Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Kagum…
Savero masih berdiri agak jauh, menyandarkan punggung ke tiang kayu yang menopang atap seng pasar. Dari balik masker, matanya awas mengikuti tiap gerakan Jingga. Gadis itu duduk lesehan di lantai, tepat di samping gerobak pecel sayur yang selalu ramai. Di depannya ada baki besar berisi aneka kue basah: klepon, kue talam, lapis legit, dan risoles sederhana.
“Silakan Bu, kuenya masih hangat. Kleponnya manis, gula merahnya lumer di mulut,” ujar Jingga ramah, menyodorkan plastik kecil pada seorang ibu-ibu yang kebetulan lewat.
Ibu itu tersenyum, merogoh dompetnya. “Saya beli lima ya, Nak. Anak-anak di rumah doyan banget makan klepon.”
“Siap, Bu. Lima berarti lima belas ribu,” balas Jingga cepat, lalu dengan cekatan membungkus kue dalam plastik bening. Tangannya yang kurus gesit, kepala menunduk dengan senyum lebar saat menyerahkan bungkusan. Wajahnya sumringah seolah baru mendapat rezeki besar, padahal hanya belasan ribu. Savero yang mengamati dari jauh sampai tertegun… wajah ceria itu terasa begitu penuh syukur.
Tak lama, seorang bapak tua dengan pakaian lusuh mendekat. Wajahnya keriput, sandal jepitnya sudah tipis. Ia berdiri agak kikuk di depan baki kue Jingga.
“Anu, Nak… uang saya cuma tiga ribu. Bisa dapat dua kue nggak?” tanyanya dengan suara pelan, ragu-ragu.
Savero mengangkat alis, menunggu respon Jingga. Dari yang ia dengar tadi, harga kue itu sebiji tiga ribu.
Tapi Jingga tanpa ragu tersenyum lebar. “Bisa dong, Pak. Malah saya kasih tiga deh, biar kenyang sarapannya,” katanya sambil mengambilkan tiga potong kue, membungkusnya rapi, lalu menyerahkannya.
“Lho… tapi uang saya…” Bapak tua itu terlihat salah tingkah.
“Sudah, Pak. Anggap saja bonus dari saya. Doakan saja dagangan saya laris, ya,” ucap Jingga sambil terkekeh kecil.
Bapak itu tampak terharu, menerima bungkusan kue dengan kedua tangan. “Terima kasih, Nak… semoga rezekimu lancar. Kamu baik sekali.”
Savero, yang masih bersembunyi di balik tiang, merasakan dadanya menghangat. Ia menunduk sejenak, bingung sendiri dengan reaksi hatinya.
Setelah hampir dua jam, baki kue Jingga mulai kosong. Sisa hanya beberapa potong yang tak seberapa. Matahari sudah tinggi, hawa pasar semakin pengap. Jingga mengelap keringat di pelipis dengan punggung tangan, lalu menoleh pada tukang pecel sayur di sebelahnya.
“Alhamdulillah, lumayan juga hari ini. Sisa dikit,” katanya sambil tertawa kecil.
Penjual pecel menoleh, tersenyum ramah. “Rezeki kamu memang selalu ada, Jingga. Dari tadi aku lihat, kamu nggak pernah lelah senyum. Pantas orang pada mau beli. Sudah cantik, ramah pula.”
Jingga mengangkat bahu. “Kalau mukanya manyun kan nggak enak, Bu. Lagi pula, saya juga senang ngobrol sama pembeli. Jadi ngerasa punya teman ngobrol baru.”
Ia menata plastik dan kue yang tersisa, lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Uang hasil jualan dihitung sekilas, hanya beberapa lembar puluhan ribu, sisanya kebanyakan hanya uang ribuan dan receh yang tampak lusuh, tapi wajahnya tetap berbinar. “Bisa buat bayar listrik sama makan seminggu, udah syukur banget,” gumamnya, seolah berbicara pada diri sendiri.
Savero, yang mengamati dari kejauhan, merasakan dadanya makin berat. Ia terbiasa menghabiskan uang ratusan juta tanpa berpikir dua kali, tapi di depan matanya ada seorang perempuan yang begitu bahagia hanya dengan recehan.
