Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 : Hamil?
"Ibu kenapa, sih? Ayah lihat seperti orang yang sedang banyak pikiran. Murung dan manyun seperti bebek."
Mina melirik singkat suaminya, tak lama ia berdecak lirih dan menempatkan dirinya disamping Anton yang sedang menonton televisi. Meskipun sudah duduk, Mina masih bergerak resah, hal itu membuat Anton merasa sedikit terganggu sekaligus heran dengan tingkah istrinya.
"Kalau ada apa-apa bilang saja daripada bertingkah seperti cacing kepanasan seperti ini. Ayah merasa terganggu, tahu!"
Mendesah lirih. "Ibu sedang merasa sedih, tapi ibu tidak ingin bercerita pada ayah."
Otomatis dahi Anton mengerut dalam. "Ya sudah kalau tidak mau cerita! Tapi jangan menganggu ayah. Lebih baik ibu pergi ke teras rumah, duduk disana, dan tenangkan pikiran ibu."
Mendengar hal itu, Mina rasanya semakin ingin mengamuk. Suaminya itu benat-benar tidak peka sama sekali dengan perasaan istrinya sendiri dan lebih mementingkan tayangan berita di televisi.
Apakah tayangan itu lebih penting dari Mina?
"Sudah belasan tahun hidup bersama tapi ayah masih saja seperti dulu. Tidak peka dan tidak peduli pada ibu."
Anton memandang heran kepergian istrinya. Perempuan itu melangkah pergi sambil menghentakkan kaki pada lantai dengan sengaja hingga menimbulkan suara berisik.
Anton hanya geleng-geleng kepala dan lanjut menonton televisi tanpa berniat menyusul Mina. Kebetulan sekali sedang menyiarkan harga minyak yang naik, lebih baik Anton menyimak berita itu sampai selesai.
...----------------...
Keesokan hari, saat Anton dan keluarga hendak melaksanakan sarapan dipagi hari, tiba-tiba saja suasana tenang berubah tegang dalam waktu singkat saat Mina berteriak keras dari lantai dua.
Tiga orang yang mendengarnya pun langsung berlari kalang kabut menuju sumber suara, takut terjadi apa-apa pada Mina yang awalnya ijin memanggil Rania untuk sarapan.
"Ibu, ada apa?" Anton berteriak diambang pintu kamar Rania. Matanya melebar saat melihat istrinya duduk diatas lantai, tepat didepan pintu kamar mandi dengan kondisi Rania tidak sadarkan diri.
Anton dan Bumi segera melangkah mendekat. Berbeda dengan Ambar yang memaku langkahnya ditengah pintu kamar.
"Rania kenapa, bu?"
Menggeleng lirih. "Ibu juga tidak tahu, yah. Saat ibu mengetuk pintu tidak ada sahutan dari dalam, lalu ibu masuk, tapi malah menemukan Rania sudah tidak sadarkan diri disini."
"Ibu dan ayah tenang, jangan panik. Lebih baik sekarang kita membawa Rania ke rumah sakit agar segera mendapat pertolongan."
Mendapat persetujuan dari dua orang yang lebih tua, Bumi langsung membawa Rania ke gendongannya tanpa persetujuan, lalu berjalan cepat keluar kamar.
Anton dan Mina terlihat terkejut dengan tindakan Bumi. Tapi di kondisi seperti, mereka memilih diam dan mengikuti langkah Bumi yang sudah memimpin.
Saat akan melewati Ambar, Mina menghentikan langkahnya. "Kamu dirumah saja, ya? Tidak usah ikut. Ingat kata dokter kalau kamu tidak boleh kelelahan."
"Ibu akan ikut dengan mereka?"
"Tentu saja, ibu harus memastikan mbak kamu tidak kenapa-kenapa."
Sebenarnya Ambar ingin menahan ibu agar tinggal dirumah saja bersamanya. Tapi belum sempat bersuara, Mina sudah lebih dulu membawa langkahnya menjauh dan menyusul Bumi serta Anton, meninggalkan Ambar yang masih berdiri ditempat yang sama.
Ambar berdecak kesal. Ia tidak suka melihat Bumi menggendong Rania seperti tadi, dan Ambar tidak suka melihat orang tuanya peduli dengan kakaknya.
"Cari perhatian sekali, sih! Menyebalkan."
...----------------...
Sepasang mata indah milik Rania bergerak secara perlahan. Saat ingin membuka mata, Rania mengurungkan niatnya dan berakhir terpejam kembali. Cahaya lampu sangat mengganggu, terlihat lebih terang dari biasanya.
