menceritakan kisah cinta antara seorang santriwati dengan seorang Gus yang berawal dari permusuhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riyaya Ntaap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjadi diri sendiri
**
" Abang baru tau, ternyata setan bisa juga di rasuki sesama setan. " Azka menyuapi diva dengan begitu telaten.
Kini mereka sudah berada di rumah, Nadira tengah mengupaskan kulit buah apel untuk di berikan pada diva, sedangkan Azka sibuk menyuapi diva makan. Awalnya diva menolak, ia tidak lapar sama sekali, namun Azka mengancam jika diva tidak makan maka motor kesayangannya akan di gadaikan.
Diva tentunya langsung nurut, bagaimana pun juga ia begitu menyayangi motornya, bahkan ia sampai rela di masukan ke pondok pesantren hanya karena ancaman yang serupa.
" Mama juga kaget, seekor diva bisa kerasukan setan, padahal mereka sejenis loh. " Sahut Nadira
Diva menghela nafas panjang, ia pikir mama nya pasti akan panik atau khawatir dengan kondisinya yang seperti sekarang ini, namun nyatanya ia justru di bully. Ya, begini lah suasana keluarganya, pasti ada saja yang di bully.
" Nanti malam diva izin keluar ya " diva membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegak. Gadis itu menjauhkan sendok yang sudah berada di depan mulutnya.
Azka pun langsung meletakkan kembali sendoknya ke piring, karena tampaknya diva sudah cukup kenyang. Azka bangkit dari duduknya mendekati sang bunda, di ambilnya buah yang sudah di potongin, kemudian berjalan mendekati diva lagi.
" Jangan kasih izin, Ma. Nanti dia mau balapan itu. " Sanggah Azka. Dia cukup tau apa isi hati sang adik jika sudah membahas tentang motor.
" Heh jones ga di ajak. "
Azka memutar bola matanya dengan malas, walaupun sudah di ejek oleh sang adik, ia tetap menyuapi diva buah buahan yang sudah dipotong oleh sang mama.
" Ada yang mau Abang Sampekkan sama kamu. "
Diva menatap abangnya, tatapan matanya kelihatan begitu serius, bahkan Azka sampai meletakkan piring buah di atas nakas juga. Keseriusan Azka, membuat diva begitu penasaran.
Azka tidak langsung mengutarakan apa yang ingin ia sampaikan, ia menarik satu buah tisu untuk mengelap tangannya terlebih dahulu. Pria itu menatap sang adik begitu dalam, tatapan matanya begitu berbeda dengan sorot mata biasanya.
Diva benar benar di buat penasaran, apalagi dengan sorot mata Azka yang kelihatan berbeda.
" Bang, mau bicara sekarang atau diva santet dulu?! " Geramnya begitu gregetan melihat Azka sedari tadi hanya diam. Hanya pancaran matanya yang menyatakan keseriusannya.
Azka menghela nafasnya berat, ia merogoh handphone nya di dalam kantung baju kemeja yang ia kenakan. Jari jari lentiknya berseluncur di layar datar handphone nya.
" Ngomong tinggal ngomong loh padahal, lama amat. " Desak diva tak sabaran.
Tampa mengatakan sepatah katapun, Azka langsung memperlihatkan sesuatu yang terpampang di layar ponselnya.
Jantung diva berdegup kencang, tangannya yang gemetaran mengambil alih ponsel sang Abang, untuk melihat lebih jelas lagi pada foto yang di perlihatkan oleh Azka.
" Ini editan kan? " Diva tertawa miris, ia menyerahkan kembali ponsel itu pada pemiliknya. Azka mengambil ponselnya, dan kembali menyimpan nya di dalam sakunya.
Azka menundukkan kepalanya, menggigit bibirnya sendiri. Ia tidak tau harus mengatakan apa pada adiknya. Sementara itu diva pun terdiam di tengah rasa syoknya.
Nadira sudah tau apa yang di perlihatkan Azka pada putrinya. Wanita itu memilih untuk keluar dari dalam kamar diva, memberikannya ruang untuk berfikir ataupun bercerita pada Azka.
Di bandingkan dengannya yang berstatuskan seorang ibu, diva justru lebih dekat dengan Azka, mungkin karena selama masa pertumbuhannya, Nadira sangat sibuk dengan pekerjaannya dan nyaris tidak punya waktu untuk keluarganya.
" Kapan itu? " Tanya diva. Nada bicaranya mulai terdengar seperti lirihan Kecil, sorot matanya pun berubah menjadi senduh.
