk perasaan orang bisa berubah. Kenapa aku malah berharap…” bisiknya, suaranya nyaris tak keluar.
Dan entah kenapa, pemandangan sederhana itu terasa seperti belati yang menancap pelan di dada Chesna.
Air matanya mulai menumpuk di sudut mata.
Ia tersenyum samar, getir, berusaha menertawakan dirinya sendiri.
“Lucu ya,” gumamnya lirih. “Dulu yang menolaknya… tapi kenapa sekarang aku yang merasa kehilangan?”
Ia memalingkan wajahnya, menatap gelap di luar jendela mobil.
Di dalam rumah megah itu, lampu-lampu hangat menyala dan dalam bayangan pikirannya, mungkin di sanalah Gideon kini berduaan, bersama gadis yang bisa membuatnya tertawa lagi.
Dan Chesna tahu, malam itu ia harus menyerah.
Untuk pertama kalinya, ia membiarkan mobilnya melaju menjauh, membawa serta keheningan dan rasa perih yang bahkan tidak punya tempat untuk dikeluhkan.
Namun di hatinya, satu kalimat menggema pelan,
"Selamat malam, Gideon… semoga kau bahagia, meski bukan denganku."
Sementara Gideon dan Haruka terlihat berjalan menuju pintu utama.
“Haruka, ada masalah? Kau diam sepanjang perjalanan, biasanya ribut tanpa jedah,” komentar Gideon tanpa menoleh.
“Ah? Eehm, iya, Kak. Cuma... mikirin stok laporan!” jawab Haruka cepat, senyum tegang.
Gideon mendengus kecil. “Seolah aku memberimu PR yang sangat banyak, ya.”
Begitu mereka masuk, aroma teh hitam dan vanilla langsung menyambut. Di ruang tengah, Nyonya Vera duduk santai di sofa dengan piyama satin lembut, wajahnya bersinar dengan senyum yang… mencurigakan.
“Selamat malam, anak-anak,” sapanya manis.
Gideon mengernyit sedikit. “Ma, aku ini sudah hampir 30 tahun. anak-anak, Mama bilang?" protes Gideon. "Mama belum tidur?” sambungnya pula.
“Tidak bisa,” jawab si mama dengan nada ringan, “ada... pemandangan menarik yang membuat Mama susah memejamkan mata.”
Haruka langsung meneguk ludah. Oh tidak… akhirnya terbongkar juga.
“Pemandangan apa, Ma?” tanya Gideon datar, melepaskan jas dan menyerahkannya ke pelayan.
Vera menatapnya lekat-lekat sambil menyandarkan dagu di tangan, bibirnya melengkung licik.
“Ah, cuma foto kecil... dari pesta malam ini.”
Haruka menutup wajah dengan bantal sofa pelan.
"Foto kecil? Mama Vera, itu foto BOM emosi!"
Haruka berteriak dalam hati.
Gideon menoleh cepat. “Foto apa?”
Vera mengeluarkan ponselnya, menekan layarnya, dan memperlihatkannya tanpa banyak kata.
Di sana, foto Chesna yang sedang memeluk Gideon dari belakang, dengan cahaya lampu balkon yang redup dan lembut.
Indah. Dramatis. Nyaris seperti lukisan.
Gideon langsung terdiam.
Haruka di pojokan menahan napas, sementara Vera menatap reaksi putranya dengan mata penuh makna.
“Sepertinya Mama tidak salah menilai gadis itu,” ucapnya pelan tapi jelas.
“Mama-” Gideon mencoba protes, tapi Vera menatapnya lembut.
“Sudah lama Mama tahu, matamu hanya berhenti di satu nama, Nak.”
Gideon menarik napas panjang, wajahnya mulai memerah.
“Itu... hanya kebetulan, Ma. Jangan tafsirkan macam-macam.”
“Oh?” Vera tersenyum licik. “Kebetulan sampai dia memelukmu seerat itu? Kalau begitu Mama juga ingin sering kebetulan seperti itu.”
Haruka tak kuat lagi. Ia menahan tawa, tapi suaranya bocor jadi cekit-cekit kecil.
Gideon menatapnya tajam.
“Haruka.”
“Ehehe... aku... aku cuma lewat, Kak! Sungguh, itu momen spontan... cantik banget, sayang kalau tidak difoto!”
Vera terkikik, menikmati kekacauan kecil itu. “Haruka, kau gadis yang cerdas. Mama suka caramu... melaporkan perkembangan emosional anak lelaki mama.”
Haruka hanya bisa menunduk malu campur takut.
“Maaf, Ma... aku gak bermaksud jadi paparazi keluarga…”
Gideon mendesah panjang. “Astaga. Besok pagi aku mau pindah rumah.”
“Terserah,” balas Vera ringan, “asal pindahnya bareng Chesna, Mama dukung penuh.”