"Jangan dipaksa, pelan-pelan saja."
Dahi Rania sedikit mengerut mendengar suara familiar itu. Spontan ia berkata. "Ibu?"
"Ya, ibu disini," Menoleh ke belakang dimana Anton sedang duduk. "Ada ayah juga disini."
Meski masih terasa sulit, Rania berusaha membuka ke-dua matanya secara perlahan. Begitu terbuka, Rania dibuat bingung saat mendapati dirinya berada diruangan asing.
Menoleh ke arah Mina. "Ibu—,"
"Kamu ada dirumah sakit. Tadi, saat ibu memanggilmu untuk sarapan, ibu malah menemukan kamu sudah pingsan didepan pintu kamar mandi. Jadi kami membawamu ke sini."
Mendengar hal itu, Rania mengingat lagi apa yang terjadi padanya sebelum pingsan tadi. Seingatnya, Rania diserang mual begitu hebat setelah bangun tidur, lalu mengabiskan waktu cukup lama dikamar mandi sampai tubuhnya terasa lemas. Dan, ya, berakhir tidak sadarkan diri saat berniat kembali ke tempat tidur.
Ruang rawat berubah hening karena tidak ada lagi yang bersuara setelahnya. Rania menatap ayah dan ibu bergantian, kepala mereka terlihat tertunduk dengan ekspresi wajah murung.
"Apa ... Aku sakit parah?"
Mina mengangkat wajah guna membalas tatapan putri sulungnya. "Tidak," Ada jeda sejenak sebelum melanjutkan dialognya. "Apa ibu boleh bertanya padamu?"
"Tentang apa?"
"Apa kamu sedang hamil, nak?"
Tanpa sadar Rania menahan napas usai pertanyaan Mina mengudara dengan jelas. Rania berkedip beberapa kali dan menelan ludahnya susah payah.
"Maksud ibu?"
"Dokter yang memeriksa mu menyarankan kami untuk membawa ke dokter kandungan. Meskipun belum seratus persen benar, mereka menduga kamu sedang hamil," Menarik napas yang terasa sedikit berat. "Jadi ibu bertanya lebih dulu padamu. Apa benar kamu sedang hamil?"
Rania kehilangan kata untuk beberapa saat. Jujur saja, ia terkejut sekaligus khawatir kalau benar-benar hamil meski sebelumya dia lah yang paling keras kepala menolak saran Bumi untuk meminum obat pencegah kehamilan setelah menghabiskan waktu bersama Ryan.
Ke-dua mata Rania terpejam, batinnya diserang rasa panik hingga membuatnya pusing. Kalau diingat-ingat lagi, akhir-akhir ini tubuh Rania memang kurang fit. Dimulai dari mual saat bangun tidur, mual mencium bau wangi yang menyengat, serta perutnya kadang terasa sakit setelah selesai olahraga.
Dan, kapan terakhir kali Rania datang bulan?
Tangan kanannya bergerak meremas rambut sampai ujung. Detik selanjutnya, ia menatap sang ibu dengan sorot mata gelisah.
"Tapi dokter belum memutuskan apapun, 'kan, Bu? Jadi bisa saja aku tidak hamil."
Menggeleng lirih. "Dokter memang belum memutuskan, tapi kita tetap harus memeriksanya ke dokter kandungan."
Tubuh Rania semakin lemas mendengar hal itu. Namun, bukankah ini tujuan Rania datang Ryan? Yaitu untuk hamil anak orang lain guna membalaskan dendamnya pada Bumi.
Ya, harusnya Rania berharap dia benar-benar mengandung anak Ryan sekarang.
Senyuman mengembang dibibir pucat nya tanpa sadar. Mina yang melihat perubahan cepat [ada ekspresi putrinya pun terheran, lantas tangan kanannya bergerak mengusap kepala Rania.
"Kamu tidak apa-apa, Ra?"
Rania mengubah ekspresinya menjadi normal. "Ah, tidak apa-apa. Sebaiknya kita segera pergi ke dokter kandungan untuk memastikan."
Walaupun dilanda keheranan karena putrinya tiba-tiba saja seperti bersemangat dalam keadaan genting seperti ini, Mina tetap mengangguk dan memberikan usapan lembut.
"Ya, kita harus segera memeriksanya untuk memastikan."
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍
tpi.... ank yg tak di anggp justru kelak yg sll ada untuk org tuanya di bandingkn ank ksayangan....