" Sekitar tiga hari yang lalu. "
Diva terdiam, benar benar terdiam. Bibirnya seperti tidak bisa di buka, tenggorokannya terasa seperti tercekat, tak ada satupun kata yang mampu ia lontarkan lagi.
Azka langsung memeluk erat tubuh diva, membawa sang adik kedalam dekapannya. Tangan kanan nya bergerak mengelus rambut panjang diva yang kini sedang tidak memakai jilbab.
" Kok lingga bisa Setega itu sama diva, bang. " Ucapnya di sela sela tangisnya.
" Dia ga jahat dek, tapi emang kalian belum jodoh aja. " Azka berusaha memberikan pengertian dan masukan yang positif, agar diva tidak terlalu sedih.
Diva masih terus menangis di dalam dekapan abangnya, ia tidak tau lagi harus mengatakan apa. Perkataan Azka juga ada benarnya. Andai lingga memang jodohnya, tidak mungkin lingga menikah dengan wanita lain.
Ya! Sebuah foto yang barusan di tunjukan oleh Azka adalah foto pernikahan lingga beberapa hari lalu. Jujur, Azka juga terkejut ketika mendapat sebuah undangan pernikahan apalagi itu dari lingga.
Azka tau dengan jelas, bahwa adiknya memiliki hubungan dengan lingga, walaupun status itu sendiri belum jelas. Marah? Tadinya Azka mau marah, tapi ia sadar bahwa dengan marah atau menghajar lingga juga tidak ada guna nya.
Akhirnya diva hanya bisa menangis seharian di kamarnya, memikirkan lingga yang tiba tiba saja menikah dengan wanita lain, dan parahnya wanita itu adalah adik kelasnya dulu.
Diva juga tidak tau pasti kenapa lingga bisa menikah dengan adik kelas diva. Diva pun berfikir panjang, bagaimana mungkin adik kelasnya sudah menikah sedangkan dia saja masih kelas tiga SMA.
Diva memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri, tubuhnya saja masih begitu lemas karena kesurupan tadi malam, lalu ini di tambah dengan adanya berita yang sangat tidak di inginkan.
" Ini yang katanya cuman di anggap adek doang? Adek apaan anjir yang Sampek di nikahin gitu. " Diva mengeluarkan ingusnya dan mengilapnya dengan beberapa lembar tidur.
" Cukimay lah ah! Bener kata Kayla, seharusnya aku tuh ga kecintaan gitu sama cowo. " Diva kembali menarik beberapa helai tisu untuk mengusap wajahnya yang penuh dengan air mata.
" Oke! Jangan nangis diva! Sekarang tetapkan di pendirian mu rules nomor satu! Dilarang kecintaan sama cowo, karena semuanya akan pret pada masanya. " Diva bangkit dari duduknya. Tubuhnya sempoyongan karena terlalu lama berjongkok di bawah tempat tidurnya dengan menyandar pada springbed.
" No galau galau div, kamu cantik! Kamu berhak bahagia. Ngapain galauin cowo ga jelas gitu. " Diva berusaha menyemangatkan dirinya sendiri. Ia menarik jaket kulit miliknya dari dalam lemari dengan asal asalan, hingga membuat bajunya yang lain berantakan.
**
" Azka, cari diva. Kunci motornya ga ada di kamar mama. " Nadira berkacak pinggang, menatap putranya yang duduk berselonjoran di sofa ruang keluarga.
" Biarin aja, ma. Diva lagi patah hati, dia memang butuh udara segar. " Jawabnya sambil menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Lagi pula ini belum terlalu larut malam, nanti jika sudah sampai larut malam dan diva belum kembali, barulah ia akan pergi mencari sang adik. Lagipula ia sudah cukup tau kemana adiknya pergi.
" Biarin matane! Itu diva masih sakit loh, masih pucet gitu. " Omel Nadira
" Mama tenang aja, diva kan kuat. Seharusnya dia kan Lanang, bukan wedok. "
Nadira memutar bola matanya dengan malas, ia berjalan lebih dekat pada Azka dan langsung menarik telinga Azka dengan keras, membuat pria itu terpekik kesakitan.
" Maa, ampun maaa "
" Jemput diva sekarang! "
" Iyaa iyaa, ampun. Azka jemput kok ini "
Mendengar perkataan Azka, barulah Nadira melepaskan telinga Azka dari jewerannya.