Gideon memejamkan mata, jelas frustrasi. “Mama...”
“Ya?”
“Stop.”
“Tidak.”
Haruka meledak tertawa, berusaha kabur sebelum ikut disuruh beresin urusan ini.
Vera masih tersenyum puas, memandangi foto di layar ponselnya sekali lagi sebelum layar padam.
Matanya melembut, penuh rasa syukur.
“Mungkin Tuhan memang punya cara sendiri,” gumamnya, pelan. “Untuk menyembuhkan luka anakku… lewat pelukan yang sederhana.”
"Mama jangan berlebihan."
__
Malam sudah jauh lewat tengah malam ketika Chesna menekan kode pintu penthouse milik Alan.
Begitu pintu terbuka, aroma kopi dingin langsung menyambutnya. Alan rupanya belum tidur, masih duduk santai di ruang tengah dengan headphone menggantung di leher dan laptop menyala di depan.
Ia mengangkat alis begitu melihat siapa yang datang.
“Wow, tamu tengah malam. Jangan bilang kamu kabur dari pesta cuma buat numpang makan mi instan di sini.”
Chesna tidak menjawab. Ia hanya melemparkan tatapan datar, melewati Alan dan langsung menjatuhkan diri ke sofa.
Satu bantal ia peluk seperti anak kecil, dan satu lagi ia tumpukan di wajah seolah ingin lenyap di sana.
Alan mendengus pelan, menutup laptopnya.
“Kenapa lagi, hm? Jangan bilang kau berkelahi sama ceweknya Gideon? Atau-”
“Diam, Al,” potong Chesna dengan suara serak. “Semua ini gara-gara kamu.”
Alan mengerjap, pura-pura kaget. “Aku? Aku bahkan nggak ke pesta itu.”
“Justru karena kamu nggak ke pesta itu!” Chesna bangkit sedikit, menatapnya dengan mata memerah. “Kalau kamu ikut, aku nggak akan… aku nggak akan lihat hal yang nggak perlu kulihat!”
Alan menatap kembarannya yang mulai bicara tidak jelas, lalu dengan santai berdiri, berjalan ke pantri, dan kembali dengan segelas susu hangat.
“Minum dulu, baru marah,” katanya lembut, menaruh gelas itu di meja. “Atau kamu mau aku bikinin cokelat panas sekalian?”
Chesna hanya menatap, lalu bergumam pelan, “Aku lihat dia, Alan…”
“Dia siapa?”
“Gideon.” Suaranya nyaris tak terdengar. “Dia bareng cewek itu pulang sampai ke rumahnya. Kelihatan… dekat.”
Alan mendesah panjang.
Ah, jadi itu.
Ia duduk di sebelah Chesna, menatap wajah saudari kembarnya yang kini tampak rapuh, sesuatu yang jarang ia lihat, karena biasanya Chesna selalu punya cara untuk terlihat tegar bahkan saat hatinya sedang luka.
“Kau yakin mereka ‘dekat’, bukan cuma kau yang terlalu… mikir?” tanya Alan pelan.
Chesna mendelik dari balik bantal. “Aku tahu apa yang kulihat.”
“Kadang yang kita lihat cuma separuh dari cerita, Ches,” balas Alan lembut, setengah menguap. “Lagipula, kamu juga dulu yang bilang dia cuma teman. Sekarang marahnya kayak ditikung.”
Chesna melempar bantal ke arahnya. “Kamu menyebalkan!”
Alan menangkis sambil tertawa kecil. “Dan kamu selalu datang ke tempat orang menyebalkan ini setiap kali hatimu patah. Aku sih senang, setidaknya kamar tamu yang kubuatin nggak sia-sia.”
Chesna akhirnya ikut tersenyum tipis, meski matanya masih berkaca-kaca.
“Terima kasih, Al…”
Alan mengangkat bahu. “Apa pun alasannya, kamu tetap adikku. Kalau dunia nyakitinmu, penthouse ini selalu buka pintu.”
Ia berdiri dan menunjuk ke arah koridor. “Kamar kamu masih sama, lengkap dengan stok tisu dan boneka kelinci. Tapi jangan nangis di kamar, ya itu area steril.”
Chesna tertawa lirih di tengah hidung yang mulai tersumbat, sementara Alan berjalan ke dapur sambil bergumam pelan,
Dan malam itu, ketika akhirnya Chesna tertidur di kamar yang selalu disiapkan khusus untuknya, Alan duduk di balkon, menatap layar ponselnya masih menunggu kabar tentang Shenia yang belum juga muncul.
Namun jauh di lubuk hatinya, ada rasa khawatir lain, kali ini bukan hanya tentang Shenia, tapi tentang hati kembarannya yang diam-diam retak untuk seseorang yang dulu justru ia tolak.
__
Bersambung...
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??