Jingga bangkit, menepuk celana jeansnya yang sudah kotor di bagian lutut. “Saya pulang dulu ya, Bu. Terima kasih sudah izinkan saya nebeng jualan di sini,” katanya sambil membungkuk sopan.
“Iya, hati-hati di jalan. Nanti datang lagi ya kalau mau jualan kue lagi,” balas penjual pecel.
Jingga lalu mengangkat keranjang kosong itu ke motor bututnya. Motor tua itu sempat batuk-batuk ketika dinyalakan, membuatnya tertawa sendiri sambil menepuk setir. “Ayo dong, jangan ngambek, masih banyak kerjaan hari ini,” ujarnya, seolah sedang bicara pada sahabat lama.
Pria tampan bernama Savero itu sudah masuk ke dalam mobil yang terparkir di sudut pasar. Tangannya mengepal di atas setir, keningnya berkerut. Rasa penasaran mulai menggerogoti logika dan gengsinya.
“Sekarang… kamu mau ngapain lagi, Jingga?” gumamnya pelan di balik masker, mata tajamnya tak lepas dari sosok mungil itu yang kini melajukan motor ringkihnya keluar pasar.
Savero menghela napas panjang, lalu menyalakan mobilnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti orang asing di hidupnya sendiri… hanya karena seorang gadis sederhana yang semestinya tak punya pengaruh apa-apa, tiba-tiba jadi pusat perhatiannya.
Savero melajukan mobilnya pelan, menjaga jarak agar tidak menarik perhatian. Motor butut Jingga yang berasap putih itu tampak terseok-seok di jalan, sesekali nyaris mogok. Gadis itu tetap ceria, bahkan beberapa kali terlihat bersiul kecil.
Setelah sekitar lima belas menit, motor Jingga berhenti di pinggir jalan dekat sebuah bangunan sederhana berplang “Panti Asuhan Al-Hikmah.” Savero mengerutkan dahi, matanya menyipit penuh tanya.
Jingga menurunkan keranjang dari jok belakang, lalu membuka tas kecilnya. Ia mengeluarkan plastik berisi beberapa kue yang tadi tersisa dan beberapa bungkus jajanan pasar. Dengan langkah ringan, ia masuk ke gerbang panti.
Savero memutar mobil, berhenti di seberang jalan. Dari balik kaca mobil, ia memperhatikan Jingga yang kini sudah dikerubuti beberapa anak kecil.
“Kak Jingga datang! Kak Jingga datang!” teriak seorang anak laki-laki kurus dengan pipi penuh tawa.
“Wah, ada kakak cantik bawa jajanan!” celetuk yang lain, membuat anak-anak lain ikut bersorak.
Jingga terkekeh, membagikan satu per satu kue. “Pelan-pelan ya, jangan rebutan. Semua kebagian kok. Yang ngajinya paling rajin kemarin dapat bagian lebih, ya!” candanya, membuat beberapa anak kecil langsung teriak, “Aku rajin! Aku rajin!”
Para pengasuh panti tersenyum dari jauh. Seorang ibu paruh baya yang tampaknya pengurus panti menghampiri Jingga. “Kamu repot-repot lagi, Nak. Padahal kamu sendiri juga pasti butuh.”
“Ah, Bu, jangan bilang gitu. Saya senang kok bisa lihat mereka ketawa. Lagian ini juga cuma sisa jualan. Daripada basi, lebih baik dimakan rame-rame, kan?” jawab Jingga ringan, matanya berbinar.
Savero yang menyaksikan dari dalam mobil hanya bisa terdiam. Pemandangan itu begitu asing sekaligus mengusik pikirannya.
Matanya nyaris tak berkedip, pikirannya penuh kalkulasi, jika untuk dirinya saja Jingga masih kekurangan, kenapa dia repot-repot berbagi dengan orang lain? Batinnya, sambil menatap Jingga yang kini sedang jongkok, tertawa bersama anak-anak yang duduk melingkar di sekelilingnya.
“Bodoh sekali kamu, Jingga. Bodoh… “suaranya tercekat. “Tapi kamu… hebat” ujarnya tanpa sadar mengaggumi kepribadian istri rahasianya itu.
Waktu berjalan lambat, dan Savero mendapati dirinya masih belum bisa melepaskan pandangan dari Jingga.
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya